You are currently viewing Dewa Dewi Masa Klasik, Pendahuluan

Dewa Dewi Masa Klasik, Pendahuluan

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah sampai telah menerbitkan buku. Buku-buku ini dibagikan secara gratis kepada masyarakat selama persediaan masih ada. Tak jarang karena persediaan telah habis banyak masyarakat tidak mendapatkan buku terbitan BPCB Jateng yang diinginkan. Salah satu permintaan masyarakat yang cukup tinggi adalah buku Dewa Dewi Masa Klasik yang diterbitkan BPCB Jateng pada tahun 2010. Berdasarkan kenyataan tersebut melalui laman ini akan ditampilkan isi buku Dewa Dewi Masa Klasik yang terbagi dari beberapa bagian.

Kajian tentang  dewa-dewi masa klasik di Indonesia sebenarnya merupakan kajian tentang keberadaan arca penggambarannya. Penggambaran arca dewa-dewi tersebut tidak dapat dilepaskan dari latar belakang sejarahnya. Untuk kepentingan hal tersebut, terlebih dahulu perlu diungkapkan bahwa pengertian arca klasik merujuk pada berbagai penggambaran ikon yang berasal dari periode klasik di Indonesia. Oleh karena itu, rasanya amatlah penting untuk menjelaskan terminologi klasik, sebelum menjelaskan secara rinci arca-arca yang dihasilkan dari periode tersebut.

Berbeda dengan pengertian klasik yang beredar secara luas dan mengacu pada pembabakan sejarah kesenian barat, terminologi klasik di Indonesia diterapkan secara spesifik. Masa Klasik adalah terminologi yang digunakan untuk menandai suatu periode sejarah kesenian yang berkembang pada masa Indonesia Kuna. Sementara Masa Indonesia Kuna sendiri merupakan pembabagan sejarah yang secara umum ditandai dengan berkembangnya pengaruh India, berupa agama Hindu dan Buddha, sistem kerajaan, dan tradisi menulis. Masa tersebut berlangsung kurang lebih mulai dari  abad V M hingga abad XVI M.

Masa Indonesia Kuna tersebut dimulai dengan ditemukannya bukti tertulis tertua berupa 7 buah prasasti yang dipahatkan pada yupa, oleh karenanya disebut prasasti yupa, di wilayah yang sekarang bernama Kabupaten Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur).  Walaupun prasastinya tidak menyebut angka tahun, akan tetapi para epigraf  menetapkan bahwa huruf yang digunakan mewakili gaya penulisan abad V M.  Prasasti yupa secara gamblang menyebutkan adanya kerajaan berlatar agama Hindu yang diperintah oleh raja-raja secara turun temurun dalam satu dinasti.

Kerajaan-kerajaan lain yang eksis sepanjang masa Indonesia Kuna adalah Tarumanegara dan Sunda di Jawa Barat, Sriwijaya dan Malayu di Sumatra, Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur,  Kadiri, Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur, serta Kerajaan Warmmadewa di Bali. Kerajaan Mataram yang mengambil bagian dari mata rantai sejarah kuna Indonesia tersebut mula-mula pusat pemerintahannya berlokasi di wilayah yang kini disebut  Jawa Tengah. Namun, pengertian Jawa Tengah pada waktu itu berbeda dengan pengertian Jawa Tengah sekarang yang mengacu pada satuan wilayah administratif.  Pada waktu itu, Jawa Tengah merupakan satuan wilayah budaya yang deliniasinya meliputi wilayah adminstratif Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekarang. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila tinggalan budaya di kedua wilayah administratif tersebut memiliki corak yang sama, menunjukkan ciri  Klasik Jawa Tengah.

Pada saat pusat pemerintahannya berada di wilayah Jawa Tengah, Kerajaan Mataram diperintah oleh sejumlah raja dinasti Sailendra.  Berdasarkan sejumlah prasasti, raja-raja yang memerintah di Kerajaan Mataram tersebut secara kronologis dapat disusun sebagai berikut: Dimulai dari (1) Dapunta Selendra (abad VII M); kemudian dilanjutkan (2) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732 M); (3) Sri Maharaja Rakai Panataran (746-784 M); (4) Rakai Panaraban (784-803 M); (5) Sri Maharaja Rakai Panunggalan (?); (6) Sri Maharaja Rakai Warak Dyah Manara (803-827 M); (7) Dyah Gula (827-828 M); (8) Sri Maharaja Rakai Garung (828-847 M); (9) Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu (847-855 M); (10) Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (355-885 M); (11) Dyah Tagwas (885 M ?); (12) Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887 M); (13) Rakai Gurunwangi Dyah Bhadra (887 M); (14) Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (Wungkalhumalang) Dyah Jbang (894-898 M); (15) Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-909 M); (16) Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaksaya (910-913 M); (17) Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tulodong (913-919 M); dan diakhiri dengan (18) Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa (919-925 M).

Ditengarai bahwa intrik internal yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan, berbagai tekanan persoalan sosial ekonomi, serta gempa bumi dahsyat telah mendorong  Pu Sindok  memindahkan pusat Kerajaan Mataram ke wilayah timur. Lokasi pusat kerajaan Mataram yang baru adalah Tamwlang, diperkirakan lokasinya berada di wilayah Jawa Timur sekarang. Pada saat pusat Kerajaan Mataram bergeser ke timur itulah Pu Sindok, yang sebelumnya menjabat sebagai rakryan mahamantri i hino pada masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa, tampil menjadi raja baru dengan gelar Sri Isanawikramma Dharmmotunggadewa, memerintah antara 929-948 M. Sejak memerintah di wilayah timur inilah Pu Sindok kemudian dianggap menjadi pendiri dinasti baru yang bernama Isanawangsa.

Sumber: Buku Dewa Dewi Masa Klasik Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah