You are currently viewing Jembatan Berok Sebagai Penghubung Keragaman Etnis Masa Kota Lama Semarang

Jembatan Berok Sebagai Penghubung Keragaman Etnis Masa Kota Lama Semarang

Oleh: Isbania Afina Syahadati

Kali Semarang dahulu memiliki fungsi transportasi dengan membelah perekonomian dan pertahanan kota. Sehingga mampu memberi pengaruh terhadap permukiman yang dilaluinya. Adapun konsep waterfrontyang merupakan tempat terjadinya pertemuan antara daratan dan perairan. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut sering dijadikan lalu lintas perdagangan luar daerah maupun mancanegara. Waterfront sendiri ialah konsep yang memadai dari segala aktivitas manusia baik, sosial, budaya, perdagangan hingga perkantoran dalam ruang lingkup daratan dan perairan. Keberadaan bangsa asing di Nusantara dengan kurun waktu yang relatif panjang ini tentu sedikit banyak telah membawa perubahan yang cukup signifikan. Hal tersebut juga masih dapat dilihat hingga saat ini, yakni berupa bangunan peninggalan kolonial. Beberapa bangunan dari peninggalan kolonial ini tidak hanya menyisakan secara fisiknya saja, melainkan memiliki history tersendiri. Dimana dari cerita tersebut mampu mengingatkan apa saja yang terjadi di masa lampau, dan bisa mempelajarinya di masa mendatang.

Gambaran mengenai lingkungan geografis kota Semarang kun dapat disimak melalui catatan Franscois Valentijn. Dimana ia mengungkapkan bahwa pada awal abad ke-18 Semarang merupakan salah satu kota pantai di Jawa yang terbesar. Penguasa Jawa (bupati Semarangyang pertama di bawah VOC, Soera Adi Menggala I) tinggal dirumah besar yang yang dibuat dari batu. Untuk melewatinya maka orang-orang harus melewati jembatan besar dan tinggi untuk melewati sungai. Di dekat rumah bupati juga terdapat sebuah pasar yang besar, tempat orang-orang biasanya membeli kebutuhan sehari-hari mereka. Oleh karenanya guna mepermudah sarana transportasi tersebut dibangunlah Jembatan Berok.

Jembatan Berok ini merupakan penghubung utama antara jalan Pemuda dan Mpu Tantular yang dibangun pada tahun 1705. Pada saat itu, dilokasi Kota Lama Semarang yang disebut dengan oudstadt dibangun benteng yang berbentuk segi lima dan bernama Benteng vijhoek. Salah satu pintu gerbang benteng ini ialah Jembatan Berok yang semula diberi nama de zuider port. Kemudian,  pada masa VOC jembatan ini secara resmi disebut dengan gouverments brug. Nama tersebut telah diberikan oleh karena jembatan ini merupakan jembatan menuju De Grooote Huis dimana Gubernur VOC melakukan pekerjaan-pekerjaan kantor dan pekerjaan-pekerjaan dinas lainnya. Nama tersebut juga didapat karena lokasinya berdekatan dengan kantor Balai Kota, yang berlokasi di gedung keuangan gedung papak saat ini. Beberapa tahun kemudian, jembatan ini berganti nama dengan societeitsbrug. Hal tersebut didasarkan karena di dekat jembatan ini berdiri Gedung Kesenian societeit de harmonie, yang pada saat ini berlokasi di Bank Eksim. Pada tahun 1824 dengan dibongkarnya dinding benteng vijhoek, jembatan ini memiliki arti penting. tahun 1910 jembatan ini kemudian diperbaiki dan diberi lampu penerangan. Perbaikan terbesar dilakukan pada tahun 1980, dan kemudian dinamai Jembatan Berok karena orang-orang pribumi tidak bisa melavalkan kata burg yang dalam bahasa Belanda berarti jembatan.

Jembatan sepanjang 10 meter ini dahulu merupkan penghubung utama masyarakat yang tinggal di Kota Lama atau oud stand dengan masyarakat luar. Pada masa tersebut, orang-orang di sekitar kawasan Kota Lama tidak dapat masuk ke dalam Kota Lama karena di depan Jembatan Berok tersebut terdapat penjagaan yang sangat ketat. Jembatan ini ditopang dengan empat buah kolom utama dengan bentuk menyerupai obeliks, pada puncak kolom terdapat lampu unik yang dibuat sekitar tahun 1705. Masyarakat biasa pada saat itu hanya bisa memandang kawasan elit Kota Lama yang dulunya merupakan kawasan perkantoran, perumahan elit, serta perdagangan. Memasuki tahun 1800-an, pemerintah Kolonial Belanda kemudian membuat kebijakan baru. Kebijakan tersebut ialah, masyarakat pribumi yang berada di sekitar Kota Lama seperti Kampung Melayu, Pecinan, Kampung Arab, dan Kampung Jawa bisa berinteraksi dengan masyarakat kulit putih atau masyarakat Eropa. Tidak hanya demikian, Jembatan Berok ini dulunya menjadi simbol pembatasan antara si kaya dengan si miskin. Oleh karenanya, jembatan ini dulunya ditutup menjadi dua bagian. Saat ada kapal yang melintas di Kali Semarang, maka Jembatan Berok ini akan terbelah dan terangkat. Mengingat saat itu, Kali Semarang merupakan akses utama untuk masuk ke Kota Semarang dan menjadi saksi bisu perkembangan ekonomi di Nusantara.

