You are currently viewing Buku “Peninggalan Arkeologi di Pereng Wukir Susundara-Sumving” Bisa Dimiliki Masyarakat

Buku “Peninggalan Arkeologi di Pereng Wukir Susundara-Sumving” Bisa Dimiliki Masyarakat

Klaten, BPCB Jateng – Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah segera membagikan buku terbitan tahun 2018 yang berjudul “Peninggalan Arkeologi di Pereng Wukir Susundara-Sumving” kepada masyarakat luas.  Beberapa instansi, sekolah, perpustakaan dan universitas yang dipilih mendapat buku melalui pos. Bagi masyarakat yang belum mendapatkan buku ini dapat mengajukan surat permohonan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Bagi masyarakat yang ingin mengetahui gambaran singkat tentang buku ini berikut bagian Sekapur Sirih Peninggalan Arkeologi di Pereng Wukir Susundara-Sumving.

Buku di tangan anda saat ini adalah rangkaian tulisan mengenai arkeologi yang kemudian dirangkum menjadi informasi ringan. Peninggalan Arkeologi adalah sesuatu yang sangat menarik bagi segelintir orang, akan tetapi menjadi sesuatu hal asing bagi banyak orang. Ketika berbicara tentang arkeologi orang akan terbayang dengan sesuatu yang kuno dan tidak jelas. Akan tetapi di balik kekunoannya, tersimpan informasi yang sangat padat. Beberapa informasi dituangkan melalui buku yang berjudul Peninggalan Arkeologi di Pereng Wukir Susundara-Sumving.

Wukir Susundara dan Sumving adalah penyebutan bagi Gunung Sindoro dan Sumbing pada masa Mataram Kuno. Informasi tersebut diperoleh melalui Prasasti Mantyasih I yang berangka tahun 829 Ҫaka. Prasasti Mantyasih I menyebutkan bahwa sawah dan hutan di Gunung Sindoro dan Sumbing ditetapkan sebagai Sima. Sima atau daerah perdikan adalah sebidang tanah yang diberi batas, dibebaskan dari pajak-pajak tertentu dan sejumlah kewajiban oleh raja atau pejabat tinggi. Pajak dan denda dari tanah sima dipergunakan untuk keperluan bangunan keagamaan, misalnya untuk pelaksanaan upacara dan pemeliharaan bangunan keagamaan. Mengingat Sima salah satunya ditetapkan untuk mendukung keberadaan bangunan suci, maka prasasti tersebut mengindikasikan adanya bangunan suci di lerengkedua gunung tersebut. Bangunan suci bisa berwujud candi, petirtaan, atau gua. Keberadaan bangunan keagamaan tersebut beberapa masih dapat disaksikan hingga saat ini. Namun sebagian lainnya tinggal arca, sisa bangunan, atau bahkan hilang sama sekali. Di samping bukti dari aktivitas religi, peralatan sehari-hari dan perhiasan menunjukkan bahwa masyarakat Mataram Kuno telah sedemikian kompleks kehidupannya. Bangunan-bangunan suci di kedua lereng gunung tersebut tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pendukungnya, tokoh agama, pemuja, dan pemelihara bangunan suci. Mereka tinggal tidak jauh dari bangunan suci tersebut, serta lahan pertanian yang menghidupi mereka. Meskipun memiliki sumber daya alam yang menyokong kehidupannya tidak menutup kemungkinan komunitas tersebut menjalin interaksi dengan komunitas lainnya. Interaksi dilakukan untuk memenuhi beberapa keperluan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh komunitas tersebut. Interaksi antar komunitas memungkinkan adanya perjalanan untuk keperluan ekonomi, sosial, maupun keagamaan. Perjalanan tersebut memerlukan fasilitas, seperti akses jalan dan alat transportasi. Jejak akses jalan masa Mataram Kuno masih terlihat sampai saat ini, baik akses yang hanya dilalui dengan cara berjalan kaki, mengendarai binatang tertentu, atau menggunakan alat transportasi tertentu.

Interaksi antar komunitas juga dapat dibuktikan dari temuan arkeologi yang tidak hanya berada di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro. Sehingga dalam buku ini keberadaan temuan lepas yang berupa arca, wadah, komponen bangunan candi, di lembah atau dataran rendah di kedua gunung tersebut tak luput dari bahasan. Hal ini didasarkan pada rangkaian kehidupan masa lalu yang dijalin dengan menginterpretasikan data arkeologi dari keragaman bentuk, bahan jenis, dan lokasi serta konteksnya.

“Peninggalan Arkeologi di Pereng Wukir Susundara-Sumving” oleh Tim Penyusun

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah