You are currently viewing Masjid Agung Demak, Penanda Eksistensi Kasultanan Demak

Masjid Agung Demak, Penanda Eksistensi Kasultanan Demak

Masjid Agung Demak merupakan salah satu bangunan Cagar Budaya yang mempunyai nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan seni bangunan di Indonesia dari masa ke masa. Masjid Agung Demak mewakili corak seni bangunan yang khas bagi sejarah seni  bangunan Islam di Indonesia. Bahkan akhirnya corak bangunan Masjid Agung Demak menjadi contoh atau diadopsi oleh bangunan-bangunan masjid pada masa berikutnya.

Masjid Agung Demak berdiri di pusat kota Demak yang berjarak kurang lebih 27 kilometer dari kota Semarang. Kota Demak berada di dataran  rendah yaitu kurang lebih 2,20 meter diatas permukaan laut.  Suhu rata-rata di daerah ini adalah 22°-35°  dengan kelembaban 50-100 %.

Masjid Agung Demak masuk dalam masjid Jami yang mempunyai kedudukan formal sebagai masjid negara Kasultanan Demak pada masanya. Hal ini dapat dilihat dari letak Masjid Agung yang berada di Civics Centre yakni disebelah alun-alun. Masjid ini juga terletak di Kampung Kauman yaitu daerah dimana tinggal para alim ulama.

Masjid Agung Demak berdiri erat kaitannya dengan keberadaan Kesultanan Demak yaitu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Demak berdiri setelah kerajaan Majapahit runtuh karena pertentangan keluarga yang berlarut-larut. Pada abad ke 15 seorang adipati Majapahit yang berkedudukan di Demak dan memeluk agama  Islam, Raden Patah secara terang-terangan melepaskan diri dari Kerajaan Majapahit dengan bantuan penguasa-penguasa pesisir yakni Tuban dan Gresik.

Raden Patah merupakan penguasa Demak pertama yang berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Penguasa kedua adalah Pangeran Sabrang Lor, sedangkan penguasa ketiga adalah Sultan Trenggono.  Satu-satunya bangunan yang  masih tersisa dari Kesultanan Demak ini adalah Masjid Agung Demak.

Mengenai tahun berdirinya masjid Agung Demak sampai saat ini belum dapat diketahui  secara pasti. Beberapa  ahli menafsirkan angka tahun berdirinya Masjid Agung Demak berdasarkan sengkalan memet, prasasti dan petunjuk-petunjuk lain.

  1. Hiasan “pintu bledeg” , yakni hiasan yang terdapat di pintu utama Masjid Agung Demak ditafsirkan sebagai sengkalan memet yang berbunyi “naga mulat salira wani” berarti tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi.
  2. Hiasan kura-kura yang terdapat di dinding barat Mihrab ditafsir sengkalan memet yang menjukkan angka tahun 1401 atau 1479 Masehi.
  3. Sebuah prasasti yang terdapat di atas pintu masjid bagia dalam berbunyi “handegipun masjid yasanipun para wali, nalika dinten kemis kliwon malem jumu’ah legi tanggal 1 dulkidah tahun 1428”. Prasasti berhuruf dan berbahasa Jawa tersebut menunjukkan tahun berdirinya masjid Agung Demak pada tahun 1428 Jawa yang berarti tahun 1506 Masehi.