You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Arca Kuno (1)

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Arca Kuno (1)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Seni arca merupakan salah satu cabang dalam seni rupa yang menhasilkan bentuk tiga dimensi yang disebut arca. Adalam bahasa Yunan arca disebut eikon (ikon), yang berarti potret atau penggambaran tokoh yang digunakan sebagai objek pemujaan.

Keberadaan seni arca di Indonesia sudah dikenal sejak jaman prasejarah, yang mulai muncul dan berkembang dalam budaya megalitik. Pada masa ini arca adalah penggambaran nenek moyang atau pemimpin yang digunakan sebagai media untuk mendatangkan rohnya agar dapat dimintai jasa dan perlindungannya. Konsep yang mendasari munculnya penggambaran tokoh semacam ini adalah kepercayaan terhadap roh leluhur. Karena roh dipercaya mempunyai kekuatan, maka perwujudannya dipuja agar rohnya datang sehingga dapat dimintai jasa dan perlindungannya demi kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, juga terdapat kepercayaan lain bahwa arca-arca megalitik digunakan sebagai penolak bala dan lambang kesuburan.

Pada masa klasik atau masa pengaruh Hindu-Buddha, pengertian arca dihubungkan dengan istilah bera atau vigraha atau bimba yang dalam bahasa Sansekerta berarti perwujudan dewa. Selain istilah bera atau vigraha atau bimba apad amasa ini juga dikenal istilah pratima, yaitu penggambaran tokoh/raja yang telah meninggal dan sudah diperdewakan. Kedua jenis penggambaran tersebut digunakan sebagai media untuk mengadakan hubungan secara langsung dengan dewa yang digambarkan. Bagi sekelompok orang, arca merupakan alat bantu untuk memusatkanpikiran pada waktu samadi dan ketika pikiran sudah terpusat, yang hadir dalam samadi adalah esensi dari dewa yang digambarkan. Sementara itu, kelompok yang lain, arca dewa adalah media untuk memuja dan berbakti kepada dewa dengan cara memberikan persembahan dan melakukan upacara di hadapannya.

Dalam kepercayaan India, termasuk dalam Hinduisme dan Buddhaisme yang pengaruhnya berkembang di Jwa, dewa adalh personifikasi kekuatan alam. Menurut kepercayaan tersebut, angin, gunung, laut, matahari, dan sebagainya, adalah kekuatan yang berada di luar diri manusia dan diwujudkan dalam bentuk manusia super. Kekuatan manusia auper tersebut antara lain diwujudkan melalui penggamabrannya yang tidak wajar, misalnya mempunyai kepala lebih dari satu atau mempunyai tangan banyak. Dalam pengarcaannya pun, dewa dapat digambarakan dalam bentuk antropomorfik (bentuk manusia), zoomorfik (bentuk binatang), dan teriantrofik (bentuk manusia setengah binatang).

Setiap dewa atau dewi mempunyai laksana (ciri atau atribut) yang membedakan satu tokoh dengan tokoh yang lain. Sealin laksana, dewa juga dapat dibedakan melalui mudra (sikap atau posisi tangan) dan asana (posisi duduk dan berdiri seorang tokoh). Baik laksana, mudra, maupun asana yang merupakan penentu identitas tokoh tidak boleh dibuat sewenang-wenang dan harus dibuat dengan tepat sesuai ketentuan yang dimuat dalam kitab Silpasastra.