You are currently viewing Dewa Dewi Masa Klasik, Dewa Dewi Dalam Panteon (5)

Dewa Dewi Masa Klasik, Dewa Dewi Dalam Panteon (5)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah sampai telah menerbitkan buku. Buku-buku ini dibagikan secara gratis kepada masyarakat selama persediaan masih ada. Tak jarang karena persediaan telah habis banyak masyarakat tidak mendapatkan buku terbitan BPCB Jateng yang diinginkan. Salah satu permintaan masyarakat yang cukup tinggi adalah buku Dewa Dewi Masa Klasik yang diterbitkan BPCB Jateng pada tahun 2010. Berdasarkan kenyataan tersebut melalui laman ini akan ditampilkan isi buku Dewa Dewi Masa Klasik yang terbagi dari beberapa bagian.

Secara harafiah istilah panteon, berasal dari Bahasa Latin πανθείοςpantheios, yang artinya merujuk pada kuil untuk semua dewa.  Akan tetapi, panteon juga berarti      keseluruhan dewa-dewi itu sendiri.  Pengetian panteon yang kedua inilah yang digunakan sebagai acuan dalam tulisan ini,  digunakan untuk menyebutkan seluruh dewa-dewi yang dipuja. Dalam prakteknya,  dewa-dewi tidak dipuja secara bersama-sama sekaligus, melainkan masing-masing dewa dipuja sendiri, sesuai dengan perannya dan dalam kesempatan berbeda pula.  Dewa-dewi yang banyak itu,   mempunyai kedudukan yang berbeda-beda, dan ada hirarkhinya.  Satu dewa menduduki hirarkhi yang lebih tinggi dari dewa yang lain. Kedudukan yang demikian itu ditentukan oleh pentingnya peran dewa yang bersangkutan.

Pentingnya peran dewa dapat diketahui dari posisinya, baik di dalam  percandian maupun urutan penyebutannya di dalam kitab suci. Dalam percandian, dewa yang penting didudukkan di dalam garbhagreha dan disebutkan lebih dahulu. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa dewa-dewa yang mempunyai peran penting akan menduduki posisi yang tinggi di dalam sistem panteon dan mendapat sebutan mahadewa (the Great Gods). Sementara dewa-dewa yang posisinya di bawah mahadewa (sub-ordinat) disebut  pariwara besar. Termasuk di dalam pariwara besar adalah sakti para mahadewa, dewa-dewa penjaga mata angin, serta dewa-dewi lainnya yang belum termasuk di dalam kelompok  tersebut.

Selain pariwara besar, dikenal juga pariwara kecil, yaitu para penghuni kahyangan yang tidak termasuk dalam kelompok sura dan tidak mempunyai nama diri pribadi. Walaupun bukan golongan dewa (sura), akan tetapi keberadaannya mendukung atau menjadi bagian dari mitologi para dewa. Termasuk di dalam kelompok pariwara kecil antara lain adalah gana, yang menjadi pasukan pengawal Siwa dan diketuai oleh Ganesa. Kelompok pariwara kecil yang lain adalah apsara, gandharwa, kinnarakinnari, vidyadhar,  dan yaksha.

Ketika menjalankan perannya, para dewa disertai oleh binatang yang berperan sebagai wahana atau tunggangan dewa. Selain berupa binatang, wahana dapat juga berupa kendaraan, misalnya kereta yang ditarik oleh tujuh ekor kuda yang merupakan wahana Dewa Surya. Seringkali, karena kesetiaan binatang tunggangannya, dewa memberikan anugrah berupa kedudukan yang lebih tinggi kepada binatang tunggangannya tersebut. Akibatnya, binatang tunggangan tersebut mendapat penghormatan khusus. Di India, Nandi(n) sebagai wahana Siwa dalam wujud lembu diketahui mempunyai kuil tersendiri yang diletakkan berhadapan dengan garbhagreha di kuil Siwa. Hal ini membuktikan bahwa Nandi telah mendapat kedudukan setara dengan dewa.

Dalam perkembangannya,  wahana berwujud binatang kemudian menjadi simbol dewa dan identik dengan dewa itu sendiri. Penggambarannya pun mengalami transformasi wujud, dari wujud zoomorfik menjadi teriomorfik dan bahkan antropomofik. Dapat dikemukan sebagai contoh adalah penggambaran Nandi dalam bentuk teriomorfik dan antropomorfik, keduanya diakui sebagai representasi Siwa.

Sumber: Buku Dewa Dewi Masa Klasik Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah