You are currently viewing Dewa Dewi Masa Klasik, Masa Klasik Jawa Tengah (2)

Dewa Dewi Masa Klasik, Masa Klasik Jawa Tengah (2)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah sampai telah menerbitkan buku. Buku-buku ini dibagikan secara gratis kepada masyarakat selama persediaan masih ada. Tak jarang karena persediaan telah habis banyak masyarakat tidak mendapatkan buku terbitan BPCB Jateng yang diinginkan. Salah satu permintaan masyarakat yang cukup tinggi adalah buku Dewa Dewi Masa Klasik yang diterbitkan BPCB Jateng pada tahun 2010. Berdasarkan kenyataan tersebut melalui laman ini akan ditampilkan isi buku Dewa Dewi Masa Klasik yang terbagi dari beberapa bagian.

Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa terminologi klasik digunakan untk menyebut pembabagan sejarah kesenian, sehingga masa Klasik Jawa Tengah adalah pembabagan sejarah kesenian yang berkembang pada masa sejarah kuna berpusat di wilayah Jawa Tengah. Masa Klasik Jawa Tengah menduduki posisi yang penting dalam pembabagan sejarah kesenian, karena pada masa tersebut dihasilkan karya-karya  yang   tidak hanya terkait erat dengan sejarah, melainkan juga memberikan ciri khas pada zamannya. Diterimanya unsur budaya India pada masa itu membawa pengaruh yang signifikan dalam menghasilkan gaya seni, termasuk  gaya seni bangunan dan seni arcanya.

Karya seni masa Klasik Jawa Tengah didominasi oleh  seni bangunan yang disebut candi dan seni arca, walaupun karya-karya lainnya pun tak dapat diabaikan begitu saja. Tidak kurang dari ratuasan candi dan ribuan arca dihasilkan pada periode tersebut,  tersebar di wilayah budaya Jawa Tengah dalam  rentang waktu antara abad VII hingga abad X M.

Candi mempunyai keterkaitan yang erat dengan arca, walaupun di sisi lain keberadaan arca tidak  selalu mempunyai kaitan dengan candi. Candi dipercaya sebagai bangunan tempat tinggal sementara dewa ketika turun ke dunia. Menurut kepercayaan India, tempat tinggal utama para dewa adalah Gunung Mahameru, karenanya candi pun didudukkan sebagai replika Mahameru. Sebagai tempat bersemayam dewa, candi mempunyai garbhagreha, yaitu ruang utama untuk menempatkan arca  yang menjadi inti pemujaan. Selain di dalam garbhagreha, arca juga dapat dijumpai di relung atau bilik pendamping yang ada di candi. Arca  yang ditempatkan di relung atau bilik pendamping,  adalah   arca   yang tidak menjadi inti pemujaan dalam candi yang bersangkutan.

Dewa-dewa yang dipuja di candi atau kuil mempunyai dua tingkatan, yaitu gramadewata dan kuladewataGramadewata mempunyai dua pengertian yang sebetulnya saling berhubungan. Pengertian pertama merujuk pada dewa-dewa yang dipuja di kuil untuk umat, sedangkan pengertian kedua merujuk pada arca yang dibuat oleh penguasa untuk kepentingan pemujaan di tingkat desa atau kota. Sementara itu, kuladewata, disebut juga grehadewata,  adalah dewa-dewa yang dipuja oleh keluarga. Biasanya ditempatkan di dalam kuil keluarga, yang diupacarai setiap tahun atau pada saat ada peristiwa penting.

Keberadaan arca ternyata tidak selalu berkait dengan candi. Hal ini terjadi apabila arca yang bersangkutan termasuk dalam kategori istadewata. Istadewata adalah arca yang dipuja secara pribadi, sehingga arca tersebut tidak memerlukan bangunan candi. Alasan lain mengapa arca tidak ditempatkan dalam bangunan candi terkait dengan  fungsi arcanya. Arca Ganesa misalnya.  Selain berkedudukan sebagai parswadewata dalam   percandian Siwa, Ganesa juga mempunyai peran sebagai dewa penghalang rintangan yang dikenal dengan sebutan Vighneswara. Dalam kedudukannya sebagai dewa penghalang rintangan, arca Ganesa sering kali ditempatkan di titik-titik yang dianggap rawan atau berbahaya, misalnya di tepi sungai yang berarus deras, tanpa disertai bangunan candi.

Sumber: Buku Dewa Dewi Masa Klasik Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah