You are currently viewing Gereja Blenduk: Persilangan Arsitektur Renaissance dan Arsitektur Tradisional

Gereja Blenduk: Persilangan Arsitektur Renaissance dan Arsitektur Tradisional

Isbania Afina Syahadati

Afinasyahadati.as.as@gmail.com

ABSTRACT

 Kota Lama Semarang area has shown a fairly complex colonial life. Where the area used to be centralized as a center of government and also trade. Given that the majority of Europeans are Christian, the construction of the Gereja Emmanuel ( Gereja Blenduk ) was carried out, which is a legacy of the Portuguese. The continued construction turned out to open the veil that the church building shows traditional architecture in accordance with the location of the church. However, it needs to be realized that the presence of the Portuguese and European in the Kota Lama Semarang has brought a Renaissance architectural style according to their time and origin. The existence of the church is also based on the Land Mark in the Semarang City area.

Keywords: Kota Lama Semarang, Gereja Blenduk, Architecture

ABSTRAK

Kawasan Kota Lama Semarang telah menunjukkan kehidupan masa kolonialisme yang cukup kompleks. Dimana kawasan tersebut dulunya telah memusatkan pusat pemrintahan dan juga perdagangan. Mengingat, orang-orang Eropa yang mayoritas menganut Kristiani, maka dilakukannya pembangunan lanjutan dari Gereja Emmanuel (Gereja Blenduk) yang merupakan peninggalan dari orang Portugis.  Pembangunan lanjutan tersebut ternyata membuka tabir bahwasanya bangunan gereja menunjukkan arsitektur tradisional sesuai dengan lokasi dari gereja tersebut. Namun, perlu disadari bahwasanya keberadaan orang-orang Portugis dan orang-orang Eropa di Kawasan Kota Lama Semarang ini telah membawa gaya arsitektur Renaissance sesuai dengan masa dan asal mereka. Keberadaan Gereja tersebut ternyata juga didasarkan atas Land Mark di Kawasan Kota Semarang.

Kata Kunci:   Kota Lama Semarang, Gereja Blenduk,  Arsitektur

PENDAHULUAN   

Semarang merupakan satu kota dengan peninggalan bangunan Belanda yang cukup banyak. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya kekuasaan kolonial Belanda di Semarang pada saat itu begitu besar. Selain itu, hal ini juga didasari atas perjanjian VOC dengan penguasa semula yakni, Kerajaan Mataram. Namun, setelah VOC dibubarkan kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Berbagai perubahan mulai muncul setelah adanya kekuasaan baru. Tidak terkecuali dengan dimulainya pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda guna melanggengkan kekuasaannya di Nusantara, tepatnya Semarang. Pembangunan tersebut semula memusatkan pada aspek pemerintahan. Namun, seiring berjalannya waktu pembangunan lainnya pun juga dimulai. Salah satunya ialah pembangunan lanjutan dari Gereja Emmanuel atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gereja Blenduk.

METODE

Penelitian ini menggunakan motode penelitian deskriptif kualitatif, sehingga hasil penulisan nantinya berupa penyusunan fakta-fakta yang disusun secara sistematis. Selain itu, penyusunan penulisan ini menggunakan teknik pengumpulan data dan memahami konsep serta teori dari berbagai sumber yang relevan. Adapun berbagai literatur yang digunakan diantaranya ialah, buku, tugas akhir dan jurnal. Dengan didukung berbagai macam sumber diharapkan mampu menjadi pembanding sehingga penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan sumber kembali. Dimana pada nantinya, penelitian ini juga perlu perbaikan sehingga penelitian kedepan hasilnya akan lebih mampu menyempurnakan. Dalam penulisan ini juga menggunakan analisis secara kualitatif. Dimana motode kulaitatif merupakan uaraian hasil data yang diperoleh ke dalam bentuk perkataan dan pernyataan. Sehingga, metode kualitatif ini tidak memerlukan perhitungan atau hasil data dalam bentuk angka.

PEMBAHASAN

  1. Sejarah Gereja Blenduk

Keberadaan Kota Lama Semarang telah menunjukkan keberadaan bangsa Eropa di Nusantara, hal ini terlihat jelas dari beberapa peninggalan bangunan-bangunan kuno yang masih ada sampai saat ini. Kawasan Kota Lama Semarang disebut juga OUTSTADT dengan luas sekitar 31 hektar. Dilihat dari kondisi geografis, kawasan tersebut terlihat terpisah dengan daerah sektarnya, sehingga mendapat julukan “Little Netherland”. Di daerah tersebut terdapat 50 bangunan kuno yang masih berdiri dengan kokoh dan mempunyai sejarah kolonialisme di Semarang. Salah satunya ialah Gereja Blenduk yang terletak di Jalan Letjen Soeprapto No. 32 di kawasan Kota Lama Semarang. Dimana dulunya pada abad ke 17-18 kawasan Kota Lama Semarang ini menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, dan pusat pemerintahan Hindia Belanda. Oleh karenanya, tidak mengherankan bahwasanya di kawasan Kota Lama Semarang ini banyak terdapat gedung-gedung pemerintahan. Selain itu, mengingat orang-orang Belanda tersebut mayoritas beragama Kristiani, maka dibangunlah sebuah bernama Gereja Emmanuel. Bangunan gereja tersebut semula merupakan pengembangan pembangunan dari peninggalan gereja yang dibangun oleh orang-orang Portugis saat dulu berkuasa di Nusantara sebelum Kolonial Belanda. Gereja ini dibangun tepat pada tahun 1753 dan telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk bangunan. Tidak terlepas dari tempat berdirinya gereja ini yakni, Semarang, maka arsitektur gereja semula berbentuk rumah panggung Jawa. Selain itu, atapnya pun juga sesuai arsitektur Jawa. Hingga memasuki tahun 1787 bentuk gereja yang semula rumah panggung tersebut mengalami perombakan secara total sampai tahun 1794.

Pada tahun 1894-1985 bangunan gereja tersebut direnovasi kembali oleh HPA De Wilde dan W. Westmas yang merupakan arsitektur dari Eropa. Renovasi yang dilakukkannya ialah dengan merubah bentuk tanpa merubah desain secara keseluruhan dari gereja. Gereja ini semula bernama Indische Kerk, dan ibadat pertama kalinya dipimpin oleh Pendeta Johanes Wihelkmus Semkar dari tahun 1753-1760. Penamaan Gereja Blenduk ini dikarenakan bentuk dari kubah gereja yang berbentuk cembung. Sehingga tercetuslah nama gereja tersebut dengan nama Gereja Blenduk.  Kata “Blenduk” berasal dari kata dalam Bahasa Jawa “mblenduk” yang berarti suatu bentukmyang menggelembung besar.

  • Arsitektur Gereja Blenduk

Gereja Blenduk memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, baik secara fisik maupun sejarah dibaliknya. Secara fisik, Gereja Blenduk memiliki denah berbentuk heksagonal dan terdapat transept di setiap penjuru mata angin yang digunakan sebagai pintu masuk. Transept sisi selatan merupakan pintu masuk utama dan memiliki jalur yang lebih panjang. Orientasi bangunan gereja ini membujur dari arah Selatan-Utara untuk menghindari sinar Matahari secara langsung dikarenakan penyesuaian iklim di Jawa. Pintu masuk pada Gereja Blenduk terdapat pada sisi utara, timur, barat, dan selatan. Dilihat dari arsitektur tradisional Jawa, hal tersebut menunjukkan perhitungan empat arah kiblat mata angin yang memiliki pusat akibat persilangan garis-garis tersebut. Tatanan ruang dalam bangunan Gereja Blenduk diletakkan memusat dengan bentuk denah menyerupai salib dan memiliki bentuk dasar segi delapan. Peletakan ruang ibadah berada pada pusat bangunan telah menunjukkan fungsi utama  bangunan. Peletakan tersebut sesuai dengan teori Renaissance bahwa sentralis “perfect form” yang merupakan symbol Kristus yang disalibkan.

Bangunan Gereja Blenduk berdenah simetris dengan façade depan menghadap ke selatan dengan dua buah Menara dikiri dan kanan yang mengapit hall dan pintu masuk utama. Secara umum bentuk bangunan Gereja Blenduk ini berupa silang atau salib Yunani sehingga mempertegas eksistensi bangunan terhadap masa bangunan disekitarnya. Massa bangunan utama utama mendekati bentuk lingkaran dan belah ketupat yang memungkinkan pencapaian bangunan dari 4 sisi dengan pintu selatan berfungsi sebagai pintu utama. Bentuk dari salib Yunani ini frontal dengan jalan Suari yang tertuju pada Menara kembarnya. Bangunan bergaya neo klasik ini mirip dengan bangunan-bangunan gereja di Eropa pada abad XVII-XVIII yang menggunakan bentuk kubah sebagai pentup atapnya. Tampilan unsur lengkung banyak dijumpai pada penyelesaian pembukaan baik pintu maupun jendela degan variasi Gothic da lengkung Romawi.

Pada tahun 1787, bangunan dari Gereja Blenduk ini sudah memiliki bentuk seperti sekarang. Hingga tahun 1894 dilakukannya perombakan besar-besaran, seperti penambahan Menara, dan teras pada bagian depan bangunan. Vitruvius mengungkapkan bahwa peletakan bangunan public tidak lepas dari keberadaan sebuah “kota” yang dimaksudkan berada. Gereja Blenduk ini menunjukkan terletak pada poros gerbang utama masa pemerintahan kolonial Belanda. Sedangkan fungsi ruang utama dalam Gereja Blenduk ialah sebagai ruang ibadah. Disisi lain, masih terdapat ruang penunjang pada bangunan gereja, seperti ruang Konsistori, ruang transp, Menara, ruang Majelis dan Orgel. Ruang konsistori merupakan ruang yang diperuntukkan untuk imam muda dan pendeta sebelum melakukan ibadah. Ruang transept sendiri merupakan ruang transisi antara ruang luar dan dalam bangunan. Pada lantai dua banguan Gereja Blenduk menggunakan mezzanine yang berada pada ruang ibadah. Dimana ruang ibadah memiliki tinggi plafon yang monumenta, yakni 10 meter. Sedangkan lantai satu dan lantai dua dihubungkan oleh tangga yang berada pada transept Utara, Timur dan Selatan. Oleh karenanya, bagian-bagian ruang tersebut telah menunjukkan hubungan ruang yang cukup simetris. Tata ruang bangunan gereja ini pada ruang utama mampu menampung sebanyak kurang lebih 400 jemaat. Adapun sisi bangunan unik yang terdapat pada gereja ini ialah betuk dasar oktagonal dengan dinding tembok berjendela besar dari kaca bermozaik (glass in looth) dengan bentuk melengkung dibagian atas dan berpola geometris.

  • Pengaruh Land Mark Kota Lama Semarang Terhadap Gereja Blenduk

Terbentuknya Kota Lama Semarang didasari atas perjanjian yang dilakukan VOC dengan Mataram pada tanggal 15 Januari 1678 ini dinyatakan bahwa Kota Lama Semarang nantinya akan direncanakan sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda pada saat itu. Berdasarkan perjanjian tersebut dinyatakan bahwa, Semarang sebagai Pelabuhan utama dari Kerajaan Mataram telah diserahkan kepada VOC. Hal tersebut dilandasi bahwasanya, VOC berhasil membantu Mataram dalam menumpas pemberontakan Trunojoyo. Tepat pada tahun 1705, Semarang menjadi milik VOC sepenuhnya.

Namun, dikarenakan situasi yang belum stabil atau dikhawatirkan mampu menimbulkan pemberontakan kembali. Maka, akhirnya Belanda membangun sebuah benteng. Fungsi utama dari Benteng tersebut tentunya untuk melindungi orang-orang Eropa yang bermukim di Kawasan Kota Lama Semarang. Pada dinding sebelah barat terletak di sepanjang jalan Merak yang dulunya bernama Norder Wal Straat. Pada dinding sebelah timur terletak di jalan Cendrawasih atau Ooster Wal Straat. Sedangkan pada dinding tembok selatan bernama terletak di jalan Kepodang atau Zuider Wal Straat. Benteng tersebut memiliki tiga gerbang di sisi Barat, Timur maupun Selatan. Pada gerbang barat bernama de Wester Poort atau de Gouvermentspoort dikarenakan terletak di dekat dengan daerah pemerintahan VOC. Kota Lama Semarang didesain dalam suatu pola konsentrik dengan berbagai pusat ativitas pemerintahan dan perdagangan. Serta hal tersebut telah memunculkan bangunan Gereja Blenduk sebagai focal point dari arah Pejokan. Hal ini telah menunjukkan adanya gambaran akan Kawasan Kota Lama Semarang yang cukup begitu kompleks. Sejalan dengan pusat pemerintahan yang dibangun oleh Kolonial Belanda juga telah menciptakan kawasan konsentris akan berbagai bangunan pusat maupu bangunan penunjang. 

KESIMPULAN

Kawasan Kota Lama Semarang telah menunjukkan  berbagai aspek secara kompleks. Dimana  semula Kawasan Kota Lama Semarang ini lebih unggul sebagai pusat perdagangan, dan kemudian dilanjut sebagai pusat pemerintahan setelah Kolonial Belanda berhasil menguasai kawasan tersebut. Setelah berkembangnya kawasan tersebut muncullah beberapa bangunan penunjang lainnya. Salah satunya ialah Gereja Blenduk yang semula bernama Gereja Emmanuel. Perkembangan gereja tersebut diawali dari perombakan gereja peninggalan Portugis. Pembangunan kelanjutan yang dilaukan terhadap gereja tersebut dilakukan oleh HPA De Wilde dan W. Westmas yang merupakan arsitektur dari Eropa. Selain itu, semula bangunan dari Gereja Blenduk ini menunjukkan arsitektur trdisional. Dimana bangunan Gereja Blenduk semula berbentuk rumah panggung Jawa, dan atapnya pun juga sesuai arsitektur Jawa. Hingga memasuki tahun 1787 bentuk gereja yang semula rumah panggung tersebut mengalami perombakan secara total sampai tahun 1794. Orientasi bangunan gereja ini membujur dari arah Selatan-Utara untuk menghindari sinar Matahari secara langsung dikarenakan penyesuaian iklim di Jawa. Pintu masuk pada Gereja Blenduk terdapat pada sisi utara, timur, barat, dan selatan. Dilihat dari arsitektur tradisional Jawa, hal tersebut menunjukkan perhitungan empat arah kiblat mata angin yang memiliki pusat akibat persilangan garis-garis tersebut.  Sedangkan tatanan ruang dalam bangunan Gereja Blenduk diletakkan memusat dengan bentuk denah menyerupai salib dan memiliki bentuk dasar segi delapan. Peletakan ruang ibadah berada pada pusat bangunan telah menunjukkan fungsi utama  bangunan. Peletakan tersebut sesuai dengan teori Renaissance bahwa sentralis “perfect form” yang merupakan symbol Kristus yang disalibkan. Bangunan Gereja Blenduk berdenah simetris dengan façade depan menghadap ke selatan dengan dua buah Menara dikiri dan kanan yang mengapit hall dan pintu masuk utama. Secara umum bentuk bangunan Gereja Blenduk ini berupa silang atau salib Yunani sehingga mempertegas eksistensi bangunan terhadap masa bangunan disekitarnya. Hal tersebutlah yang menunjukkan adanya persilangan arsitektur   Renaissance dan arsitektur tradisional.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi Yuliati, Mengungkap Sejarah Kota Lama Semarang dan Pengembangannya Sebagai Asset Pariwisata Budaya, ANUVA, Vol. 3 No.2, 2019.

Maria Caecillia Restu Setya Utami, “Potensi Gereja Blenduk sebagai Objek Wisata Religi dan Wisata Budaya di Kawasan Kota Lama Semarang”, Surakarta: UNS, 2008.

Moedjiono dan Indriastjario, Mengenal Gereja Blenduk Sebagai Salah Satu Land Mark Kota Semarang, Modul Vol. 11 No. 2, Agustus 2011.

Sinung Utami Hasri Habsari, Membaca Simbol-Simbol Komunikasi dan Budaya Pada Bangunan Cagar Budaya dengan Analisa Semiotika Roland Barthes, Jurnal PPKM III, _______________, 2015.

Yohanes Khrisna Hadi Putra, Nilai Penting Atap Kubah dan Denah Oktagonal pada Gereja Blenduk, Borobudur: Vol. 13 No.1, _____.