Percayakah anda bahwa Kawasan Cagar Budaya Muarajambi atau yang dikenal Percandian Muarajambi pertamakali diketahui dari catatan perjalanan tentara Inggris? Bahkan penuturan seorang Nyai (nenek) di Muaro Jambi, “Dulu dalam semak tulah, bukaknyo baru kinilah, jadi aku ndak tahu”. Dan ada yang menyampaikan, “candi muarajambi dulunya adalah perkebunan. Perkebunan durian, duku, dan dibawah durian dan duku itu banyak batu bata. Ternyata ada candi, setelah dipugar seperti ini baru tahu, itu adalah candi”.
Perwira Inggris itu bernama S.C. Crooke, dalam catatan perjalanannya pada tahun 1820 ketika ditugaskan mengunjungi daerah pedalaman Sungai Batanghari. Crooke menyatakan bahwa ia menyaksikan reruntuhan bangunan bata dan arca batu diantara rerimbunan hutan dekat desa (Schinitger 1937:5). Catatan perjalanan S.C. Crooke menjadi informasi pertama tentang keberadaan candi di Muaro Jambi.
Sejak pertamakali manusia mengenal aksara/tulisan memberikan arti penting pada perkembangan budaya dan peradaban yang dibangun manusia. Media ini sangat berperan dalam menyampaikan pesan tentang eksistensi sebuah peradaban yang telah berhasil berkembang dan memiliki nilai-nilai penting yang kelak dapat digunakan sebagai dasar pengetahuan dan ilmu yang terus dikembangkan oleh manusia. Peradaban-peradaban besar di dunia, mewariskan dan meninggalkan pesan tentang tingginya peradaban yang mereka miliki melalui aksara dan tulisan yang menjadi identitas peradabannya.
Begitu besarnya peran dan pentingnya catatan-catatan yang mewariskan pesan dan nilai penting dari pengetahuan manusia terdahulu. Hingga saat ini tetap menjadi media penyampaian pesan dan bahkan melalui catatan atau tulisan tersebut juga menjadi pembuka tabir peradaban-peradaban kuno yang telah lama hilang ditelusuri kembali.
Kawasan Cagar Budaya Muarajambi merupakan salah satu peradaban yang diungkap kembali melalui sebuah catatan perjalanan. Masyarakat Muaro Jambi dan leluhur mereka yang pertama kali membuka lahan dan mendirikan perkampungan, ladang dan kebun. Mereka tidak pernah menyadari dan mengetahui bahwa sebaran bata-bata yang sering mereka jumpai dikebun dan ada dalam bentuk gundukan tanah (menapo). Hingga akhirnya pada era tahun 1990an mereka baru mulai menyadari dan seolah tidak pernah menyangka. Bahwa bata-bata berserakan yang sering mereka temui di area kebun mereka dan bahkan ada yang dibawa pulang digunakan sebagai lantai halaman rumah serta keperluan lainnya. Ternyata bata-bata tersebut merupakan bagian dari struktur bangunan candi seperti yang dapat mereka lihat saat ini.
Kegiatan pelindungan dan pelestarian yang dilaksanakan secara berkelanjutan di Muaro Jambi telah membuka mata masyarakat setempat bahwa kebun yang mereka anggap selama ini menghasilkan duren, duku, coklat, karet dan tanaman lainnya. Ternyata didalamnya terdapat candi dan artefak-artefak peninggalan masyarakat pendukung peradaban yang ada sebelumnya. Sebelum kehadiran Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi (yang awalnya mereka kenal Peninggalan Suaka Purbakala, kemudian dikenal Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi) di Muaro Jambi. Kegiatan pengungkapan dan pembuktian bahwa di daerah ini pernah menjadi pusat peradaban Budha, pertamakali dilakukan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah (Ditlinbinjarah) dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas).