You are currently viewing Pencari Batu Candi: Sang Ujung Tombak Pemugaran

Pencari Batu Candi: Sang Ujung Tombak Pemugaran

Ditulis oleh: Meilinia Fathonah, Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sejarah, Undip Semarang

Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kawasan ini sering disebut sebagai lembah para Dewa karena banyak ditemukan candi yang berlatar belakang agama Hindu dan Buddha. Candi Sewu terdiri dari susunan batuan andesit dan memiliki 249 buah candi. Yang terdiri dari 1 candi induk serta 4 penampil, 8 candi apit dan 240 candi perwara yang berderet empat, serta arca dwarapala di setiap penjuru mata angin. Candi Sewu merupakan candi peninggalan Mataram Kuna pada masa pemerintahan Rake Panangkaran (746-784 M). Berdasarkan prasasti yang dikeluarkan setelah masa Rake Panangkaran seperti Prasasti Muncang (944 M), Gulung-gulung (929 M), dan Sugih Manek (915 M) disebutkkan bahwa raja mempunyai hak istimewa untuk pengalihan pajak berupa tenaga sukarela (gawai haji). Hal ini yang memungkinkan raja pada masa Mataram Kuna untuk mengerahkan tenaga rakyat dalam proses pembangunan candi. Menurut agama Hindu dan Buddha, menyumbangkan tenaga untuk pendirian bangunan suci merupakan bentuk pengabdian kepada agama. Dengan ditemukannya sebuah prasasti manjusrigrha (792 M) pada tahun 1960 para arkeolog menyimpulkan bahwa candi ini berlatarbelakang agama Buddha. Manjusri diartikan sebagai nama salah satu bodhisattwa yang berkedudukan sebagai “dewa” dalam agama Buddha, serta grha yang berarti rumah. Sehingga manjusrigrha diartikan sebagai rumah untuk Manjusri (Dewa Buddha). Candi ini dibangun pada masa Rake Panangkaran (746-784 M) dan selesai pada tahun 792 M, pada masa pemerintahan Rake Panaraban (784-803 M).

Diawal penemuannya, kondisi atap candi sebagian runtuh, bangunan candi bagian bawah melesek kedalam hingga beberapa sentimeter serta arca dwarapala yang tumbang diduga karena ada suatu bencana alam yang dahsyat yaitu gempa bumi dan letusan Gunung Merapi. Selain itu, batu-batuan candi juga banyak ditemukan hingga berkilo-kilo meter diluar kawasan Candi Sewu. Tersebarnya batuan candi ini diduga karena kebiasaan masyarakat pada saat itu yang biasa menjual hasil alam dari gunung ke Pasar Prambanan dengan grobak. Saat dagangannya sudah habis, mereka kembali pulang dengan grobak yang kosong. Sebagai penyeimbang, ia mengambil batuan candi itu satu demi satu, hingga akhirnya banyak ditemukan batuan candi di sebelah utara kawasan candi yang sudah dibuat pondasi, bibir sumur dan pembatas kebun.

Pembangunan Candi Sewu tidak bisa disamakan dengan legenda Rara Jonggrang dan Bandungbandawasa yang dibangun dalam satu malam yang dikenal oleh masyarakat saat ini. Setelah Indonesia merdeka, pembangunan Candi Sewu mulai kembali digalakkan pada tahun 1981 sejak candi ini dimasukkan dalam Program Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Dan selesai diresmikan oleh Presiden Kedua, Soeharto setelah pembangunan candi induk, candi apit nomor I dan VIII, candi perwara deret I nomor 20 serta arca dwarapala pada tanggal 20 Februari 1993 yang dapat dilihat dalam prasasti peresmian candi di pintu masuk Candi Sewu bagian timur. Dalam pemugaran candi banyak sekali pihak yang terlibat didalamnya. Bukan saja dari kalangan akademisi seperti kalangan arkeolog, insinyur, dan sejarawan. Namun, para pekerja lapangan yang sama sekali tidak menempuh bangku perkuliahan mempunyai peranan yang cukup besar. Tidak banyak orang tahu, betapa susahnya mengembalikan candi yang telah sekian lama runtuh itu.

