You are currently viewing Menelisik Peninggalan Kolonialisme Hindia Belanda Di Pesisir Selatan Pulau Jawa

Menelisik Peninggalan Kolonialisme Hindia Belanda Di Pesisir Selatan Pulau Jawa

Penjajahan Kolonial Belanda di Nusantara berangsur cukup lama, menurut sumber literatur, Sejarah Nasional Indoneisa jilid IV oleh Marwati Djoened P. Dan Nugrogo Notosusanto, mereka datang di Nusantara mendarat pertama di Banten pada tahun 1596.  Kedatangan awal yang bertujuan sebatas kegiatan perdagangan, namun setelah itu mereka melakukan penjajahan secara fisik dan nonfisik karena melihat secara langsung apa yang dimiliki Nusantara kala itu demi meraih kekayaan dan kejayaan. Bicara tentang penjajahan Belanda pasti selalu terngiang tentang rasa sakit, penderitaan, hingga kematian. Hal tersebut yang sudah terdogma oleh orang-orang tua kita dulu. Di sisi lain ada peninggalan-peninggalan benda ataupun bangunan Kolonial Belanda pada masa itu yang mempunyai nilai dan visualisasi peristiwa sejarah.

Kota-kota Jawa di pesisir Selatan memang agaknya kalah terekspose dibanding dengan kota-kota lain yang memiliki unsur mineral yang lebih baik yang menjadi kiblat Kolonial Belanda seperti, Solo, Temanggung, dan Semarang. Memang pada masa itu, tanaman-tanaman yang memiliki nilai jual tinggi, seperti tembakau, gula, dan kopo menjadi primadona Bangsa Kolonial Seperti yang disebutkan dalam literature buku Sejarah Indonesia Modern (Ricklefs, 2005:262). Namun, bukan berarti tidak ada peninggalan sama sekali di Pesisir Selatan Jawa. Salah satunya di Kota Kebumen. Kebumen memiliki sejengkal peninggalan Kolonial Belanda di Desa Sidayu, Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen berupa Benteng. Benteng di Indonesia merupakan peninggalan dari bangsa-bangsa barat yang dulunya datang ke Indonesia. Benteng merupakan tempat berlindung yang kokoh. Benteng mampu menahan pengepungan dan melancarkan ekspedisi penumpasan melalu darat maupun laut terhadap mereka yang mengancam keselamatan dan perdagangannya. Sebagai tempat pertahanan, benteng selalu berada di ketinggian dan selalu berada di dekat pantai atau laut. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pemilik benteng dapat melihat musuh yang datang dari jauh (Maharani, 2017: 35).

Benteng bernama Benteng Van Der Wijck atau Benteng Merah memiliki ciri paling khas adalah memiliki delapan segi/oktagonal dengan luas mencapai 7.168 meter persegi. Memiliki dua lantai yang masing-masing terdiri dari 16 ruangan besar ukuran 18 x 6,5 m. Sementara ruang kecil di lantai satu berbagai macam ukuran ada 27 ruangan, sementara di lantai dua terdapat 25 ruangan. Pada lantai satu terdapat empat pintu gerbang, 72 jendela, 63 pintu antar ruangan maupun pintu keluar benteng, 8 anak tangga ke lantai dua serta dua anak tangga darurat. Sedangkan di lantai dua, terdapat 84 jendela, 70 pintu penghubung dan empat anak tangga ke bagian atap. Atap Benteng itu pun terbuat dari batu bata merah yang sangat kuat dan kokoh (Yulianto,2006:6).

            Dari berbagai literature dan penelitian terdahulu, seperti dalam jurnal karya Yulianto Prihatmaji, 2006 “Konservasi Benteng Van Der Wijck Gombong Kebumen Studi Kehandalan Struktur Dan Bangunan” dalam jurnal Logika vol.3 No 2. Benteng ini adalah benteng pertahanan Hindia-Belanda yang dibangun sekitar abad ke 19 atau tahun 1818, seiring meluasnya pemberontakan Pangeran Diponegoro di beberapa daerah. Nama Van Der Wijck sendiri berasal dari nama komandan pada saat itu yang karirnya cukup cemerlang dalam membungkam perlawanan rakyat Aceh. Pada awal didirikan, benteng ini diberi nama Fort Cochius (Benteng Cochius) dari nama salah seorang Jenderal Belanda Frans David Cochius (1787-1876) yang pernah ditugaskan di daerah Bagelen (salah wilayah karesidenan Kedu), Van der Wijck merupakan perwira militer dengan karir cemerlang karena konon mampu memenangkan berbagai peperangan di Indonesia.

Benteng Van der Wicjk adalah barak militer yang awalnya digunakan untuk meredam kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro. Karena kehebatan beliau yang juga didukung pemimpin-pemimpin lokal di selatan Jawa, Belanda menerapkan taktik benteng stelsel yaitu pembangunan benteng di lokasi yang sudah dikuasainya. Tujuannya jelas, untuk memperkuat pertahanan sekaligus mempersempit ruang gerak musuh, terutama di karesidenan Kedu Selatan. Benteng ini didirikan atas prakarsa Jenderal Van den Bosch. Meski demikian, ada sejumlah ahli yang yakin kalau benteng itu bukan merupakan benteng pertahanan, melainkan sebagai benteng logistik dan Puppilen School atau sekolah calon militer.

Setelah penjajah Belanda diusir dari bumi pertiwi dan Republik Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, Benteng Van Der Wijck pernah difungsikan untuk tempat melatih tentara Indonesia bentukan Jepang yakni PETA sebagai pasukan tambahan menghadapi Sekutu. Di zaman itulah, seluruh tulisan Belanda yang ada di benteng dicat hitam. Kemudian dimanfaatkan untuk tentara Indonesia. Bahkan, semasa KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger), penguasa Orde Baru, Soeharto, menjadi salah satu penghuni benteng itu.

Seperti yang kita ketahui, Benteng Van Der Wijck menjadi salah satu bangunan yang sudah masuk kedalam bangunan cagar budaya SK Menteri No PM.57/PW.007/MKP/2010 SK Menteri No184/M/2017 (Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya diakses dari https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/public/objek/detailcb/PO2014102300269/benteng-van-der-wijck, diakses pada 22 September 2019). Dari penetapan tersebut sudah seharusnya menjadi tanggung jawab kita semua selaku warga negara bukan lagi urusan pemerintah saja, namun harus ada sinergi dari kita semua untuk selalu kunjungi, lindungi, dan lestarikan.

Referensi Sumber:

  • Marwati Djoened P. Dan Nugrogo. Sejarah Nasional Indoneisa jilid I. 1993. Balai Pustaka.
  • C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern. SERAMBI
  • Yulianto Prihatmaji, 2006 “Konservasi Benteng Van Der Wijck Gombong Kebumen Studi Kehandalan Struktur Dan Bangunan” dalam jurnal Logika vol.3 No 2.

Penulis : Bayu Andrianto

Mahasiswa Jurusan Sejarah UNNES  PKL di BPCB Jawa Tengah