You are currently viewing “Cagar Budaya Nasional Jawa Tengah” Bagian XV Percandian Dieng

“Cagar Budaya Nasional Jawa Tengah” Bagian XV Percandian Dieng

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah pada tahun 2019 kembali menerbitkan sebuah buku. Buku ini berjudul “Cagar Budaya Nasional Jawa Tengah”. Buku ini diterbitkan guna memeberikan informasi singkat tentang cagar budaya peringkat nasional berupa bangunan, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya yang berada di wilayah Jawa Tengah.

Buku ini diterbitkan dalam dua versi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Halaman-halaman pada buku ini banyak dipenuhi dengan foto-foto yang diharapkankan dapat menarik bagi pembaca dan tidak membosankan.

Buku “Cagar Budaya Nasional Jawa Tengah” akan dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Sebagian buku ini telah dikirim kepada sekolah, dinas, dan perpustakaan yang telah ditunjuk. Pada saat Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah mengadakan even, buku ini juga akan dibawa dan dibagikan. Bagi sekolah ataupun perpustakaan yang menginginkan buku ini, dapat mengajukan permohonan kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah melalui Surat. Bagi masyarakat yang ingin membac secara online juga dapat membaca melalui laman kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng karena materi buku ini akan diunggah bagian perbagian. Selamat membaca.

Dieng terdiri dari kata “Di” dapat berarti “tempat” atau “gunung” dan “Hyang” bermakna ”Dewa”. Dengan demikian, Dieng berarti gunung tempat bersemayam para Dewa. Gunung sebagai tempat suci atau tempat bersemayam roh nenek moyang sudah dikenal sejak masa prasejarah.

Dieng consists of word “Di”, means “place” or “mountain” and “Hyang” means “god”. Thus, Dieng means a mountain, the abode of the Gods. Mount as a sanctuary or dwelling place of the spirits of ancestors has been known since prehistoric times.

Berdasarkan ciri arsitekturnya, candi – candi di Dieng dibangun sekitar abad VIII Masehi. Berdasarkan prasasti yang ditemukan, Dieng sebagai tempat pemujaan masih digunakan hingga abad XII ketika kerajaan Mataram Kuno telah pindah ke Jawa Timur. Sejarah Kawasan Candi Dieng tidak banyak diketahui mengingat sumber informasi berupa prasasti ditemukan dengan tulisan yang sudah tidak terbaca. Sehingga untuk mengungkap keberadaan sejarah Kawasan Candi Dieng perlu penelitian dengan memanfaatkan data lain selain prasasti.

Based on the characteristics of the architecture, temples in Dieng were built around the eighth century. Based on the inscriptions,  Dieng as a place of worship was still in use until the twelfth century when the Ancient Mataram Kingdom had moved to East Java. History of Dieng Temple Region is not much revealed because the inscriptions  is illegible. Thus, to bring out the historical truth of Dieng temple area, it needs research to utilize other data in addition to the inscription.

Candi-candi di kawasan Dieng dilihat dari arsitekturnya termasuk candi tertua karena memiliki pengaruh gaya India yang masih kental. Sedangkan candi – candi selain Dieng gaya lokalnya lebih menonjol. Candi Bima mirip dengan Candi Bhubaneswar di India Utara yang dikatakan merupakan perkembangan dari kuil dengan bentuk Shikhara (menara yang bertingkat). Di samping itu, gaya India Utara ditunjukkan dengan adanya Kudu yang terdapat di Candi Bima.

Viewed from  the characteristics of architecture, the temples in Dieng area were included as the oldest temples because of its strong influence of Indian style. While, in other temples outside Dieng, the local style is more prominent. Bima Temple is similar to Bhubaneswar temple in north India which is said to be an outgrowth of  shikhara (terraced tower). In addition, the North Indian style is shown by Kudu found in Bima Temple.