Kota Semarang merupakan kota metropolitan terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Oleh karenanya, kegiatan kesehariannya memerlukan penunjang akses dalam bermobilitas. Keberadaan Kali Berok inilah pada dahulunya merupakan sara transportasi penting dari pesisir pantai utara menuju darat pada saat itu. Mulai dari ekspedisi Belanda hingga Cheng Ho (Sam Po Kong) juga pernah melewati Kali Berok ini. namun, tanpa disadari bahwasanya sungai ini juga telah menghubungkan antara strat ssial budaya yang berbeda menjadi satu kawasan yang sangat menarik. Dimulai dari kawasan Kampung Melayu di sebelah utara dan sebelah barat Kali Berok. Hal ini juga menunjukkan bagaimana Jembatan Berok ini perperan di aspek keagamaan juga. Dari kawasan utara Kali Berok sampai Pasar Johar merupakan perkampungan masyarakat muslim. Terutama orang-orang melayu yang singgah dan bertempat tinggal di Tanah Jawa ini. Selain Masjid Menara, masyarakat muslim pribumi Jawa juga membangun Masjid Kauman yang letaknya berada di sebelah barat Kali Berok dan berdekatan dengan Pasar Johar.

Meskipun komunitas masyarakat melayu dan pribumi yang berada paling awal menempati area sekitar Kali Berok. Disusul juga etnis Tiong Hoa yang kebanyakan berasal dari Cina. Warga Tiong Hoa tersebut membentuk kawasan yang padat ekonomi. Dimana letaknya berada di selatan Pasar Johar hingga menerobos Kali Berok yang dikenal dengan Kawasan Pecinan Semarang. Hingga saat ini di kawasan pecinan ini banyak terdapat toko-toko yang berjajar melingkari area Kota Lama Semarang seperti toko emas, kelontong, plastik, dan lain sebagainya. Di antara yang paling menonjol ialah Warung Semawis dengan menu khas oriental yang letaknya berada persis di sebelah Kali Berok dekat dengan Klenteng dan Replika Kapal Cheng Ho.

Ketika Imlek tiba, kawasan ini berhiaskan lapion dengan corak merah yang berjajar di sepanjang jalan. Kawasan Pecinan Semarang terbilang panjang dan luas, dimulai dari jalan Kranggan lalu Gang Beteng, Wot Gandul sampai kemabli ke Kranggan melewati Gang Warung yang merupakan jalanna Pecinan paling populer yang dilewati masayarakat Semarang. Di masa modern saat ini, kawasan Pecinan Semarang tidak hanya berada di kawasan sekitar Kali Berok saja. Melainkan, sudah lebih melebar lagi kawasannya. Komunitas lain pada masa Kota Lam ini ialah warga Eropa sendiri, tepatnya kawasan ini dimulai dari ujung jembatan Kali Berok yaitu di depan Kantor Pos Pusat Semarang kemudian melewati Jalan Merak dan Polder Tawang lalu Bundaran Bubukan samapi kembali ke Kali Berok. Dimulai dari Kali Berok inilah sejarah mampu mencatat perkemabngan keragaman etnis yang berbeda di sepanjang zaman, dari Melayu, jawa, Ting Hoa hingga Eropa.

Sumber:

Adistie Satya Wasita, ’’Efektivitas Pemanfaatan Bangunan Kota Lama Di Semarang Sebagai Sumber Belajar IPS (Sejarah) Kelas VIII Di SMP Negeri 34 Semarang Tahun Pelajaran 2015/2016.’’, Skripsi, Semarang: UNNES, 2016.

Agastya Grahadwiswara, dkk, Pengelolaan Kawasan Kota Lama Semarang Sebagai Salah Satu Kawasan Pariwisata Di Kota Semarang, ejournal.undip, __________.

Ardiana Yuli Puspitasari dan Eppy Yuliani, Konsep Pemanfaatan Bangunan Cagar Budaya Di Kawasan Kota Lama Semarang, Jurnal Planologi, Vol.16 No. 1, April 2019.

Ajeng Sarinastiti, Konsep Waterfront Pada Permukiman Etnis Kali Semarang, Teknik, Vol. 36 No.2, 2015.

Dewi Yuliati, Mengungkap Sejarah Kota Lama Semarang dan Pengembangannya Sebagai Asset Pariwisata Budaya, ANUVA, Vol. 3 No. 2, 2019.

Dosen Wisata, Perkembangan Semarang Tempo Dulu di Kali Mberok, Dosen Wisata, 9 Oktober 2019.

Edie Prayitno Ige, Sudut Pagi di Semarang, Antara Jembatan Mberok dan Soto Bokoran, liputan6.com, 24 Februari 2017.

Nur Salam, Jembatan Mberok, Jembatan Batas Antara Pribumi dan Kolonialis Kaya Raya, merdeka.com, 8 April 2018. Sukawi, Mencari Potensi Wisata Kota Lama Semarang, Jurnal Ilmiah Perencanaan Kota dan Permukiman, Vol. 7 No. 1, Maret 2008.