You are currently viewing Dewa Dewi Masa Klasik, Panteon Hindu (6)

Dewa Dewi Masa Klasik, Panteon Hindu (6)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah sampai telah menerbitkan buku. Buku-buku ini dibagikan secara gratis kepada masyarakat selama persediaan masih ada. Tak jarang karena persediaan telah habis banyak masyarakat tidak mendapatkan buku terbitan BPCB Jateng yang diinginkan. Salah satu permintaan masyarakat yang cukup tinggi adalah buku Dewa Dewi Masa Klasik yang diterbitkan BPCB Jateng pada tahun 2010. Berdasarkan kenyataan tersebut melalui laman ini akan ditampilkan isi buku Dewa Dewi Masa Klasik yang terbagi dari beberapa bagian.

Berdasarkan mitologi Hindu di negeri asalnya, yaitu India, dewa-dewi digambarkan sebagai personifikasi pancaran kekuatan Ishwara yang menjelma ke dalam berbagai bentuk sesuai dengan perannya. Ishwara sendiri digambarkan sebagai “makhluk” supranatural yang paling sempurna, tanpa merujuk pada satu dewa tertentu.   Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa Trimurti adalah tiga bentuk Ishwara dengan tiga peran yang berbeda. Ketika berperan sebagai pencipta dunia dan segala isinya, maka Ishwara berwujud Brahma. Dunia dan segala isinya yang diciptakan oleh Brahma mempunyai masa berlangsung dalam kurun waktu tertentu, dan selama masa tersebut Ishwara dalam wujud Wisnu bertugas memelihara keberlangsungan dunia. Apabila dunia mengalami ancaman kiamat sebelum masanya, maka Wisnu akan turun kedunia dalam berbagai bentuk avatara untuk menyelamatkan dunia. Sebaliknya, apabila dunia telah selesai menjalani masa yang ditetapkan, maka dunia dan segala isinya tersebut akan dikembalikan kepada asal penciptanya oleh Siwa yang merupakan bentuk Ishwara sebagai dewa penghancur. Jadi, peran Siwa sebagai dewa penghancur tidak seharusnya  diberi makna negatif yang bersifat destruktif.

Ketiga wujud Trimurti dapat dijumpai dalam percandian Banon. Sayangnya, tinggalan sisa-sisa bangunan Candi Banon yang diperkirakan berlokasi di sekitar Candi Borobudur tidak dapat lagi ditemukan, sehingga konfigurasi sistem panteonnya tidak dapat direkontruksikan. Kompleks Candi Prambanan mempunyai signifikansi yang tinggi untuk menggambarkan bagaimana Trimurti dipuja dalam kompleks percandian Hindu. Di kompleks Candi Prambanan, terdapat tiga candi utama, masing-masing diperuntukkan bagi Brahma, Wisnu, dan Siwa. Candi untuk Siwa diletakkan di tengah, sementara Candi Wisnu diletakkan di utaranya dan Candi Brahma diletakkan di selatannya.

Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa candi untuk Siwa mempunyai ukuran lebih besar dan lebih tinggi, jika dibandingkan dengan candi untuk Brahma dan Wisnu. Selain memiliki garbhagreha yang ditempati oleh Siwa Mahadewa, Candi Siwa juga memiliki bilik-bilik lain yang ditempati oleh para dewa pendamping Siwa yang termasuk dalam kelompok parswadewata, yaitu Agastya, Ganesa, dan Durgamahisasuramarddhini. Dari penggambaran yang demikian ini, tampak bahwa Siwa mendapatkan perhatian yang lebih dari kedua dewa Trimurti yang lainnya.

Di antara ketiga mahadewa Trimurti, tampaknya Wisnu dan Siwa mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan Brahma, sebagaimana ditunjukkan melalui   distribusi dan jumlah temuan arcanya.  Terdapat kelompok yang mendudukkan Wisnu   sebagai dewa utama di dalam pemujaan. Kelompok ini menyebut dirinya sebagai penganut sekte Waisnawa, sedangkan yang mengedepankan pemujaan terhadap Siwa menyebut dirinya sebagai penganut sekte Saiwa. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa sekte Saiwa mempunyai popularitas yang lebih, diketahui dari distribusi candi Hindu yang mayoritas diperuntukkan bagi pemujaan terhadap Siwa.

