You are currently viewing Candi Dieng, Harmonisasi Dua Budaya

Candi Dieng, Harmonisasi Dua Budaya

BPCB Jateng. Dataran tinggi dieng berada pada ketinggian 2.000m dpl, terkenal karena tinggalan purbakala dan pemandangan alamnya.  Dieng berasal dari dua kata dari bahasa Jawa Kuno di dan hyang. Kata di berarti tempat atau gunung sedangkan istilah hyang mempunyai arti leluhur atau dewa, dengan demikian Dieng atau dihyang dapat diartikan sebagai tempat tinggal para dewa dewi atau leluhur. Lokasi Dieng yang berada di tempat tinggi tampaknya cocok dengan istilah tersebut sehingga tepat jika tempat tersebut didirikan sebuah kompleks bangunan pemujaan atau candi. Sesuai dengan konsep Hindu, candi adalah replika Gunung Mahameru, tempat tinggal para dewa. Disamping itu didalam kepercayaan Hindu,  Kailasa adalah gunung suci tempat Siwa bertahta, oleh karena itu layak apabila Dieng diibaratkan sebagai sebuah gunung yang suci. Pada tradisi Jawa khususnya, dan di Indonesia umumnya masyarakat beranggapan bahwa gunung adalah tempat yang suci.

Sampai saat ini, terdapat 22 prasasti berbahasa Jawa Kuno yang berisi gambaran mengenai Dieng sebagai pusat kegiatan religius. Salah satunya adalah prasasti Kuti berangka tahun 809 M yang menyebutkan tentang Gunung Dihyang. Sebagai pusat kegiatan religius, sebagaimana informasi yang terdapat didalam prasasti, sebuah tempat untuk kegiatan religius atau memiliki candi didukung oleh komunitas yang tinggal di desa perdikan. Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tersebut mempunyai kewajiban mengelola bangunan suci tersebut dengan dipimpin oleh pemuka agama.  Di dataran tinggi Dieng saat ini dijumpai tinggalan purbakala yang dahulu digunakan sebagai pusat kegiatan keagamaan, baik berupa candi sebagai bangunan suci, bangunan profan, dan arca-arca lepas.

Nama yang diberikan kepada candi-candi tersebut berasal dari nama para pahlawan dan panakawan di dalam cerita Bharatayudha. Menurut Kempers nama tersebut mungkin diberikan pada permulaan abad XIX. Saat ini, terdapat sekitar sembilan bangunan yang masih tersisa, seperti Candi Bima, Candi Dwarawati, Candi Gatutkaca dan Candi Setyaki serta Kelompok Candi Arjuna yang terdiri dari Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra, dan Candi Semar.  Candi Bima yang dibangun sekitar abad VII-VII M masih menunjukkan pegaruh India yang kuat. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk atap yang terpengaruh oleh dua gaya dari India, gaya India Utara tampak pada atap yang berbentuk menara tinggi (sikhara), sedangkan gaya India selatan ditunjukkan dengan adanya atap bertingkat dengan menara-menara sudut dan relung berbentuk tapal kuda dengan hiasan berupa arca kudu. Meskipun masih terpengaruh gaya India, namun hal itu menjadi satu keistimewaan yang dimiliki oleh Candi Bima, karena sampai saat ini gabungan dua gaya itu hanya dijumpai pada candi tersebut. Sayangnya keterawatan Candi Bima cukup mengkhawatirkan karena pengaruh uap belerang menyebabkan batu-batu penyusun candi menjadi sangat rapuh.  Candi Arjuna dibangun sejaman dengan Candi Bima dan juga menunjukkan pengaruh dari India yang masih kental, pengaruh tersebut terlihat dari bentuk atap yang bertingkat dan menara-menara di setiap tingkatan atap. Keistimewaan yang dapat dilihat di Candi Arjuna adalah adanya spout makara di bawah relung  dinding sisi utara. Makara tersebut berfungsi untuk mengalirkan air atau cairan lain yang dituang pada lingga yang berada di atas lapik di dalam bilik utama.  Candi Semar juga dibangun pada abad VII-VIII dan menunjukkan pengaruh India. Candi ini mengambil bentuk bangunan mandapa yang berfungsi sebagai tempat pada peziarah dalam acara festival.

Candi-candi yang dibangun kemudian seperti Candi Srikandi, mulai memunjukkan gaya lokal dengan mulai terlihatnya relung di tubuh candi dan menara atap. Perkembangan gaya selanjutnya dapat dirunut melalui candi Candi Puntadewa, Candi Sembadra, dan Candi Dwarawati relung dan menara atap semakin terlihat jelas. Sedangkan gaya lokal Dieng ditunjukkan oleh Candi Gatutkaca dengan relung yang sangat tegas dan atap yang menyatu dengan bangunan.  Candi-candi lain seperti Candi Parikesit, Candi Antareja, Candi Nakula, dan Candi Sadewa sekarang hanya tinggal nama saja atau tinggal berupa pondasi candi. Namun, Candi Setyaki yang terletak di dekat Kompleks Candi Arjuna pada tahun 2008 mulai dipugar. Meskipun demikian, pemugaran baru sampai pada bagian kaki candi sedangkan bagian tubuh untuk saat ini belum ditemukan sehingga belum diketahui gaya atau arsitektur candi tersebut seperti apa. Demikian pula dengan Ondho Budho dan Tuk Bima Lukar, kondisinya sudah tidak lengkap lagi, konon para peziarah yang datang harus melewati tangga untuk masuk ke kompleks kegiatan keagamaan (Ondho Budho) kemudian bersuci di pancuran air (Tuk Bimo Lukar) baru menuju ke candi. Sedangkan istilah Bale Kambang dan Gangsiran Aswatama mungkin dahulu berfungsi sebagai saluran untuk membuang genangan air yang menutupi halaman Kompleks Candi Arjuna.

Selain bangunan-bangunan tersebut di atas,  terdapat bangunan pendukung kegiatan keagamaan yaitu dharmasala. Dharmasala berasal dari bahasa Sansekerta, dharma yang berarti ajaran atau hukum, dan Sala yang berarti tempat. Dharmasala mempunyai fungsi sebagai tempat dilakukannya persiapan kegiatan upacara keagamaan sebelum dilakukan di candi. Bangunan tersebut terdapat di kompleks Candi Arjuna berupa pendapa atau bangunan terbuka dari kayu.  Terlepas dari beragam pengaruh arsitektur yang ada di Dieng, dapat diketahui dewa yang dipuja di Dieng adalah trimurti, terdiri dari Brahma (pencipta isi alam semesta), Wisnu (pengatur waktu keberadaan isi alam semesta), dan Siwa (pengatur kembalinya isi alam semesta kepada alam keabadian). Ketiga dewa tersebut merupakan dewa-dewa utama dalam agama Hindu. Sebagaimana temuan dari Gemuruh, Wonosobo, berupa tiga lembaran emas yang memuat relief Siwa Mahadewa, Wisnu, dan Harihara serta sebuah arca Siwa dan Parwati dari emas. Di Jawa, sekte yang paling populer adalah pemujaan terhadap Siwa dan para pendampingnya (Parswadewata).  Pemujaan terhadap Siwa di Dieng diwujudkan dalam bentuk arca maupun simbolisasinya yang ditempatkan di dalam bilik utama candi (grbagrha), diikuti oleh dewa pendamping yang terdiri dari Durga, Agastya, dan Ganesha. Siwa digambarkan dalam berbagai perwujudan, yaitu Aniconic digambarkan berupa lingga (simbol laki-laki) yang diletakkan di atas yoni (simbol perempuan), Antropomorfik digambarkan dalam bentuk manusia, contohnya arca Siwa dan Mahaguru, Zoomorfik digambarkan dalam bentuk binatang contohnya arca Nandi. Dari sekian banyak penggambaran Siwa di Dieng, Siwa Trisirah  (Siwa diarcakan berkepala tiga) dan Siwanandisawahanamurti (Siwa diarcakan dengan posisi duduk di atas vahananya, nandi) adalah arca-arca  khas Dieng.