I-tsing dan Atisha merupakan dua pendeta besar yang berasal dari Tiongkok dan Tibet datang ke Nusantara untuk belajar dan memperdalam ajaran Budha yang berkembang di Nusantara pada masa itu. Catatan perjalanan kedua pendeta ini, pada masa sekarang menjadi tabir bagi para peneliti dalam mengungkap misteri yang menyelimuti peradaban Kawasan Cagar Budaya Muarajambi, Pusat Kerajaan Sriwijaya dan perkembangan ajaran Budha di Nusantara.

Dalam pengungkapan sejarah dan tinggalan peradaban yang pernah jaya pada masanya di Nusantara, seperti peradaban kerajaan dengan latar Hindu dan peradaban kerajaan berlatar Budha. Ada perbedaan unik yang menjadi ciri dari kedua peradaban ini. Sejarah dan tinggalan yang berkaitan dengan hindu dapat ditelusuri melalui kekayaan pesan-pesan pada prasasti-prasasti yang ditemukan. Sementara yang berkaitan dengan peradaban budha, dari prasasti yang ditemukan, pesan yang digoreskan pada prasasti tidak seraya pesan-pesan dalam prasasti peradaban Hindu. Sehingga penelitian dan pengungkapan peradaban yang berkaitan dengan kerajaan dan tinggalan budhis di Nusantara mengalami kendala dan kesulitan tersendiri. Salah satu peradaban dan kerajaan yang sangat erat dengan latar ajaran ini adalah Kerajaan Sriwijaya yang hingga saat ini masih menjadi misteri dimana lokasi pusat pemerintahan kerajaannya.

Kebetulan atau tidak, Misteri lokasi pusat pemerintahan Sriwijaya memiliki kesamaan dengan belum diketahuinya lokasi dimana I-tsing dan Atisa belajar dan memperdalam ajaran budha di Nusantara. Diperkirakan lokasi yang diyakini sebagai tempat mereka belajar merupakan wilayah yang memiliki sarana kajian agama budha yang baik.

Berdasarkan catatan perjalanan I-tsing yang telah dipelajari peneliti, I-tsing (dibantu 6 muridnya) selama 12 tahun menerjemahkan kitab suci agama Budha berbahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin di Ho-ling (Mataram Kuno). Sebelum tinggal 12 tahun bersama muridnya menerjemahkan ajaran Budha, I-tsing telah melakukan perjalanan ke Nusantara. Dalam catatan perjalanannya pertama, I-tsing mengungkapkan singgah di Shin-li-fo-shin (Sriwijaya) selama 6 bulan untuk belajar Sanskerta, kemudian singgah selama 2 bulan di Mo-lo-yeu sebelum meneruskan perjalanan ke India. I-tsing mengisahkan daerah yang telah dikunjungi itu dikelilingi tembok-tembok batu dan tanah yang luas dan besar. Apabila berdiri disana maka bayang-bayang seakan tidak ada. Hingga saat ini, wilayah yang digambarkan tersebut masih menjadi tanda tanya.

Sementara Atisa (Dipankarasrijana) mengunjungi guru gSerlingpa (Suvarnadvipin) dan tinggal selama 12 tahun untuk menyempurnakan ajaran Budha murni yang kuncinya Ada pada pendeta agung Suvarnadvipin. Pada masa sekarang, para pendeta Tibet yang mewarisi ajaran bodhicitta yang mencakup pranidhana dan avatara yang telah dikembangkan Atisa dibawah bimbingan gurunya Dharmakirti selama 12 tahun di Suvarnadvipa. Ziarah yang dilakukan para pendeta Tibet sekarang bertujuan untuk menapak tilas perjalanan guru mereka Atisa yang mereka yakini dahulu pernah memperdalam ajaran budha di Nusantara.

Pada masa sekarang di Indonesia diketahui dua lokasi yang diyakini sebagai simbol pusat pengembangan dan kajian ajaran Buddha, yaitu candi Borobudur dan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi (sebelumnya dikenal Percandian Muarajambi). Keberadaan dua lokasi ini menimbulkan tanda tanya bagi para pendeta yang berziarah tersebut, dimana lokasi sesungguhnya yang menjadi tempat guru mereka belajar di Indonesia pada masa lalu.

ririfahlen/bpcbjambi

Upacara Hari Raya Waisak di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi yang dilakukan oleh Ummat Budha

Perjalanan dan keberadaan pendeta Tiongkok dan Tibet yang memperdalam ajaran Buddha di Nusantara. Catatan ini memberikan pesan bahwa nusantara pada masa lalu memiliki peran dan keunikan tersendiri dalam sejarah perkembangan ajaran Buddha di dunia. Hal ini tentunya menjadi dorongan dan motivasi bagi bangsa Indonesia untuk mengali nilai penting yang membuktikan peran peradaban (kerajaan-kerajaan) di Nusantara dalam perkembangan ajaran Buddha.