Di kawasan Candi Sewu sering kita jumpai seseorang yang duduk diantara bebatuan candi memegang meteran rol dan terlihat mempunyai tatapan yang kosong. Kadang pula ia berjalan-jalan mengintari tumpukan batu-batuan itu sambil memegang tangannya kebelakang, seperti orang ling-lung. Namun, mereka punya pandangan yang luas, matanya melihat lebih luas batu-batuan yang terhampar itu. Batuan yang tersusun seperti gudangan, campur menjadi satu. Mereka menaruh keyakinan akan ditemukannya batuan-batuan yang saling sambung-menyambung, membentuk suatu kesatuan yang utuh entah itu bagian penampil, bagian kaki, bagian tubuh, bagian atap atau bagian puncaknya. Yang jelas, mereka harus benar-benar teliti, cermat, tekun, dan sabar. Di Candi Sewu, saat ini terdapat empat orang pencari batu yang menjadi ujung tombak pemugaran.

Iswanto dengan Tas Pinggangnya.

Pria yang lahir di Klaten tanggal 24 Desember 1969 ini mulai bekerja sebagai pencari batu candi pada tanggal 7 April 1992 di Candi Sewu saat adanya pemugaran candi induk bagian gantha ke atas. Awal mulanya, ia menggantikan Aris Haryanto seseorang yang lebih dulu bekerja di Candi Sewu. Ia tertarik menjadi pencari batu karena ayahnya, Tukiman (Srandul) adalah pensiunan pencari batu. Kerabat ayahnya menginginkan Iswanto untuk menggantikan sang ayah. Menurut Iswanto, saat pagi hari agar dapat fokus dalam bekerja, ia selalu menyempatkan dirinya untuk mendengarkan musik, entah itu dangdut atau campursari. Saat ia merasa sangat kesulitan untuk mencari batu, ia ber-nadzar akan menraktirkan teman-temannya. Saat di lapangan, ia tidak lupa dengan tas pinggangnya yang selalu berisikan bekal seperti makanan dan minuman. Saat matahari mulai menyengat dan perut sudah terasa lapar, ia tidak perlu pergi jauh dari lokasi. Pria yang menamatkan pendidikannya di D3 Akuntasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini tinggal membuka tas kecilnya untuk mengisi amunisi dan bisa kembali fokus mencari batu candi. Iswanto juga menyampaikan agar minat pekerja khususnya pencari batu candi bisa bertahan lama adalah dengan memberikan perbedaan kepada masing-masing pekerja. Pekerjaan sebagai pencari batu candi tidak bisa disamakan dengan pekerjaan yang lain, karena pada prinsipnya mereka menggunakan tenaga dan pikirannya.

Foto penulis bersama Iswanto saat wawancara

Restu Hidayat, Belajar dari Batu yang Diam.

Seorang pria kelahiran Klaten tanggal 20 Februari 1982. Pada tahun 2007 ia mulai diangkat sebagai PNS dan masuk di kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah dibagian logistik. Saat itu, ia berpakaian rapi dan bersih. Namun, ia mempunyai ketertarikan untuk belajar sebagai pencari batu candi di juru pemugaran sejak 2010. Ia selalu penasaran dengan kehebatan nenek moyang saat membangun candi yang menjulang tinggi, bagaimana bisa semegah ini? Alat apa yang digunakan? Selama ia bekerja sebagai pencari batu, ia sangat menjiwai pekerjaannya. “Bukan kita yang mengajari batu, tapi batulah yang mengajari kita”. Jadi banyak sekali yang dapat ia pelajari dari sebuah batu yang diam, terutama untuk ketelitian, kecermatan dan kesabaran. Menurutnya, apabila ada masalah di rumah, itu sangat mengganggu pikiran saat mencari batu. Pikirannya jadi tidak fokus di lapangan, dan tidak mendapatkan hasil apa-apa. Agar tidak dipusingkan dengan batu, ia mempunyai cara untuk tidak fokus pada satu candi saja. Apabila saat pencarian menemukan bongkahan batu untuk candi lain, ini akan sangat membantu penyusunan candi selanjutnya.

Banyak sekali keunikan yang ditemukan saat bekerja. Misalnya saja dalam candi perwara deret II nomor 4, ditemui adanya pahatan relief candi yang berbeda dibagian sisinya. Sebelah utara relief kakinya lurus, sebelah barat relief kakinya bengkok. Selain itu, terdapat keunikan lain yang bisa ditemukan di dalam candi, misalnya saja bongkahan batu yang ia temui kadang disisinya ada yang bermotif dan disisi lainnya polos. Menurut pria yang menamatkan pendidikan di SMK Negeri 2 Jetis, Yogyakarta ini menganggap keunikan yang ia temui saat di lapangan ini sebagai suatu kelucuan dibalik bangunan yang megah ini. Ia menduga, mungkin saja saat berakhirnya pembangunan, candi ini belum dalam keadaan sempurna. Karena masih ada beberapa candi yang masih polos dan harusnya bermotif. Sebagai seorang pencari batu candi ia harus siap untuk merasakan licinnya bebatuan saat musim hujan dan debu yang bertaburan saat musim kemarau. Namun, ada cerita-cerita dibalik bangunan candi yang telah berdiri. Ia bisa mengenang kejadian saat membangun candi bersama rekan kerjanya dan menceritakan kepada anak-anaknya bahwa “Oh, candi iki sing biyen tau copotne kuku ngon jempolku kae atau candi iki sing watune tau nibani sikilku”.  (Oh, candi ini yang dulu pernah melepaskan kuku di jempolku atau candi ini yang batunya pernah menjatuhi kakiku). Menurutnya, menjadi pencari batu adalah tugas yang mulia.

Foto penulis bersama Restu Hidayat dengan kostum kesahariannya

Agus Kuncoro, Narima ing Pandum

Pria kelahiran Klaten, 29 Agustus 1981 ini mulai masuk dalam pemugaran candi pada tahun 2010. Ia tertarik sebagai pencari batu karena keluarganya banyak yang berprofesi sebagai pencari batu. Kakeknya, Darmo dulu ikut dalam pemugaran, kemudian Pak Denya yang bernama Darmanto dan Supardji. Ayahnya dulu bekerja di Candi Sewu sebagai juru pelihara. Selain itu, ia tertarik menjadi pencari batu karena profesi ini langka, tidak banyak orang yang tahu. Melihat bangunan yang dulu runtuh bisa berdiri sampai atas menjadi suatu kesenangan tersendiri. Pria yang putus sekolah di kelas tiga SMA Muhammadiah ini punya pengalaman melihat batu Candi Sewu saat jalan-jalan bersama keluarga di dekat Stasiun Prambanan. Agus kemudian lapor kepada kepala unit Candi Sewu BPCB Jawa Tengah (Deny Wachyu Hidayat). Benar saja, setelah dilakukan penyelidikan, benda cagar budaya ini bisa diselamatkan dan disatukan dengan batu-batuan lain di Kawasan Candi Sewu. Setidaknya, setelah bekerja sebagai pencari batu candi, ia lebih mempunyai rasa eman-eman apabila ada batu candi yang jauh dari tempatnya semula. Pria yang pernah bekerja sebagai pedagang asongan di Taman Wisata Prambanan ini, mempunyai kemampuan berbahasa asing sehingga bisa menjawab pertanyaan wisatawan dari luar negeri. Untuk menjawab pertanyaan dari wisatawan, Agus menjadi sering membaca buku-buku tentang sejarah.  Sehingga saat ia mendapat SK untuk tugas di luar kawasan Candi Sewu, rekannya akan merasa kehilangan sosok yang bisa menjelaskan kepada wisatawan khususnya wisatawan asing. Di tugaskan di luar Kawasan Candi Sewu tidak menjadikannya berat, ia siap dan harus menyesuaikan keputusan yang telah di tetapkan oleh pimpinan, intinya “narima ing pandum”. Padahal, dengan begitu ia harus rela jauh dari keluarga. Di luar lokasi Candi Sewu ia harus menyaksikan alat yang digunakan masih serba minim serta medannya yang masih susah seperti di kebun, di tengah sawah bahkandi gunung yang harus membawa pasir per ember dari bawah. Namun, dengan adanya tugas di luar daerah bisa untuk menambah pengalaman dan pemasukan. Menjadi pencari batu, tidak begitu menyulitkan untuknya, karena sebelumnya ia sudah mempunyai basic sebagai pekerja lapangan. Ia akan puas apabila sudah mencocokkan batu yang ia temukan walaupun batu yang ia temukan kadang kurang tepat. Menurutnya, sebelum benar harus melewati salah terlebih dahulu. Untuk membakar semangatnya saat bekerja di candi, ia terinspirasi pidato dari Soekarno “ambillah apinja… dan  djangan abunja…” yang tertulis dalam Museum Manjusrigrha.

