You are currently viewing Peninggalan Arkeologi Lereng Barat Gunung Lawu, Sebuah Keselarasan Dengan Alam

Peninggalan Arkeologi Lereng Barat Gunung Lawu, Sebuah Keselarasan Dengan Alam

Lereng barat Gunung Lawu merupakan suatu wilayah yang kaya tinggalan arkeologis sarat makna, karena dari keberadaanya terefleksikan beberapa aspek kehidupan manusia pelaku budaya tersebut. Percandian lereng barat Gunung Lawu, baik candi sukuh, Cetha, Planggatan maupun Candi menggung menunjukan susunan berteras. Teras paling atas diyakini sebagai ruang yang paling sakral tempat para Dewa atau roh bersemayam. berkembangnya keyakinan itu memberi gambaran bahwa kehidupan manusia saat itu berada dalam tahap mistis, artinya sikap dan perilaku manusia dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan dewa alam raya dan/atau kekuatan kesuburan. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha menjalin hubungan selaras dengan kekuatan di luar dirinya, diantara perilaku itu adalah melakukan upacara-upacara.
Keyakinan kekuatan di luar dirinya, diwujudkan dengan relief berupa pahatan vagina dan phallus di lantai pintu pertama. Pertemuan antara dua elemen tersebut mengandung makna filosofi sebagai lambang kesuburan. Kesuburan juga tampak di visualisasikan dengan penggambaran kemaluan yang besar pada beberapa patung atau relief di Candi Sukuh. Visualisasi unsur kemaluan juga memiliki makna sebagai penolak “sesuatu” yang jahat. Bagian tubuh manusia yang diyakini sebagai symbol penolak bala adalah muka, keyakinan itu telah ada dan berkembang sejak masa pra Hindu, kemudian hal itu telah berkembang hingga pengaruh Hindu-Budha, bahkan hingga kini di beberapa kelompok etnis Nusantara. Pada awal kemunculanya, penggambaran muka tampak sederhana, kemudian berkembang menjadi bentuk kala atau banaspati (di Bali). Sasuai dengan keyakinan yang melatarinya, maka kala atau banaspati ambang pintu suatu bangunan suci. Tidak terkecuali di Candi Sukuh yang di tempatkan di ambang pintu gapura I, yang di bagian lantai atau selasarnya terdapat relief perpaduan antara vagina dan phallus.
Makna yang terkandung pada relief naturalis vagina dan phallus adalah nilai angka tahun. Menurut J. Padmopoespita relief tersebut ditafsirkan dengan kalimat wiwara wisaya hanaut jalu. Kata wiwaha diartikan sebagai pintu atau gapura. Dalam hal ini pintu atau gapura itu adalah yoni. Wiwara dalam sengkala mempunyai nilai 9 (sembilan), sedang wisaya mempunyai arti wilayah atau daerah kekuasaan yang disamakan dengan lautan, dimana relief lingga, yoni itu dipahatkan.
Keberadaan relief tersebut mengandung makna bahwa daerah itu merupakan area yang “bersih”, hal itu berlaku juga bagi orang yang melewati pintu suci telah hilang pula pengaruh roh-roh jahat. Dengan demikian, ketika dirinya masuk dalam halaman ke II telah bersih dari pengaruh jahat. Adapun nilai angka pada wisaya adalah 5 (lima), sedangkan arti kata hanaut jalu adalah menggigit, yang dalam sengkalan memiliki nilai 1 (satu). Dengan demikian sengkalan memet wiwara hanaut jalu, bila dibaca dari belakang muncul angka 1359 Ç = 1437 M. Tiga angka tahun yang sama nilainya dengan sengkalan memet juga terdapat pada gapura I.
Filosofi khususnya yang ada di candi Sukuh adalah relief-relief di halaman II. Di antara relief tersebut ada yang menggambarkan penggalan cerita Suddhamala, yakni adegan saat Bhima membunuh raksasa. Pada sudut kiri, bagian atas, terpahat prasasti dengan angka tahun 1392. Adapun bunyi prasasti itu adalah : padamel rikang buku tirta surya (1361). Kata-kata buku turta surya pada sengkalan memet di atas, menarik untuk dicermati karena kata-kata itu mengandung makna filosofi yang dalam. Arti kata tirta adalah air, sedangkan surya berarti hilang atau lenyap. Dengan demikian, tirta surya dapat diartikan sebagai air untuk menghilangkan noda. Kata noda mencakup dosa, sehingga kata tirta surya dapat di tafsirkan berhubungan dengan ruwatan. Candi sukuh sebagai masa Majapahit Akhir, memiliki beberapa relief yang terkait dengan ; pembebasan, di antaranya adalah penggalan ceritera arudadeya dan Suddhamala. Kata tirta surya juga tertera pada prasasti di Candi Cetha, bunyi lengkap prasasti itu adalah sebagai berikut :

Peling padamel irikang bu
Ku tirta surya hawaki
Ra ya hilang
Saka kalanya wiku
Goh anahut iku
1392

Bunyi prasasti tersebut di atas diterjemahkan secara bebas sebagai berikut : peringatan pembuatan buku tirta surya badanya hilang, tahun saka wiku goh hanaut itu, 1397. Dua prasasti baik di Candi Sukuh maupun Candi Cetha itu memiliki makna filosofis sama, yakni “sesuatu” yang ada hubunganya dengan ruwatan atau pembebasan.
Prasasti lain yang berisi tentang ruwatan terdapat pada bagian belakang Garuda di Candi Sukuh, pada saat ini arca tersebut berada halaman ke III Candi Sukuh. Di bandingkan dengan prasasti yang lain, prasasti ini lebih panjang karena terdiri atas delapan baris, dan lengkap dengan angka tahun. Bunyi prasasti itu adalah sebagai berikut :

Lawase rajeg wesi du
K pinarep kapateg de
Ne wong medang ki hempu ra
Ma karubah alabuh, geni ha
Rbut karubah alabuh, geni ha
Rbut bumi kacaritane
Babajang mala mali setra
Hanang tang bango
1363

Makna ruwatan tergambar dari bagian babajang mara mari (ng) setra hanang ta bango, karena kalimat itu diartikan bahwa anak bajang yang diruwat, di tempat pengruwatan, ditempat yang terdapat burung garuda. Anak bajang adalah anak kecil yang rambutnya panjang karena tidak bisa dicukur sejak lahir. Dalam keyakinan sebagian masyarakat jawa, anak bajang harus di ruwat untuk membebaskan dirinya dari pengaruh buruk. Dengan dilakukan upacara ruwatan, diharapkan anak bajang dapat pulih sebagaimana keadaan semula.
Upacara ruwatan biasanya dilakukan di suatu tempat yang diyakini sebagai tempat suci, salah satu tempat yang memenuhi syarat adalah Candi. Dalam kasus ini Candi Sukuh mendukung pendapat bahwa fungsi candi tidak selalu digunakan sebagai kuburan, tetapi juga dapat difungsikan sebagai tempat pelaksanaan upacara-upacara, satu diantaranya adalah upacara ruwatan. Asumsi itu dikuatkan dengan adanya relief yang merupakan penggalan ceritera Suddhamala dan Garudadeya. Kedua ceritera itu mengisahkan tentang ruwatan.

Nilai filosofi yang juga dapat diungkap dari keberadaan candi-candi di lereng barat gunung Lawu adalah diterapkannya konsep kosmologi oleh pendukung budaya candi-candi di kawasan itu. Jejak tentang hal itu tampak di Candi Sukuh dan Cetha, yang mana susunan tata letak bangunan disesuaikan dengan susunan alam semesta, misalnya orientasi bangunan diarahkan kepenjuru mata angin, yakni arah barat (kosmo). Di sisi lain pemilihan lokasi penempatan candi di lereng gunung, tampaknya dilandasi oleh pertimbangan baik aspek magis dan praktis.
Dalam aspek magis, Candi Sukuh dan Cetha tampak difungsikan sebagai upaya kontak magis, Candi Sukuh dan Candi Cetha tampak difungsikan sebagai upaya untuk mengembalikan roh ketempat asalnya, yakni puncak gunung Lawu. Selain puncak gunung, matahari juga diyakini sebagai asal nenek moyang, oleh karena itu kedua candi itu juga mempunyai orientasi kearah timur atau asal matahari terbit. Keselarasan antara manusia dan lingkungan tampak dalam memahatkan objek relief. Pahatan atau ukiran pada batu dibuat tidaklah tanpa makna pahatan merupakan gambaran antara pemahat dan ruang (Kosmo) untuk menuju keharmonisan. Oleh sebab itulah dalam relief ceritera sering kali dilengkapi dengan penggambaran pohon, daun, bunga, dan buah, adalah suatu penanda kesadaran pemahat bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta. Gambaran pohon atau lingkungan alam adalah symbol kesadaran manusia terhadap kosmos.
Kesadaran manusia terhadap lingkungan terefleksikan dengan adanya pahatan rumah panggung dari bahan yang tersedia di alam sekitarnya. Keberadaan rumah panggung tersebut memberi pengertian bahwa di saat konsep pembangunan rumah telah di sesuaikan dengan iklim tropis lembab. Salah satu ciri itu adalah lantai bangunan yang tidak melekat dengan tanah, dan dinding dari anyaman. Konsistensi bangunan seperti itu membuat kenyamanan karena sirkulasi udara dan kelembaban iklim tropis dapat diatasi. Penanda budaya pada tinggalan di daerah barat gunung Lawu memiliki nilai filosofi dan ajaran tentang keselarasan hubungan antara manusia dan alam atau konsep kosmogoni.