You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Masa Pengaruh Hindu Budha

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Masa Pengaruh Hindu Budha

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini dapat kami tampilkan di laman ini.

Perjalanan Jawa Tengah kuna, masa pengaruh Hindu-Budha dimulai dari munculnya kerajaan Mtaram. Oleh para ahli nama kerajaan ini disebut Mataram yang muncul pada masa pengaruh Islam. Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan, keberadaan Kerajaan Mataram Kuna telah jelas pada tahun 723 TU, dengan ditemukannya prasasti Canggal, di Gunung Wukir, Magelang. Prasasti ini selain berisi penanggalan dengan candrasengkala cruti indira rasa (654 TS). Juga menyebut nama tokoh (raja) Sanjaya yang mengaku sebagai anak Sanaha, saudara perempuan Sanna. Sebenarnya di wilayah Jawa Tengah juga ditemukan beberapa prasasti tidak berkerangka tahun, yang diduga berasal dari masa yang lebih tua daripada prasasti Canggal. Dua di antara prasasti yang dimaksud adalah prasasti Tuk Mas dari daerah Grabag, Magelang dan prasasti Sojomerto dari daerah Batang. Prasasti Tuk Mas berisi ‘sanjungan’ terhadap tempat yang diibaratkan sebagai Sungai Gangga di India, yang dianggap sebagai sungai suci. Di samping itu, prasasti ini juga memuat gambar-gambar berupa trisula, kamandalu, dan teratai yang digunakan sebagai simbol dalam agama Hindu, tetapi tidak menunjukkan atas perintah siapa prasasti ini ditulis.

 Parasasti Sojomerto yang ditemukan di Kabupaten Batang kira-kira berasal dari abad VII TU. Prasasti ini menyebutkan nama tokoh Dapunta Selendra yang mengaku sebagai anak dari Santanu dan Badrawati. Tokoh tersebut memiliki isteri bernama Sampula. Berdasarkan nama-nama itu Boechari bahwa nama Dapunta Salendra merupakan pengindonesiaan/pemelayuan dari ejaan Sailendra dalam bahasa Sansekerta. Pendapat tersebut kemudian mengubah alur kisah dalam historiografi Mataram Kuna yang pernah disusun oleh N.J Krom dan J.G. de Casparis. Perbedaan mendasar asumsi pertama dan asumsi Boechari adalah pendapat tentang wangsa atau dinasti di Jawa Tengah pada abad VIII-X TU.

Asumsi pertama menganggap bahwa di Jawa Tengah pada masa itu terdapat dua dinasti, dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra. Asumsi ini didasarkan atas sebutan dua nama yang tercantum dalam prasasti Kalasan 778 TU, yaitu nama (pihak) raja yang menghadiahkan tanah dan nama raja yang membangun bangunan suci bagi Dewi Tara di Kalasan. Selain itu, Sanjaya dianggap sebagai nma dan pendiri dinasti karena penyebutannya di prasasti Canggal 732 TU dan disebut pula sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya sebagai urutan pertama dalam prasasti Mantyasih 907 TU. Sementara itu, di Jawa Tengah juga ditemukan beberapa prasasti yang menyebut raa sebagai keturunan wangsa Sailendra (prasasti Abhayagiriwihara 792 TU), Kelurak 782 TU, Kayumwungan 824 TU, dan Cri Kahulunan 842 TU). Dengan demikian, secara meyakinkan sejarawan masa itu menunjuk bahwa Kerajaan Mataram Kuna pada abad VIII-X TU diperintah secara bergantian oleh raja-raja dari dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra.

Asumsi kedua, terutama dikemukakan oleh Boechari didasarkan atas isi prasasti Sojomerto yang digunakan sebagai titik tolak pendapatnya tentang dinasti, bahwa hanya ada satu dinasti Sailendra dan pendirinya (wangsakarta) adalah Dapunta Salendra. Pendapat ini sebenarnya diilhami oleh artikel R.M.Ng. Purbatjaraka yang berjudul “Crivijaya, De Cailendra en de Sanjayavamca” yang merupakan sanggahan atasa artikel F.D.K Bosch dengan judul yang sama. meskipun judulnya sama tetapi isinya sangat bertolak belakang, karena perbedaan interpretasi, terutama terhadap sebutan nama yang tercantum dalam prasasti Kalasan 778 TU. Boechari menempatkan raja-raja yang disebut dalam prasasti-prasasti Jwa Tengah abad VIII-X TU sebagai keluarga besar Sailendra, yang sebagian menganut  agama Hindu (Siwa) dan sebagain yang lain menganut agama Buddha. Hal ini sesuai dengan tinggalan-tinggalan monumental berupa bangunan candi yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Tengah serta berlatar belakang agama Hindu-Budha secara berdampingan. Keyakinan ini didukung pula dengan bukti prasasti batu koleksi Museum Adam Malik, yang dikenal dengan sebutan prasasti Sengkara prasasti ini menyebutkan seorang tokoh yang terpaksa tidak mempercayai ‘guru’nya (tabib) karena tidak dapat menyembuhkan sakit ayatnya, sehingga akhirnya dia kembali kepada ‘sangha’nya. Prasasti tersebut mengisyaratkan adanya perpindahan agama dari agama Hindu menjadi penganut Budha, peristiwa itu ditandai dengan pembangunan candi untuk Manjusri (Manjusrigrha), kompleks Candi Plaosan Lor, dan Candi Borobudur.