Foto penulis bersama Agus Kuncoro

Supardji Sang Spesialis Penampil Candi

Setiap pagi ia harus mengayuh sepeda tuanya dari rumah sampai Candi Sewu yang berjarak 6 km. Sebenarnya, pria yang telah bekerja di Candi Sewu sejak tahun 1992 ini sampai sekarang belum diangkat sebagai PNS dan menjalani pekerjaannya sebagai kontrak juru pelihara di Candi Sewu. Kemungkinan besar, tahun ini ia akan pensiun dari pekerjaannya mengingat usianya yang sudah tua. Namun, Supardji tetap bersemangat dan tetap sumeh (murah senyum). Walaupun dia harus melaksanakan tugasnya sebagai juru pelihara, pikirannya tetap fokus di pencari batu candi. Sampai begitu menyatunya dengan batu, Supardji pernah terbawa pikiran tentang batu hingga rumah dan akhirnya balik ke Candi Sewu hanya untuk memindahkan bongkahan batu itu. Ia sangat khawatir kalau batu yang ia temui saat bekerja akan dipindahkan oleh orang lain. Supardji berbeda dengan pencari batu yang lain, ia selalu menggunakan meteran kayu untuk mengukur batu yang dicarinya. Pria kelahiran Klaten tanggal 10 November 1953 ini mempunyai bakat dibagian pencari batu, karena ayahnya dulu seorang pencari batu candi namun harus keluar karena penghasilan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan. Ayahnya kemudian membuka tempat jahit dan laris. Supardji sangat terampil dalam mencari susunan candi di bagian penampil. Bahkan, apabila ia disuruh untuk mencari pecahan dari batu penampil, ia akan sering menemukannya. Menurutnya, ia sangat terinspirasi oleh Saino (pensiunan pencari batu). Suatu hari, Saino pernah menyuruhnya untuk mencari bongkahan batu untuk bagian penampil “Golekana penampil pak, candi ki nek penampile anyar lak elek”. (Carikan penampil pak, candi itu kalau penampilnya baru kan jelek).Benar saja, apabila candi yang megah itu penampilnya baru terlihat kurang bagus. Jadi, selama ia mencari batu, ia selalu mengutamakan bagian penampilnya. Menurutnya, penampil adalah bagian muka atau wajah dari candi yang dilihat orang untuk pertama kalinya. Selain itu, pria lulusan SMP Islam Prambanan ini  mempunyai kebiasaan yang unik apabila ia dipusingkan dengan pikirannya tentang batu. Supardji bersama dengan Saino sering mengkonsumsi cerebrovit untuk menambah kemampuannya mencari batu. Kebiasaan ini, ia mulai ketika melihat iklan di Televisi, kemudian ia membelinya di warung. Walaupun sudah tua, pria sederhana ini tidak terkendala dengan kemampuannya dalam mengingat, ia tetap semangat dan fokus. Namun, fisiknya sudah agak lemah untuk mengangkat bongkahan batu yang cukup berat. Selain keempat pencari batu yang sampai sekarang masih menjadi ujung tombak dalam proses pemugaran candi. Adapula beberapa orang yang telah pensiun dari pencari batu candi.

