You are currently viewing Isi dan Struktur Prasasti Bagian VI, Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya

Isi dan Struktur Prasasti Bagian VI, Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Contoh lain yang menyebutkan alasan diterapkannya suatu daerah menjadi sima adalah seperti kalimat yang disebutkan dalam prasasti Mantyasih 970 TU adalah sebagai berikut : “sambandhan yan inanugrahan sangka yan makwaih buatthaji iniwonya I sri maharaja. Kala ni wrangan haji…dst”. (“alasan diangurahi adalah untuk persembahan kepada Sri maharaja ketika (sedang) terjadi perkawinan raja..dst”)

Alasan penetapan seperti itu seringkali diikuti dengan keeterangan mengenai luas tanah yang ditetapkan, seperti yang disebut dalam prasasti Taji tahun 823 TS atau 910 TU:

2”…ukurnya lamwean wai

  1. tan pangidulnya.dpa shua 93 kidul pangabaratnya dpa  sihua 112 kabarat pangalornya dpa sihua 93 lor pangawetanya dpa sihua 112 anug ma
  2. ka lmah ikang lmah anak wanua I taji…dst”.

Artinya:

“….Ukuran seluruhnya, dari sebelah timur ke selatan adalah 93 dpa sihua, sebelah selatan ke barat 112 dpa sihua. Sebelah barat ke utara 93 dpa sihua, dan sebuah utara ke timur 112 dpa sihua, demikian itulah tanah penduduk desa taji…dst”

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa luas tanah yang ditetapkan menjadi sima adalah persegi panjang, adalah 93 dari 112 dpa sihua. (Satuan ukuran tanah)

Beberapa prasarti memuat informasi mengenai jenis pemberian atau persembahan bagi pejabat yang bertangung jawab dalam pelaksanaan upacara penetapan sima, melalui dari penanggungjawab sampai pelaksanaannya sebagaimana dicontohkan melalui kutipan prasasti Rukam berikut:

   5. “…..mangaesakam sira pasak-pasak sabyastha ning manusuk sima I rakryan mapatih I hino sri daksatatama bahubraja pratipaksaksaya wadihan ganjarputra…rakyan ni halu pa wirawikrana, rakyan sirikan pu waringa pu samarawikranta rakyan ni wka pu kutak kapua inanngsean…..dst”

Artinya

5. “…(Sebagai tanda terimakasih saya) maka penduduk desa Rukam memberi persembahan kepada para pejabat yang turut mengukuhkan penetapan tanah perdikan, yaitu rakyan mapati l hino sri Daksottama Bahubraja Pratipaksaksaya…dst”.

Selain diberikan kepada para petangungjawab itu. Persembahan atau pasek-pasek biasanya juga diberikan kepada para pelaksana upacara yang terdiri atas sang makudur dan wadihati, kepada pejabat yang hadir serta penduduk desa disekitarnya yang datang sebagai saksi, sampai dengan istrinya. Nilai dan besarnya pasek-pasek sesuai dengan peranndan kedudukan masing – masing penerima. Pada beberapa prasasti klasifikasi pasek-pasek ada yang sangat rinci dan kompleks, tetapi ada pula yang sederhana sesuai dengan besarnya upacara dan kemampuan desa yang ditetapkan menjadi sima.

Unsur lain yang terdapat dalam struktur prasasti adalah daftar sajian yang disebut hampir sama dengan prasasti. Contoh jenis saji-sajian yang disebut dalam prasasti adalah seperti yang disebut dalam Mantyasih 1 tahun 829 TS atau 907 TU berikut ini:

    B.1 “… sapra-

        2. Karaning saji sang makundur ing mandala I nmas pinda pamasanya su 2 ma ku 4… dst

        3. Iwir ning tinadah hadangan.wok.kidang.wdus ginaway samenaka. Muang saprakara ning haran harang deng hasin.  Den hanyang deng tarung. Muang harang hala hala hantrini… dst”

Artinya:

“……seperti halnya seasaji untuk sang makundur (pemimpin upacar) di mandala jumlah emasnya adalah 2 suwana dan 4 kupang dst. Selebihnya diterima hadangan wok, kijang, kambing, untuk persembahan dan segala macam penganan dendengan asin, dendengan hanya, dendengan tarung dan udang hala-hal.. telur dst…”

Selain jenis saji-sajian seperti yang sudah disebutkan, terdapat saji-sajiann lain yang disebut pancopacara (lima sarana untuk upacara) yang terdiri atas kembang (bunga), kawita, dipa (lampu), dupa, gandalepa. Ungkapan dalam prasasti berikut ini menjelaskan penggunaan sejumlah saji-sajian dalam proses penetapan sima:

    11. “…… ///sampunira kabaih mana

    12.  Dah mapangalih makawittha, makamwang malungguh sira ring natar makulingan humoropakan sang hyang kudur muang song hyang sima watu kulumpung I sor ning bitana I tngah ning natar, krama ning malungguh.

   13. Sang pamangat pikatan, rake wantila, samangat manungkil umanggu lor humarap kidul, sang wahuta hyang kubur muang sang tuhan mamuat wuwus kabaih munggu kuluhan humarap waitan, sang.

    14. Sang wahuta patih muang ramanta muang sang anak wanua kabaih tpi siring munggu kidul humarap lor lumankas sang makudur mamangmang manupah, manapatai, manetek gulu ni hayam lima.

     15.  Ndasakan ing susu kulumpang, mamantingakan hantlu I sang hyang watu sima, manggani sang hyang brahma ring susu, kadyangganikan hayam pjah tan waluy mahurip, kadi lwir nikang hantlu remuk satasirnna kadi parna.

    16.  Sang hyang brahma tumunu bra ikang kayu saka gegongan hilang geseng tan pahamban hawu keir, mangkana ingkang uang nganyaya asing umumlah ulah iki wanwa I panggumulan sinima wantil…..dst

Artinya:

     11. Setelah semua selesai

   12. Menikmati kemudian berpindah kedepan altar (witana) dengan membawa bunga duduk ia di halaman berkeliling menghadap ke arah hyang kubur dan sang hyang sima watu kulumpang (lapik) di bawah altar (bitana) di tengah halaman yang duduk (adalah)

   13. Sang pamangat pikatan, rake wantila, samangat manungkuli berada di utara menghadap ke selatan, sang wahuta hyang kudur dan sang tuhan beserta seluruh anak buahnya semua berada di barat menghadap ke timur.

   14. Sang wahita patih dan ayahnya dan penduduk desa sekelilingnya semua berada di selatan menghadap ke utara mulailah sang makundur (pemimpin upacara) mengucapkan sumpah sapta (sambil) memotong (dengan cata menekan) leher ayam berlandaskan batu kulumpang (yoni), membanting telur di atas batu sima (lingga), mengenai sang hyang brahma ditempatnay (susu?) Seperti halnya ayam mati tidak dapat kembali hidup, seperti halnya telir hancur lebur seperti pada saat ini.

     15. Sang hyang brahma (api) membakar kayu dari tangkainya hilang hangus tidak karuan abunya, begitulah orang yang dianiyaya jika mengganggu (mengubah-ubah) desa pagumulan yang disimakan (dijadikan sima) oleh rakai wantili ….dst”

Demikianlah gambaran tentang prosesi penetapan sima yang dilengkapi dengan kutukan atau sapatha sebagai sanksi magis religius terhadap siapa pun yang berani mengganggu gugat desa yang telah ditetapkan menjadi sima. Rumusan sapata yang dimaksud antara lain seperti yang dicontohkan berikut:

      1b. 4 “….ityewamadi kaben tan katamana ikanang sima mangkana ingkang sukha duhkah.ka

           5. Dyangga ning mayang tan pawwah walu  rumambating natar wangke kabunan rah katemu ring hawan wakacapala hastacopala duhilaten amijilaken wuryaning

           6. Kikir…. Dst

Artinya:

        “….Seperti itu semua tidak diperbolehkan memasuki sima bgitu pula hal-hal yang dapat kenai sanksi hukum seperti misalnya mayang yang tidak (jadi) berbuah, waluh yang menjalar di halaman, bangkai yang terkena embun, darah yang mengalir di jalan, adu mulut (cekcok), adu tangan (berkelahi), menjilat ludah sendiri (plin-plan), menempuh jalan belakang ….. dst”

Pada akhir upacara penetapan sima, para hadirin diberi hidangan makan dan minum yang juga boleh dibawa pulang (mberkat- Jawa Baru). Dari sejumlah prasati di ketahui bahwa upacara penetapan sima selesai, hadirin disuguhi tontonan seperti wayang, lawak, tari topeng, nyanyian, dan musik. Kutipan prasasti berikut ini menunjukan beberapa jenis hiburan yang disajikan dalam upacara penetapam sima:

         9. “…..hiyunnakan tontonann mamidu sang tangkil hyang sinalu maca ritta bhimma kumara maninggal kica-

           10. Ka si jaluk mancarita Ramayana mamirus mabamyol si mangumuk si galgi mawayang buat tyang mancarita bimma ya kumara…… dst”

Artinya:

         “……dihidangkan suatu pertunjukan menyanyi (nembang/ngidung- Jawa Baru) sang tangkil sambil menceritakan (lakon) bima kumara, menari, kicaka si jaluk menceritakan Ramayana melawak mungmuk si galigi mandalag menceritakan (lakon) bima kumara..dst”

Pada beberapa prasasti, nama penulis prasasti yang disebut citralekha di tulia pada bagian akhir prasasti, sebagaiman dicontohkan dalam kalimat terakhir prasasti Taji tahun 823 TU atau 901 TU, berikut ini “…… pangguhannya manurat jayapatra citralekha I dmu(ng) sang nesti….” (“….hasilnya menulis jayapatra oleh citraleka Dumung Sang Nesti”

Prasati yang berasal dari masa Islam mempunyai unsur dan struktur yang berbeda dengan prasasti dari masa sebelumnya, hal tersebut disesuaikan dengan tujuannpenulisannya, misalnya ssbagai tanda persmian suatu bangunan. Salah satu contoh prasasti yang dimaksud adalah prasasti yang ditempelkan pada bagian pintu mahrab Masjid Menara Kudus. Petikannya adalah sebagai berikut

       “Bismillahirahmannirahim. Aqama bini al masjid al qasa wal balad al quds….

Bi inayati….al qadhi ja’far shadiq… sanat sitin wa khamsina wa its’miatin minal hijriah annabawiyah……”

Artinya :

     “… Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Telah mendirikan Masjid al aqsha dan negeri kudus…dengan pemeliharaan..kadi ja’far sadiq pada tahun 956 hijiah nabi.”

Adapau contoh prasasti yang berupa sengkalan adalah prasasti ditemukan masjid Mantingan (Jepara). Yang berbunyi . “ Rupa Brahmana waran sari”. Kalimat dalam sengakalan ini menunjukan angka tahun 1481 TS = 1559 TU. Bicara tentang penggunaan angka tahun dalam prasasti, pada masa pengaruh Islam terdapat perubaham pertanggalan lokal daro tarkih saka (TS), yang berbasis pada sistem pertanggalan India, kepada pertanggalan tarkih Jawa (TJ). Sistem pertanggalan ini menggunakan dasar perhitungan tarkih hijirah (TH). Penggagasan siatem pertanggalan baru tersebut adalah Sultan Agung Anyakrakusuma, yang realisasinya dilalsanakan oleh para cerdik pandi Kerajaan Mataram-Islam. Pergantian sistem pertanggalan tersebut terjadi pada tahun 1555 TS atau tahhn 1633 TU. Tahun ini kemudian dianggap sebagai tahun 1555 TJ. Angka tahun ini terapkan sebagai inskripsi pada gapura panemut di kompleks makam Sunan Tembayat (Klaten) yang berbunyi  “ita 155 masa 4”. Prasasti ini ditulis dengan menggunakan huruf kuadran dan bahasa Jawa Arkais.