Meskipun kedua model penulisan sejarah Mataram Kuna yang terletak di Jwa bagian tengah (sekarang Jawa Tengah) belum terdapat kesepakatan, tetapi berdasarkan identifikasi terhadap nama-nama tokoh yang disebut dalam prasasti Wanua Tengah III diketahui bahwa keberadaan kerajaan ini berlangsung sampai pertengahan pertama abad X TU. Berdasarkan identifikasi nama-nama tokoh (raja) yang terdapat dalam prasasti-prasasti dapat diketahui bahwa Jawa Tengah pada awalnya diperintah oleh araja yang sekaligus menjadi wangsakara (pendiri dinasti), yaitu Dapunta Salendra. Beberapa saat kemudian setelah tidak ditemukan informasi lagi baik tentang tokoh ini maupun penggantinya, muncul tokoh bernama Sanjaya yang dimauat dalam prasasti Canggal tahun 732 TU. Nama Sanjaya ternyata juga disebut pada urutan pertama dalam prasasti Mantyasih tahun 829 TS (907 TU, yang dikeluarkan oleh Rakai Watukura dYah Balitung. Pencantuman nama Sanjaya dan nama-nama tokoh lain yang memerintah sebelum Balitung. Pencantuman nama Sanjaya dan nama-nama tokoh lain yang memerintah sebelum Balitung dalam prasasti ini sangat membantu dalam rekrontruksi seajarah kerajaan Mataram Kuna. Bahkan, identifikasi tokoh yang pernah berkuasa di masa kerajaan Mataram Kuna menjdi lebih lengkap ketika di daerah Temanggung ditemukan prasasti Wanua Tengah III tahun 830 TS (908 TU). Berdasarkan hasil identifikasi tokoh yang dimuat dalam prasasti-prasasti yang berasal dari Jwa Tengah dapat diketahui nama-nama tokoh yang memerintah Mataram Kuna adalah:

  1. Dapunta Salendra (abad VII TU)
  2. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732 TU)
  3. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746-784 TU)
  4. Rakai Panabaran (784-803 TU)
  5. Sri Maharaja Rakai Panunggaan (?)
  6. Sri Maharaja Rakai Warak (Dyah Manara) (803-827 TU)
  7. Dyah Gula (827-828 TU)
  8. Sri Maharaja Rakai Garung (828-847 TU)
  9. Sri Maharaja Rakai Pikatan (Dyah Saladu) (855-885 TU)
  10. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855-885 TU)
  11. Dyah Tagwas (? 885 TU)
  12. Rakai Panumwangan Dyah Dawendra (885-887 TU)
  13. Rakai Gurunwangi Dyah Bhadra (887 TU)
  14. Sri Maharaja Rakai Watuhamalang/Wungkalhumalang Dyah Jbang (894-898 TU)
  15. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-909 TU)
  16. Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubrajapratipaksaksaya (913-919 TU)
  17. Sri Mharaja Rakai Layang Dyah Tulodong (913-919 TU)
  18. Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa (919-925 TU)

Daftar nama raja atau penguasa diatas didasarkan atas kompilasi beberapa prasasti yang menyebut nama tokoh yang dapat dikaitkan secara kronologis dengan prasasti yang memuat daftar nama tokoh tersebut. Meskipun demikian, masih ditemukan beberapa prasasti lain yang menyebut nama tokoh, walaupun secara kronologis dapat disejajarkan dengan salah satu dari nama tokoh di atas, tetapi secara morfologis dan latar belakang keagamaan tidak dapat dikaitkan secara langsung. Nama-nama tokoh itu diantaranya adalah: Bhanu (prasasti Ligor 752 TU) Samaratungga (prasasti Kayumwungan 824 TU) Rakai Patapan Pu Manuku (prasasti Gondosuli 807 TU), Sri Kahulunan (prasasti Magelang 842 TU), Balaputradewa (prasasti Gondosuli 807 TU), Sri Kahulunan (prasasti Magelang 842 TU). Balaputradewa (prasasti Pereng 850 TU), Rkai Walaing pu Khumbayoni (prasasti pendek dari Bukit Ratu Boko 856-863 TU). Nama-nama tokoh tersebut meskipun keberadaanya dapat diakui, tetapi penempatannya dalam kerangka sejarah membutuhkan bukti lain (prasasti) yang dapat mendukungnya

