Berkembang, Berpengaruh, Meredup

Abad ke-7 Masehi. Sebuah institusi kekuasaan lahir, turut mewarnai sejarah peradaban awal Tanah Sumatera. Seperti yang tertulis pada salah satu prasasti yang dikeluarkannya, yaitu Prasasti Kota Kapur (686 Masehi) -ditemukan di Kota Kapur, Mendo Barat, Bangka – institusi kekuasaan itu bernama Kadatuan Sriwijaya. Pendirinya, sebagai raja (datu) pertama, bernama Dapuntahyang Sri Jayanasa. Kadatuan Sriwijaya diduga kuat berpusat di tepian Sungai Musi, di daerah Palembang, Sumatera Selatan. Alasannya, enam dari 12 prasastinya, bahkan yang tertua, ditemukan di daerah Palembang, yaitu Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi), Talang Tuo (684 Masehi), serta prasasti Telaga Batu, Boom Baru, Kambang Unglen 1, dan Kambang Unglen 2 (dari sekitar abad ke-7 Masehijuga). 

ririfahlen/bpcbjambi

Prasasti Kedukan Bukit

Lima prasasti Sriwijaya lainnya, selain Prasasti Kota Kapur di atas, ditemukan di daerah Lampung (Prasasti Pasemah dan Prasasti Bungkuk dari abad ke-7 Masehi); di daerah Sorolangun-Bangko, Jambi (Prasasti Karangberahi, abad ke-7 Masehi); di Thailand Selatan (Prasasti Ligor atau Vat Semamuang, abad ke-8 Masehi); dan di Negara Bagian Bihar, India Timur (Prasasti Nalanda dari abad ke-9 Masehi). Kecuali Prasasti Ligor yang berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta, serta Prasasti Nalanda yang berhuruf Dewanagari dan berbahasa Sanskerta, semua prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Sumatera menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Umumnya berisi tentang persumpahan dan kutukan bagi yang tidak setia kepada kerajaan.

Ke-12 prasasti tadi memberikan fakta, Kadatuan Sriwijaya tercatat dalam sejarah mulai muncul di sekitar abad ke-7 Masehi. Masih berkuasa di abad ke-9 Masehi. Wilayah kekuasaannya paling tidak, meliputi daerah Sumatera Selatan, Pulau Bangka, Lampung, dan Jambi. Sementara kiprahnya, dikenal sampai ke wilayah Semenanjung Malaya dan India Timur –Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda sama sekali tidak bercerita tentang penaklukan wilayah oleh Sriwijaya. Melainkan, tentang persahabatan yang terjalin lewat jalur kegamaan.

ririfahlen / BPCB Jambi

Selain prasasti, cerita seputar Kadatuan Sriwijaya juga diperoleh dari kronik-kronik asing. Laporan tertulis dari saudagar – saudagar Arab, Persia, India atau Tiongkok, banyak mengisahkan tentang Sriwijaya sebagai sebuah kekuasaan yang sangat berpengaruh pada saat itu. Sriwijaya, dikatakan, menjadi kerajaan yang berkembang pesat dan mencapai kejayaannya karena menguasai seluruh wilayah Sumatera. Memegang kendali atas pelayaran niaga yang melintasi Selat Malaka. 

Masa-masa redup Sriwijaya selanjutnya terjadi. Dimulai pada awal abad ke-11 Masehi, karena adanya serangan dari Kerajaan Cola (India Selatan) yang ingin mengambil alih kendali perdagangan di Selat Malaka. Prasasti Rajaraja I (tahun 1030/31 Masehi) dari Tanjore menyebutkan tentang penaklukan Cola atas Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Selat Malaka. Sriwijaya berhasil ditaklukkan. Dan rajanya, Sangramawijayottungawarman, ditawan. Sejak saat itu nama Sriwijaya perlahan mulai tak terdengar. Sampai kemudian benar-benar hilang dalam catatan sejarah. Meskipun namanya telah meredup, pada tahun 1079 Masehi terdengar berita, Maharaja Sriwijaya turut membantu pembangunan kembali Kuil Tianqing (Kuil Tao) di Kanton yang dibakar oleh “pasukan dari utara”.

Artikel ini diterbitkan oleh PUSLIT ARKENAS dalam bentuk buku pengayaan Rumah Peradaban Sriwijaya di Muarajambi ; Persinggahan Terakhir (2019)