Candi Ceto Karanganyar

candi-cetho

Kompleks Candi Ceto terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Desa Ceto, Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karananyar, Propinsi Jawa Tengah. Area ini berjarak sekitar 10 Km ke arah timur laut dari kompleks Candi Sukuh.  Kompleks Candi Ceto menempati lahan dengan panjang 190 M dan lebar 30 M pada ketinggian 1496 M diatas permukaan laut.

Candi Ceto pertama kali dikenalkan dalam laporan penelitian Van Der Vills pada tahun 1842. Para peneliti Belanda yang lain yang juga tertarik pada Candi Ceto antara lain W.F Stutterheim, K.C Crucq, dan A.J Bernet Kempers. Pada tahun 1928, Dinas Purbakala juga mengadakan penelitian dalam rangka untuk merekontruksi candi ini. Pada tahun 1976, Riboet Darmosoetopo dan kawan kawan melengkapi penelitian-penelitian yang sudah ada. Pada tahun 1975-1976, Sudjono Humardani melakukan pemugaran terhadap kompleks Candi Ceto.

Candi Ceto mirip dengan Candi Sukuh dimana ciri-ciri bangunan prasejarah Indonesia sangat kental yang ditampakkan melalui bangunan kompleks candinya yang berteras mirip punden berundak. Kompleks Candi Ceto memiliki 13 terus yang disusun meninggi ke arah puncak dan menghadap ke barat. Masing-masing teras berupa halaman yang dibatasi oleh pagar dan tangga menuju ke teras di belakangnya. Pada kondisi aslinya hampir tiap-tiapteras meliki arca dan bangunan-bangunan terbuka seperti pendopo dengan kerangka kayu. Sekarang arca-arca tidak ada pada tempatnya, selain itu bangunan-bangunan dengan kerangka kayu dan bangunan batu yang sekarang adalah hasil pemugaran tahun 1975/1976 dengan dasar pemikiran bukan pada kondisi asli. Dengan kata lain pemugaran tersebut tidak mengikuti ketentuan pemugaran yang benar. Sisa peninggalan yang masih asli hanya yang berada pada teras ke VII yang juga merupakan teras paling penting karena waktu pendirian candi, latar belakang keagamaan ditampilkan disini.

Dinding gapura teras ke VII terdapat prasasti dengan huruf Jawa Kuna yang berbunyi: Peling padamel irikang buku buku tirta sunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku. 1397 (peringatan pembuakan buku tirta sunya badannya hilang. Tahun Saka wiku goh hanaut iku.1397) yang dapat peringatan pendirian tempat peruwatan atau tempat untuk menghilangkan (membebaskan) dari kutukan dan didiriakn tahun 1397 Saka (1475 M).

Arca-arca yang berwujud manusia belum dapat diidentifikasi satu persatu. Namun secara umum tidak menunjukkan ciri-ciri dewa tertentu. selain itu terdapat pula arca-arca bebentuk binatang dan bentuk- bentuk lain yang mirip dengan yang ada di Candi Sukuh. salah satu bentuk pengarcaan menggambarkan cerita Samudramanthana dan Garudeya pada teras VII. tokoh-tokohnya adalah garuda dan kura-kura yang diwujudkan dengan susunan batu di atas tanah membentuk kontur burung yang sedang mengembangkan sayapnya. Diatasnya terdapat arca kura-kura.

Selanjutnya terdapat arca phallus (kelamin laki-laki) dan vagina (alat kelamin wanita). Arca ini disatukan dengan bentuk garuda.

Pengarcaan lainnya berbentuk sengkalan memet (tahun yang digambarkan dengan binatang dan tumbuhan) yang berupa tiga ekor katak, mimi, ketam, seekor belut dan 3 ekor kadal. Menurut Bernet Kempers, arca ketam, belut, dan mimi merupakan sengkalan yang berbunyi welut (3), wiku (7) anaut (3) iku=mimi (1), sehingga ditemukan angka tahun 1373 Saka atau 1451 M.

Blok-blok batu runtuhan bangunan pada teras VII terdapat relief yang menggambarkan tokoh, namum hingga kini belum dapat diungkap cerita apakah yang di pahatkan dibatu-batu tersebut.

Latar belakang Agama Candi Ceto adalah Hindu yang didasarkan arca-arca yang menggambarkan cerita Samudramanthana dan Garudeya. Kedua cerita tersebut merupakan mitos-mitos agama hindu.

Dalam kisah Samudramanthana diceritakan taruhan antara kedua istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata pada pengadukan lautan susu untuk mencari air amarta atau air kehidupan.. Kadru menebak bahwa ekor kuda pembawa air amarta yang akan keluar dari lautan susu berwarna hitam, sedangkan Winata menebak ekor kuda itu berwarna putih. Ternyata kuda yang membawa air amarta berwarna putih. Tetapi anak-anak Kadru yang berwujud ular menyemburkan bisanya sehingga warna ekornya berubah menjadi hitam. Walupun bertindak curang Kadru menang dalam taruhan. Kemudian Winata dijadikan budak oleh Kadru.

Selanjutnya diteruskan dengan cerita Garudeya yang berisi pembebasan Winata oleh anaknya, Garuda. Ia menemui para ular minta ibunya dibebaskan dari budak Kadru. Mereka setuju asal garuda dapat menukarnya dengan air amarta. Garuda pergi ke tempat penyimpanan air amarta dan mencurinya dari penjagaan para dewa. Air tersebut diserahkan kepada para ular.Akhirnya Winata dibebaskan dari perbudakan Kadru.

Berdasarkan simbol-simbol dan mitologi yang ditampilkan oleh arca-arcanya, fungi Candi Ceto merupakan tempat dimana dilaksanakannya ritual peruwatan atau tempat untuk membebaskan orang dari kutukan karena melakukan kesalahan-kesalahannya. Setelah diruwat orang menjadi suci kembali seperti baru dilahirkan.

Arca garuda dan kura-kura dimaksudkan untuk menjelaskan cerita Samudramanthana dan Garudeya yang mengisahkan tentang kutukan dan pembebasannya. Arca phallus dan vagina dapat ditafsirkan sebagai lambang penciptaan atau dalam hal ini adalah kelahiran kembali setelah dibebaskan dari kutukan.