You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Masa Kolonial

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Masa Kolonial

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Faktor yang mempengaruhi bangsa Eropa mencari jalan ke Nusantara adalah karena dorongan beberapa faktor yaitu ekonomi, agama dan petualangan. Di samping itu perkembangan teknologi pelayaran dengan penemuan daerah-daerah baru mengakibatkan semakin luasnya ekspansi abngsa Eropa.

Bangsa Portugis merupakan bangsa pertama yang datang di Indonesia. Petualangan orang-orang Portugis yang akan mengancam monopoli perdagangan rempah-rempah. Hal ini mengakibatkan terjadi perlawanan oleh bangsa Portugis terhadap bangsa Spanyol.

Sejak akhir abad XVI TU, bangsa Belanda, Inggris, Denmark dan Perancis datang pula ke Indonesia. Mereka mempunyai maksud sama seperti halnya bangsa Portugis, yaitu untuk menguasai monopoli perdagangan, terutama rempah-rempah. Oleh karena itu kedatangan mereka di Indonesia telah menimbulkan reaksi di kalnagan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Selain mengadakan persaingan di antara mereka sendiri, mereka mencoba melaksanakan keinginannya dalam hal monopoli perdagangan kepada penguasa setempat. Apabila motif kedatangan bangsa Portugis ada tiga faktor yang mendorong yaitu agama, ekonomi dan petualangan, maka kedatangan bangsa Belanda mempunyai dua motif yaitu ekonomi dan petualangan.

Perdagangan rempah-rempah mendatangkan keuntungan yang berlimpah sehingga bnayak perkumpulan dagang didirikan di kalangan orang-orang Eropa. Kemudian muncullah persainagn baik di kalangan bangsa Eropa maupun di antara orang-orang Beland sendiri. Akhirnya Staten General (Dewan Rakyat) di Negeri Belanda ikut campur tangan dengan memutuskan bahwas perkumpulan dagang yang kuat harus didirikan untuk memenangkan persaingan dengan bgsa Portugis daerah timur.

Untuk mencapai tujuan ini VOC harus melakukan perlawanan terhadap para saingannya ialah orang-orang Inggris, Portugis, Spanyol, dan Eropa lainnya. Kekuasaan monopoli dan ekstirpasi VOC merupakan alat untuk menguasai perniagaan di Indonesia, karena kedudukan VOC bukan hanya kongsi dagang, tetapi suatu kongsi dagang yang mempunyai hak pemerintahan. Hak ekstirpasi berarti mengurangi jumlah hasil produksi (hasil perkebunan) untuk mempertahankan supaya harga tetap tinggi.

Pengertian monopoli mengandung arti yang lebih luas lagi, bukan hanya kekuasaan dalam hal perdagangan, VOC yang telah menjalankan sistem monopoli di Indonesia berarti menguasai berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam uasahanya menguasai monopoli, VOC menggunakan politik (devide de impera), yaitu VOC mencampuri urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan Indonesia, kemudian menyediakan diri untuk memberikan bantuan terhadap kerajaan-kerajaan yang berselisih, terutama soal tahta kerajaan. Dengan demikian VOC akan menerima ganti berupa monopoli, terutama daerah-daerah yang menghasilkan barang-barang kebutuhan perdagangan. Politik kolonial Belanda dalam mempertahankan koloninya juga mempergunakan sistem devide et impera.

Sejak pertengahan abad XVIII TU, VOC mengalami kemunduran. Hutang VOC ditanggung oleh pemerintah Belanda, dan seluruh kekayaan VOC menjadi milik pemerintah juga. Dengan demikian, mulai 1 Januari 1800 daerah yang dikuasai VOC menjadi jajahan negeri Belanda.

Pada tahun 1808 TU, Deandels diangkat menjadi gubernur jenderal atas wilayah Indonesia. Tugas utamanya adalah untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris. Dalam upaya tersebut, perhatian Deandels hanyalah terhadap pertahanan dan ketentaraanya. Tindakan yang diambil untuk pertahanan berupa meningkatkan jumlah prajurit, meningkatkan kesejahteraan prajurit, membangun benteng-benteng baru, membangun jalan raya yang terbentang antara Anyer sampai Panarukan, membangun kembali armada angkatan laut, dan membangun pelabuhan armada.

Langkah-langkah yang diambil Deandels di satu sisi menimbulkan dampak positif seperti dalam bidang pertahanann dan pemerintahan, tetapi cara-cara yang digunakan sangat diktatoris sehingga banyak menimbulkan perlawanan baik dari raja-raja di Indonesia maupun pejabat-pejabat Belanda. Tahun 1899 TU Deandels ditarik ke Eropa oleh Napoleon Bonaparte, dan Jensens yang semula menjadi gubernur Tanjung Harapan menggantikannya sebagai gubernur jenderal di Indonesia.

Pertengahan tahun 1811 TU armada Inggris di bawah Jenderal Auchmuty mendarat di Pantai Cilincing dan menuju Senen. Setelah Jatinegara direbut Inggris, pertahanan Belanda mundur ke Bogor, kemudian ke Semarang. Di desa Tuntang (dekat Salatiga) Belanda menyerah dan ditandatanganilah Perjanjian Tuntang (1811 TU). Sejak saat itu Indonesia diperintah oleh Inggris.

Gubernur Jenderal EIC (East India Company) bernama Lord Minto yang berkedudukan di Calcuta mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur jenderal untuk Jwa dan sekitarnya (1811-1816 TU). Pemerintahan jajahan Inggris atas wilayah Indonesia tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya, sehingga raja-raja di Jawa yang merasa telah berjasa membantu Inggris merasa sangat kecewa. Tindakan yang dilakukan oleh Raffles pada masa pemerintahannya adalah membagi daerah Jawa atas enam belas daerah karesidenan, dengan tujuan untuk mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasainya.

Indonesia kembali menjadi jajahan Belanda setelah Inggris menyerahkan kekuasaannya berdasarkan Convention of London (1816 TU). Pemerintah Belanda menerapkan politiknya dengan berbagai tingkatan yang sifatnya menguntungkan pihak Belanda. Van Den Bosch, Gubernur Jenderal Belanda (1830-1833 TU). Merupakan seoarang pemikir dan pelaksana Cultuurstelsel yang berarti cara pertanian, atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Tanam Paksa. Tujuan dari Tanam Paksa adalah untuk memberi pemasukan bagi kas negara sehingga hutang-hutang dapat dibayar dan keperluan pemerintah Belanda tercukupi, termasuk untuk mencukupi biaya perang.

Dalam menjalankan tugasnya itu, berbagai tantangan muncul yaitu menghadapi perekonomian yang buruk, persaingan dagang dengan Inggris, dan sikap bangsa Indonesia yang memusuhi bangsa Belanda. Untuk menghadapi pertentangan yang kuat dari bangsa Indonesia, Belanda menindasnya dengan jalan perang kolonial dan politik devide et impera.

Perlawanan terhadap pemerintah Belanda di Jwa Tengah adalah Perang Dipanegara. Adabeberapa hal yang menyebabkan Dipanegara turun tangan dan memimpin perlawanan terhadap Belanda antara lain:

  1. Kekuasaan raja Mataram semakin kecil dan kewibawaannya mulai merosot. Bersamaan dengan itu terjadi pemecahan wilayahnya menjadi empat kerajaan kecil yaitu, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Paku Alaman.
  2. Kaum bangsawan merasa dikurangi pengahasilannya, karena daerah-daerah yang dulu dibagi-bagikan kepada para bangsawan kini diambil oleh pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda mengeluarkan maklumat yang isinya akan mengusahakan perekonomian sendiri, tanah milik kaum partikelir (swasta) harus dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Sudah tentu tindakan ini menimbulkan kegelisahan di antara para bangsawan, karena harus mengembalikan uang persekot yang telah mereka terima.
  3. Rakyat yang memppunyai beban seperti kerja rodi, pajak tanah dan sebagainya merasa tertindas. Begitu pula karena pemungutan beberapa pajak yang diborong oleh orang-orang Cina dengan sifat memeras dan memperberat beban rakyat.

