You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Bangunan Islam (7)

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Bangunan Islam (7)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Warisan budaya Islam di Jawa selain meninggalkan jejak yang berupa bangunan sakral, juga bangunan profan yang sebenarnya jenisnya banyak sekali. Dalam hal rumah tinggal saja dapat dilihat adanya beberapa jenis bangunan berdasarkan kontruksi atap, jumlah tiang, dan tata ruang interior, seperti rumah pencu di Kudus, atau ndalem-ndalem pangeran di Surakarta. Oleh karena itu, pada kesempatan ini pembicaraan dibatasi padahasil seni banguna yang ikut membentuk karakteristik seni bangunan Islam di Jawa, khususnya Jawa Tengah, yaitu kraton sebagai simbol pusat kekuasaan politik, sekaligus tempat tinggal penguasa tradisional.

Jika dilihat dari perjalanan sejarah, maka kraton tertua yang ada di wilayah Propinsi Jawa Tengah sekarang adalah Kraton Demak. Namun, Kraton Demak justru sudah tidak berbekas sama sekali, kecuali toponim Sitinggil. Toponim yang menunjukkan salah satu bagian depan kraton Jawa tersebut mengindikasikan bahwa dahulu di tempat tersebut berdiri kraton. Demikian pula halnya Kraton Pajang, dan kemudian Kraton Kartasura yang bekas-bekasnya tinggal tembok cepuri serta beberapa toponim saja. Oleh karena itu, Kraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran yang setingkat di bawahnya merupakan tinggalan seni bangunan kraton di Jwa Tengah yang harus dijaga kelestariannya.

Kraton Surakarta yang mulai dibangun pada tahun 1745 TU adalah salah satu kraton Jawa yang masih hidup. Pada Kraton Surakarta ini dimulai keberadaan dua alun-alun yang mengapit kraton, yakni Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Kraton memiliki tembok keliling tinggi yang memisahkannya dari lingkungan di sekitarnya. Sebagai suatu kesatuan Kraton Surakarta menghadap ke utara, namun, Dalem Prabasuyasa menghadap ke timur, ke arah terbitnya matahari. Di sini tampak bahwa ideologi pra-islam masih melekat pada filosodi Jawa.

Kawasan di dalam kraton terdiri atas beberapa halaman yang di atasnya berdiri bangunan-bangunan yang dimanfaatkan untuk acara-acara kenegaraan, ritual, dan domestik. Bangunan-bangunan tersebut menunjukkan terjadinya penyerapan unsur-unsur seni bangunan dan teknologi Barat yang dipadukan dengan unsur-unsur tradisional Jawa. Pada dasarnya Kraton Surakarta memiliki tata ruang dan bangunan-bangunan fungsional pokok yang sama dengan kraton Jawa lain, seperti kraton Yogyakarta. Akan tetapi, ada beberapa bangunan tersendiri yang menjadi karakteristik Kraton Surakarta. Di antara bangunan-bangunan tersebut, adalah;

  1. Panggung Sanggabuwana yang menurut adat menjadi tempat pertemuan Susuhunan dengan Ratu Laut Selatan, dan
  2. Mesjid Bandengan yang terletak di dekat Kaputren. Masjid ini berdiri di tengah kolam, dan dihubungkan dengan gapura ke Keputren oleh sebuah jembatan.

Di kawasan kota Surakarta juga terdapat Pura Mangkunegaran yang tatarannya lebih kecil daripada Kraton Kasunanan Surakarta. Pura Mangkunegaran yang menghadap ke selatan merupakan seni bangunan yang menunjukkan perpaduan yang serasi antara unsur seni bangunan tradisional Jawa dan Barat, sebagaimana kelihatan antara lain dari Pendapa Ageng, dan gapura utama penghubung Pamedan dan Pratan. Dengan meninjau unsur-unsur seni bangunannya, Pura Mangkunegaran memang patut dicatat sebagai salah satu tonggak penting dalam khazanah seni bangunan Jawa, khususnya di Jwa Tengah. Selain itu, banyak dalem di Surakarta yang juga patut dicatat dalam karya seni bangunan di Jwa Tengah, seperti Dalem Sasono Mulyo dan Dalem Brotodiningratan.

Keterangan Foto: Keraton Kesunan Surakarta