You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Bangunan Islam (2)

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Bangunan Islam (2)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Telah disebutkan di atas bahwa kayu digunakan sebagai bahan bangunan masjid kuna di Indonesia, tetapi tidak berarti bahwa bahan bangunan lain tidak digunakan. Di Masjid Menara Kudus dapat dilihat bahwa dinding asli mihrab menggunakan bata yang disusun dengan teknik kosod, seperti halnya teknik pembangunan candi bata. Selain bata, ternyata batu juga digunakan sebagai bahan bangunan, terutama untuk umpak (penyagga tiang), sebagaimana terlihat pada serambi Masjid Agung Demak.

Sejauh penelitian yang sudah dilakukan, masjid-masjid kuna di Jawa Tengah biasanya menggunakan kayu jati sebagai bahan bangunan. Memang kualitas kayu jati bang yang berasal dari daerah yang bertahan merah. Adapun proses pembangunan masjid dimulai dari pemilihan tanah yang baik dan penyiapan bahan-bahan bangunan, seperti pembuatan bata, penebangan dan pengeringan kayu. Setelah itu, dikerjakan saka guru (tiang utama), kemudian tiang-tiang lainnya. Apabila seluruh tiang sudah selesai dikerjakan, maka balok lain seperti sunduk, kili, blandor, pengeret mulai dikerjakan, demikian juga kayu untuk sirap.

Kerangka bangunan masjid kayu terdiri atas balok-balok yang dirangkai dengan cara bagian balok yang satu dimasukkan ke dalam bagian balok yang lain. Dalam merangkai kerangka komponen-komponen bangunan berbahan kayu, orang Jawa menggunakan purus, sindik, gethakan, dan cathokan. Ada pula yang menggunakan sistem raguman, yaitu mengikat dengan tali ijuk. Supaya tidak keliru dalam merangkai, maka ujung-ujung balok tersebut diberi tanda-tanda yang menunjukkan letaknya.

Kembali kepada bangunan masjid, perlu dicatat bahwa masjid kuna di Jawa mempunyai beberapa ciri, di antaranya:

  1. Mempunyai pagar keliling,
  2. Ruang utamanya berdiri pada fondasi yang berdenah bujur sangkar,
  3. Mempunyai serambi dan kolam di depan atau juga di kanan-kiri bangunna masjid,
  4. Mempunyai mihrab, yaitu tempat imam waktu shalat berjamaah,
  5. Mempunyai pawestren, yaitu tempat shalat jamaah wanita,
  6. Beratap tumpang dengan puncak mustaka, dan
  7. Biasanya tidak mempunyai menara.

Ciri-ciri tersebut di atas dari bangunan-bangunan masjid tertua di Jwa yang masih ada; seperti Masjid Agung Demak di kota Demak, Masjid Agung Kesepuhan di Cirebon, dan Masjid Menara di Kudus. Jika diamati, tampak bahwa masjid-masjid kuna di Jawa Tengah khususnya tidak banyak memuat ornamentasi, terutama di ruang utamanya, Ornamentasi biasanya diterakan pada serambi, baik berupa ukir-ukiran seoerti di Masjid Agung Surakarta dan Masjid Nur Sulaiman di Banyumas, maupun tempelan keramik hias seperti di Masjid Agung Demak. Kalau ada ornamentasi pada dinding ruang utama, maka biasanya berupa kaligrafi asma Allah, nama Muhammad, atau kutipan ayat-ayat Al Quran. Di masjid-makam Mantingan (Jepara) dan Masjid Menara di Kudus, ruang utamanya juga tidak terlihat adanya hiasan, melainkan hanya terdapat prasasti yang menerangkan waktu dibangunnya masjid tersebut.