Foto penulis saat berbincang dengan Supardji

Darmanta, Bekerja Layaknya Sopir

Di usianya yang sudah senja, pria kelahiran Klaten, 22 Agustus 1950 ini mencoba mengingat kembali memorinya yang usang tentang pencarian batu candi. Saat itu, Darmanta sejak kecil sudah bertempat tinggal di sebelah timur Candi Sewu. Ia teringat awal mula bekerja di Candi Sewu setelah pemilihan umum pertama Soeharto (sekitar tahun 1971). Saat pertama kali bekerja di Candi Sewu, ia masih menjadi tenaga muda. Namun, Darmanta yang saat itu masih berusia muda sangat kagum ketika disuruh untuk memindahkan batu dari satu tempat ke tempat lain dan dipasang bisa langsung cocok. Pria lulusan SMP PGRI di kawasan Prambanan ini sangat antusias ketika disuruh mengikuti seniornya keliling candi dengan membawa meteran serta memperhatikan ornamen-ornamen candi. Kesulitan yang ia temui pada saat itu adalah mencari batu hingga luar Candi Sewu. Tak jarang, batu yang ia temukan sudah menjadi pagar atau menjadi material bangunan sarana transportasi pada masa kolonial. Kadang pula, ia menemukan batu di lahan masyarakat. Untung saja, masyarakat saat itu mendukung proses pembangunan candi, jadi bisa langsung diberikan. Pria yang menjadi kakak dari Supardji dan Pak De dari Agus Kuncoro ini, sangat takjub dan bangga akan keluhuran dan kebijaksanaan nenek moyang yang dapat menciptakan bangunan yang begitu megah. Bahkan ia sampai terheran-heran ketika ia mendapat tugas di luar Candi Sewu, seperti di Candi Ratu Boko. Ia takjub, bagaimana orang dulu membawa material bongkahan batu ke atas gunung? Ia berharap, generasi saat ini dapat menghargai dan merawat peninggalan nenek moyang. Banyak orang asing yang merasa heran akan kekayaan dari negara kita, terdapat peninggalan yang sangat unik serta berbagai macam perbedaan tapi kita dapat bersatu dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Ia merasa sangat berterima kasih pada nenek moyang. Menurutnya bekerja sebagai pencari batu itu seperti seseorang yang bekerja seperti sopir. Saat berkendara, sopir tidak banyak bicara, namun ia sebenarnya bekerja dan terus fokus. Begitu pula dengan seorang pencari batu candi, mereka tidak banyak berbicara, namun pikirannya terus berjalan hingga dapat menemukan sambungan satu batu dengan batu yang lain. Setelah pensiun menjadi pencari batu candi pada 2006, ia disibukkan dengan menggembala kambing. Menurutnya menggembala kambing bisa membuatnya lebih segar setelah pensiun dari pencari batu candi yang harus berpikir tegang dan fokus di setiap harinya.

Foto penulis dengan Darmanta

Rabiman, Kental dengan Ritual Kejawen

Ia mengawali profesi menjadi pencari batu saat ia diajak oleh Atmo Jino, teman ayahnya yang kebetulan satu desa. Pada tanggal 1 Maret 1981 ia ditetapkan menjadi PNS. Awal mula kemampuan Rabiman hanya terbatas pada tatah-tatah batu dan menyetel. Kemampuan Rabiman sebagai pencari batu bertambah ketika ia mendapat kesempatan untuk belajar dengan Atmo Jino. Setiap hari, ia mengikuti rekan ayahnya itu keliling candi dan ikut mengangkat batu. Lama kelamaan, Rabiman merasakan sensasi sebagai pencari batu “Barang sing awal e ra ono dadi ketemu, awal e ra ketok dadi ketok”. (Barang yang awalnya tidak ada jadi ketemu, awalnya tidak kelihatan jadi kelihatan).  Walaupun Atmo Jino seorang Buddha, ia tetap melaksanakan ritual kejawen. Suatu hari, Rabiman diajak untuk kungkum di Kali Upak dan tidur di dalam candi. Hal ini dilakukan untuk menjernihkan pikiran, agar bisa memudahkannya dalam mencari batu. Menurut pria yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbah Man ini, seorang pencari batu harus kuat segala-galanya. Ia harus kuat secara fisik dan mental. Ia juga selalu memegang teguh nasehat-nasehat yang disampaikan oleh rekan ayahnya itu. Suatu hari, ia diberikan nasehat “aja pisan-pisan yen nemune barang mas-masan saka candi, aja kok milik. Amarga kui gedhe welere. Contone tau kancaku ki entuk emas saka candi, digawa menyang omah, didelekne, wetenge busung, mati”.  (Jangan sekali-kali kalau menemukan barang berupa emas dari candi, jangan diambil (dijadikan milik). Karena, itu besar larangannya. Contohnya pernah temanku mendapatkan emas dari candi, dibawa ke rumah, disembunyikan, perutnya busung, meninggal). Hal ini menjadikan Rabiman selalu jujur dalam menjalankan pekerjaannya. Apabila ia sedang tugas diluar dan mendapati emas, ia akan pergi ke kota untuk menghubungi pihak kantor walaupun jaraknya cukup jauh. Ia telah pensiun dari pencari batu sejak 1 September 2017, namun dedikasinya masih besar untuk pemugaran. Saat ini, ia masih dibutuhkan untuk pemugaran Candi Jepara, dekat dengan Danau Rano dan Situs Bumi Ayu, Tanah Abang di Sumatera. Pria yang lahir pada tanggal 2 Agustus 1958 ini berharap anak muda bisa mempunyai rasa handarbeni peninggalan nenek moyang.

Foto penulis dengan Rabiman di kediaman Rabiman

Wagiyo, Ritual Sesuai Lokasi.

Wagiyo pertama kali bekerja di pemugaran mulai tahun  1977. Ia baru diangkat sebagai PNS pada tahun 1979. Saat itu, Wagiyo bertugas di BPCB Yogyakarta. Baru pada tahun 1982, ia mengalami mutasi pegawai ke Jawa Tengah. Sebagai pencari batu, ia harus bisa membedakan perbedaan antar ornamen bangunan candi. Dalam profesinya sebagai pencari batu candi, Wagiyo tidak melakukan ritual khusus secara rutin. Namun, saat ditugaskan di luar kawasan Candi Sewu ia akan bertanya dengan sesepuh dan masyarakat di sekitar lokasi pemugaran untuk ritual yang biasa dilakukan. Wagiyo lebih menyesuaikan keadaan di lokasi agar saat ia bekerja di berikan kelancaran. Karena mencari batu bukanlah hal yang mudah, maka diperlukan sikap disiplin, teliti dan telaten. Apabila ingin bisa sebagai pencari harus mempunyai niat untuk belajar dan dorongan dari hati. Saat bekerja, tak jarang pikirannya tentang batu terbawa saat jam istirahat bahkan sampai rumah. Ia menyatakan bahwa pencari batu berbeda dengan profesi lainnya di lapangan. Pada jam 10.00 sampai jam 11.00 siang, ia harus mencari batu dibawah teriknya matahari. Dengan kegiatan barunya setelah purna tugas sebagai PNS di BPCB Jawa Tengah tanggal 28 Oktober 2015, ia selalu menyempatkan untuk mengunjungi rekannya yang masih bekerja di pemugaran. Saat kunjungan itu, hal pertama yang ia cari pasti pencari batu. Pria yang tamat pendidikan di Sekolah Teknik/setara dengan SMP jurusan bangunan ini, sangat menyayangkan apabila pencari batu ini akan kehilangan generasi penerusnya.

Foto penulis di kediaman Wagiyo

Tentu saja, masih banyak pensiunan candi yang mempunyai pengaruh besar dalam bidang pemugaran ini. Dalam aktivitasnya setelah pensiun, mereka masih sempat mengkhawatirkan generasi penerusnya yang akan menentukan pemugaran-pemugaran candi selanjutnya. Akankah ada orang yang bersedia menjadi bagian dari ujung tombak pemugaran? Bersedia untuk membongkar batu dibalik kelutnya debu saat musim panas dan licinnya batu saat musim hujan mulai tiba. Akankah ada orang yang mempunnyai jiwa yang menyatu dengan batu dan mau belajar bersama batu? Hal demikian, mulai diresahkan oleh mereka. Karena menjadi pencari batu bukanlah perkara yang mudah. Perlu adanya kekuatan fisik dan mental. Setiap orang bisa melakukannya, asalkan ada niat dan konsistensi untuk terus belajar. Menjadi seorang pencari batu sama halnya dengan seleksi alam, “siapa yang mampu bertahan dalam keadaan, dialah yang bertahan.”

Dalam bidang pemugaran, profesi sebagai pencari batu sangatlah penting dan unik. Pencari batu merupakan orang-orang penting yang menjadi ujung tombak dalam proses pemugaran. Selain bekerja menggunakan tenaga, ia juga bekerja dengan pikiran. Pelajaran tentang batu ini tidak pernah diajarkan di bangku sekolah. Seorang pencari batu harus belajar secara mandiri di lapangan. Melalui tekad dan niat yang kuat, bakat sebagai pencari batu itu semakin lama semakin terasah. Sehingga ia mempunyai insting-insting dengan batu. Mereka, mempunyai tugas untuk mencari batu dan merangkai susunan percobaan hasil penemuan yang akan mereka laporkan disetiap harinya serta menghitung persentase bongkahan batu asli yang siap dipugar dan mengusulkannya kepada pimpinan kantor di unit Candi Sewu untuk rencana pemugaran tahun depan. Sebuah bangunan yang siap dipugar haruslah memenuhi 60% batu asli. Untuk memudahkan mencari batu, mereka harus mendahulukan motif relief candi kemudian susunnan pennya. Saat mendapat SK di luar daerah, pencari batu mengalami kesulitan saat kembali, mereka harus menyesuaikan kembali perbedaan-perbedaan berbagai ornamen candi. Mencari batu untuk candi tunggal seperti Candi Selogriyo dan Candi Dukuh tidaklah serumit mencari batu untuk candi dalam jumlah banyak seperti di Kawasan Candi Sewu maupun Candi Plaosan. Sejak tahun 2019, BPCB Jawa Tengah menargetkan setiap tahun untuk melakukan pemugaran dua candi. Tentu saja, ini menjadi tantangan baru yang harus dihadapi oleh seorang juru pugar, khususnya pencari batu.

Sebenarnya, banyak yang mempunyai bakat dalam bidang pencarian batu candi. Namun, formasi PNS untuk pengangkatan juru pemugaran khususnya pencari batu candi masih belum tersedia. Banyak diantara mereka malah masuk ke dalam formasi juru pelihara atau staff keamanan, bahkan adapula yang harus keluar dari profesi pencari batu candi dan bekerja di pabrik. Kurang minat para pekerja untuk telaten belajar sebagai pencari batu candi karena profesi ini masih disamakan dengan pekerjaan lain. Padahal, tugas sebagai seorang pencari batu sangat besar. Selain mereka harus menggunakan tenaga untuk memindahkan bongkahan batu andesit yang sangat berat. Mereka juga dibebani pikiran dan konsentrasi tinggi untuk menemukan batu candi yang sesuai. Terkadang, saking tegangnya mereka memikirkan batu, pikiran itu akan terus mengikutinya sampai rumah saat berkumpul dengan keluarga. Di kalangan masyarakat, profesi unik dibalik pembangunan kembali candi ini belum banyak diketahui. Ada profesi mulia, sebagai tanda penghormatan kepada nenek moyang dan sejarah bangsa Indonesia. Menjadi seorang pencari batu memang tidak mudah. Selalu belajar dari kesalahan merupakan gerbang menuju kebenaran. Dan sejarah bangsa Indonesia kelak akan mencatat bahwa telah berdiri 249 candi yang melibatkan manusia-manusia hebat yang mengubah batu seperti gudangan menjadi bangunan bernilai untuk warisan budaya manusia-manusia selanjutnya. Apabila pencari batu candi banyak, pekerjaan akan lebih ringan. Ada yang mencari bagian kaki, bagian tubuh, bagian atap dan bagian puncak. Diperlukan adanya kekompakan dan kerjasama yang baik antar pencari batu untuk bisa terus membangun. Tentu saja, untuk candi-candi yang telah berdiri, selalu ada kata untuk terus berbuat.