Sebab-sebab khusus terjadinya Perang Dipanegara adalah pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Dipanegara di Tegalrejo (Yogyakarta). Pangeran Dipanegara merasa sangat tersinggung dengan kebijakan pembangunan jalan tersebut. Pada akirnya Belanda berhasil mengakhiri Perang Dipanegara setelah diadakan perundingan dengan pihak Pangeran Dipanegara yang sebenarnya merupakan tipu muslihat pihak Belanda untuk menangkap Pangeran Dipanegara.

Dengan tertangkapnya Pangeran Dipanegara maka berakhirlah Perang Dipanegara dengan Belanda. Kemudian Pangeran Dipanegara ditawan di Batavia, Menado, dan terakhir di Makasar hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.

Selama tahun 1878-1900 TU Indonesia terbuka bagi modal Barat. Oleh karena itu, masa itu disebut dengan zaman liberalisme. Kaum modal swasta Belanda dan negara Barat lainnya membuka perkebunan di Indonesia, seperti teh, kopi, gula, dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatera Timur. Pembukaan perkebunan itu didukung dengan adanya Undang-undang Agraria pada tahun 1870. Isi undang-undang itu terutama adalah melindungi para petani di tanah jajahan agar terjaga hak milik atas tanahnya terhadap usaha penguasa orang asing. Tujuan lain adalah memberikan peluang kepada para pengusaha asing untuk menyewa tanah rakyat. Pemerintah melarang pembelian tanah oleh para pengusaha, tetapi memberikan kebebasan untuk menyewa tanah rakyat.

Praktik kolonial yang dijalankan oleh pemerintah Belanda dari tahun 1870-1900 TU membawa kemerosotan kehidupan penduduk Indonesia, terutama di Jawa. Timbul kritik yang dilancarkan terhadap pemerintah. Pada dasarnya kritik itu tidak menyetujui praktik kebijaksanaan yang dilakukan yang telah membawa kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.

Usaha-usaha untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia baru dilaksanakan pada akhir abad XIX TU dan awal abad XX TU. Perbaikan itu dikenal dengan Politik Etis. Kebijaksanaan itu didasarkan atas gagasan golongan etis yang menyatakan bahwa tanah jajahan perlu perbaikan dalam bidang pertanian yang berupa irigasi, pendidikan, dan mengadakan perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya ke daerah yang kosong.

Pada masa itu teradi juga perkembangan sosial budaya dalam masyarakat. Di Pulau Jawa, muncul golongan sosial baru sebagai pendukung kuat kebudayaan Indis yang merupakan kebudayaan campuran (Belanda-Jawa). Terdapat lima golongan masyarakat baru yaitu:

  1. Golongan elit birokrasi terdiri atas pamong praja bangsa Belanda dan pamong praja pribumi,
  2. Priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat,
  3. Priyayi prefosional yang terdiri atas sarjana hukum, insinyur, dokter, gutu,
  4. Golongan Belanda dan Indo yang secara formal masuk status Eropa, dan
  5. Wong cilik.

Kebudayaan dan gaya hidup Indis sebagai satu fenomena historis adalah suatu hasil karya budaya yang ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: faktor politik, sosial, ekonomi dan seni budaya. Di samping itu itu dapat pula dianggap sebagai suatu kreativitas karya kelompok atau segolongan masyarakat dalam menghadapi tantangan.

Hasil karya budaya Indis yang berupa budaya materi hampir dapat kita jumpai di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada masa ini mulai berkembang permukiman perkotaan dengan bentuk kota serta bangunan rumah yang memiliki ciri lokal dan Eropa, atau sering disebut dengan kota kolonial yang banyak dijumpai di kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah.

Di samping kebudayaan Indis, muncul pula budaya lain yang berkembang cukup kuat pada masyarakat di Jawa adalah budaya masyarakat Cina. Kelompok masyarakat ini lebih dominan pada aspek budaya ekonomi, meskipun demikian hasil karya budaya masyarakat ini meliputi aspek religi yang terwujud melalui kelenteng dan upacara-upacara keagamaan, serta permukiman Pecinan dengan bentuk bangunan yang memiliki ciri khas budaya Cina. Perkembangan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah memiliki perjalanan panjang dilihat secara historis maupun dari hasil karya budayanya. Perjalanan tersebut memberikan gambaran bagaimana dinamika masyrakat masa lampau dalam mengahadapi tantangan.