Dinamika sejarah Mataram Kuna di Jawa Tengah tergambar dengan ditemukannya bukti-bukti arkeologis baik yang bersifat artefaktual, ekofaktual, maupun fitur. Bukti-bukti artefaktual dapat ditunjukkan dengan ditemukannya kembali bangunan-bangunan candi yang besar dan indah. Bangunan candi ini baik yang berlatar belakang agama Hindu maupun Buddha tersebar hampir di seluruh wilayah administratif Jawa Tengah, di wilayah pantai atau pedalaman. Demikian pula artefak lain seperti prasasti, arca, dan barang-barang perhiasan yang banyak ditemukan melalui ekskavasi atau temuan warga masyarakat, merupakan bukti bahwa pada masa itu kerajaan telah mengalami masa kejayaan dan kemakmuran.

Perjalanan sejarah kerajaan Mataram Kuna di Jawa Tengah mengalami pasang surut kekuasaan raja-raja yang memerintah dari segi kemampuan dan legitimasi yag dimilikinya. Kondosi ini dapat diakaitkan dengan keberadaan candi-candi di sepanjang masa kerajaan Mataram dari masa paing awal kerajaan Mataram Kuna ‘tidak menghasilkan” candi. Tinggalan berupa beberapa prasasti yang terbuat dari batu. Banguanncandi yang banyak ditemukan adalah yang berasal dari abad VIII samapi dengan awal abad X TU. Beberapa candi yang di wilayah administrative Jawa Tengah dan berasal dari kurun waktu tersebut misalnya adalah kompleks percandian Dieng, Gedongsanga, dan Candi Borobudur-Mendut-Pawon dan sekitarnya. Selain itu masih terdapat candi lain yang berdiri sendiri maupun yang berupa kelompok?kompleks seperti misalnya Candi selogriya. Candi Lumbung, Candi Asu di Magelang dan Candi Sewu, Lumbung, Gana, Plaosan, Sojiwan, dan Candi Merak di daerah Klaten.

Dinamika sejarah Mataram Kuna mulai surut Ketika tokoh yang menjadi raja tidak diketahui dengan jelas asal usulnya sehingga legitimasinya sesuai dengan norma pergantian kekuasaan kerajaan lemah. Tanda-tanda ini sebenarnya sudah mulai tampak pada masa pemerintahan Rakai Pikatan ketika ia menyerahan kekuasaan kerajaan lemah. Tanda-tanda ini sebenarnya sudah mulai tampak pada masa pemwrintahan Rakai Pikatan Ketika ia menyeragkan kekuasaannya kepada Rkai Kayuwangi Dyah Lokapala, sebagaimana disebutkan dala prasasti Sivagrha 856 TU. Penyerahan itu ditengarai mempunyai latar belakang politik, karena Raki Kayuwangi yang berhasil memadamkan ‘pemberontakan‘ Rakai Walaing pu Khumbayoni sebenarnya bukan pewaris tahta yang sah. Secara procedural pergantian kekuasaan itu tidak lazim karena Rakai Kayuwangi telah melampau kakak perempuannya yang berhak atas waris kekuasaan. Gejala ini dapat dibuktikan dengan terjadinya intrik pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi oleh Rakaryan Landayan (suami kakak perempuan Rakai Kayuwangi), seperti yang dikisahkan dalam prasasti Wuatantija 862 TU.

Setelah Rakai Kayuwangi penggantinya adalh Sri Mharaja Rakai Watuhumalang (Wungkalhumalang), yang selain disebut dalam prasasti Mantyasih juga disebut dalam prasasti Panunggalan. Ia juga tidak diketahui asal usulnya, sehingga diduga kenaikan tahtanya tidak melalui prosedur dan norma yang berlaku. Ratu Watukura Dyah Balitung adalah raja yang menggantikan Rakai Watuhumalang, yang juga tidak menunjukkan hubungan dengan pendahulunya. Oleh karena itu pergantian kekuasaan ini dapat disebut sebagai peristiwa pergantian kekuasaan yang agak’ istimewa, apalagi asal usul tokoh ini pun tidak diketahui dengan pasti. Kenyataan itu baru dapat dipahami Ketika dalam masa pemerintahannya yang menjabat sebagai Rakryan Mahamantri I Hino (kandidat pertama untuk menduduki takhta kerajaan) adalah Pu Daksottama Bahubrajapratipaksaya. Tokoh ini selain disebut sebagai rwanghaji (teman raja) juga mempunyai hak-hak istimewa yang hanya dimiliki oleh eaja, misalnya memerintahakan penulisan prasasti dan mengadakan revisi pajak. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Boechari dapat diketahui bahwa tokoh ini, yang lebih dikenal dengan sebutan Daksa, adalah saudara dari isteri Balitung. Dengan lain perkataan bahwa Balitung naik takhta karena mengawini putri kerajaan dan mengesampingkan kandidat raja yang lain, yaitu Daksa. Asumsi ini dapat dibuktikan Ketika pada periode berikutnya Daksa benar-benar menggantikan Balitung berkusa di tahkta kerajaan Mataram.

Sejak masa Pemerintahan Pu Daksottama Bahubraja pratipaksaksaya (Daksa) situasi social, politik dan pemerintahan di Kerajaan Mataram Kuna sangat tidak stabil, bahkan kemudain mengakibatkan pindahnya pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sinyalemen ini dibuktikan dengan adanya pergantian kekuasaan raja-raja penggantinya yang tidak jelas asal usul, dan peringkat peluangnya menjadi raja. Sebagai contoh Rakai Layang Dyah Tulodong yaitu raja yang menggantikan Daksa, sebelumnya disebut menjabat ‘pagerwsi’. Jabatan ini dalm struktur birokrasi kerajaan Mataram Kuna menempati posisi yang sangat jauh dari urutan kandidat raja, sehingga dapat diduga ia mengambil alih kekuasaan secara paksa atau “unsupator”. Demikian pula penggantinya, yaitu Rakai Sumba Dyah Wawa yang mengaku seabagi anak Kryan Landayan sang lumrah ri alas. Jika Kryan Landayan yang disebut sebagai tokoh yang ‘memberontak’ pada masa pemerintahn Rakai Kayuwangi, maka dapat diduga bahwa upaya perebutan kekuasaan yang terjadi sejak masa pemerintahan Rakai Pikatan baru berhasil pada akhir periode kerajan Mataram Kuna

Kondisi politik yang kacau diperburuk lagi dengan adanya ukti bahwa Gunung Merapi pernah meluluhlantahkan Pulau Jawa (khususnya Jawa Tengah) sekitar tahun 925 TU. Peristiwa ini merupakan puncak kehancuran kerajaan Mataram Kuna di Jwa Tengah. Factor religious juga mempunyai peran utama dalam kehancuran kerajaan Mataram Kuna, karena masyaraat dan kerajaan sudah tidak mengindahkan kaidah dan norma kehidupan social politik serta melupakan pemujaan kepada Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Mahaesa. Masa akhir Kerajaan Mataram Kuna ditandai dengan berpindahnya pusat kekusaan pemerintahan ke sebuah lokasi di Jawa Timur yang dibuktikan dengan prasasti yang bertahun 928 TU yang dikeluarkan oleh Pu Sindok di daerah Jawa Timur. Sindok inilah yang terbukti ‘memindahkan’ pusat kerajaan Mataram Kuna. Ia adalah pejabat yang meniti karirnya mulai dari Rakryan Mahamantri I Halu, kemudian Rakryan Mahamantri I Hino, dan akhirnya menjadi raja.

Senyampang dengan kondisi social politik tersebut di atas, maka di wilayah Jawa Tengah pada waktu itu juga tidak lagi ditemukan tinggalan-tinggalan arkeologis yang bersifat monumental yang dapat menandai kehidupan institusinal pada masa itu. Akan tetapi tidak berarti bahwa wilayah Jawa Tengah pada waktu itu tidak berpenghuni sama sekali. Setelah melampaui lebih dari enam abad lamanya barulah ditemukan kembali kompleks Candi Sukuh, Candi Cetho, dan Candi Planggatan di daerah Karanganyar sebagai tinggalan masa akhir kerajaan Majapahit. Candi-candi itu jelas merupakan tinggalan masa Majapahit karena mencantumkan angka tahun dan secara arsitektural maupun latar belakang religinya sangat mendukung gambaran tentang keadaan masyarakat pada masa itu.