Selain Waisnawa dan Saiwa, di dalam agama Hindu juga dikenal sekte yang memuja sakti dewa, khususnya memuja Parwati sebagai sakti Siwa. Sekte tersebut dikenal dengan sebutan sakta (shakta). Dalam Bahasa Sanskreta, sakti (shakti) mempunyai arti kekuatan atau energi dewa. Dalam hal ini, Parwati yang dipercaya sebagai sumber dari segala kekuatan yang ada di alam semesta, termasuk kekuatan Siwa juga berasal. Persatuan keduanya dalam wujud lingga-yoni merupakan simbol energi yang menghasilkan daya penciptaan.  Karenanya, lingga-yoni pun kemudian didudukkan sebagai simbol kesuburan.

Dalam percandian Siwa, arca Siwa atau simbol yang mewakilinya, berupa linggayoni,  merupakan arca utama yang ditempatkan di dalam garbhagreha. Arca utama tersebut, biasanya didampingi sejumlah arca lain  yang dikenal dengan sebutan parswadewata, terdiri atas Agastya di selatan, Ganesa di barat, dan Durga di utara.  Konfigurasi semacam  itu tampaknya hanya terdapat di Jawa, karena di India sebagai negeri asal Agama Hindu, Agastya tidak ditempatkan dalam percandian Siwa. Di India, konfigurasi dewa-dewa yang mengiringi Siwa di dalam percandian   adalah Ganesa di selatan, Kartikeya di barat, dan Bathari Gauri di utara. Sementara garbhagreha-nya tetap ditempati Siwa. Tokoh-tokoh tersebut merupakan anggota keluarga Siwa, terdiri atas sakti-nya, yaitu Bathari Gauri yang merupakan perwujudan dari Parwati, dan kedua putra Siwa, yaitu Ganesa dan Karrtikeya.

Selain parswadewata terdapat juga dewa-dewa penjaga mata angin, yang terdiri atas catwari lokapalaasta dikpalakanawadewata, dan dasa lokapala. Dewa-dewa tersebut adalah dewa-dewa sub ordinat yang bertugas menjaga dunia dari pengaruh buruk para bhuta dan makhluk jahat lainnya. Di dalam percandian, dewa-dewa tersebut ditempatkan sesuai dengan arah mata angin yang dikuasainya. Catwari lokapala adalah dewa-dewa yang berkedudukan di empat penjuru mata angin utama, terdiri atas Indra di timur, Yama di selatan, Waruna di barat, dan Kuwera di utara. Asta dikpalaka adalah dewa-dewa yang berkedudukan di delapan penjuru mata angin, terdiri atas Indra di timur, Agni di tenggara, Yama di selatan, Nirruti di barat daya, Waruna di barat, Wayu (Bayu) di barat laut, Kuwera di utara, dan Isana di timur laut.  Asta dikpalaka tersebut kemudian berkembang menjadi 10, disebut dasa lokapala, dengan menambahkan Paramasiwa di zenit dan Sadasiwa di Nadir.  Ada juga konfigurasi dasa lokapala yang menempatkan Brahma di zenit dan Ananta di nadir, menggantikan posisi Paramasiwa dan Sadasiwa.

Menarik untuk dikemukan adalah nawadewata, sering juga disebut sebagai dewata nawasanga, adalah dewa-dewa penjaga mata angin dalam sistem panteon Hindu Dharma di Bali. Dalam kelompok nawadewata tersebut, diketahui bahwa dewa-dewa yang tergabung di dalamnya didudukkan sebagai representasi Siwa, termasuk Brahma dan Wisnu yang juga ada di dalam kelompok tersebut. Dalam nawadewata, Siwa berkedudukan di pusat. Kemudian, berturut-turut adalah Iswara di timur, Mahesvara di tenggara, Brahma di Selatan, Rudra di barat daya, Mahadewa di tenggara, Sankhara di barat laut, Wisnu di utara, dan Sambhu di timur laut. Penggambarannya pun seringkali hanya senjata  yang mewaliki keberadaan dewa pemiliknya.  Dalam konfigurasi nawadewata ini, Wisnu juga berkedudukan di utara dan Brahma di selatan.

Dewa-dewa sub ordinat seperti yang termasuk di dalam parswadewata dan lokapala digolongkan ke dalam kelompok pariwara besar.  Demikian juga sakti para mahadewa dan dewa-dewa lain yang belum termasuk di dalam kelompok tersebut. Di antara dewa-dewa yang dimaksud, adalah dewa-dewa yang melambangkan berbagai unsur di alam semesta, misalnya air, api, planet-planet, dan masih banyak lagi. Tidak ketinggalan pula adalah Mahakala dan Nandiswara  yang sering dijumpai di  kanan-kiri pintu masuk candi Siwa. Berbagai jenis binatang, termasuk binatang mitis, juga menjadi bagian dalam mitologi dewa-dewa.

Sumber: Buku Dewa Dewi Masa Klasik Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah