Keberadaan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi  pertama kali diketahui dari laporan seorang perwira Inggris bernama S.C. Crooke yang pada tahun 1820 ditugaskan mengunjungi daerah-daerah pedalaman Sungai Batanghari. Crooke mencatat,  masyarakat yang bermukim pada saat itu menyakini bahwa Muarajambi pada suatu ketika merupakan ibukota dari sebuah kerajaan kuno. Crooke sempat menyaksikan reruntuhan bangunan-bangunan bata dan arca batu diantara rerimbunan hutan dekat desa (Schinitger 1937:5).

Pada tahun 1921 dan 1922 ketika T. Adams menerbitkan catatannya dalam majalah Oudheidkundig Verslag Percandian Muarajambi mulai disebut-sebut kembali. Keterangan bertambah lengkap setelah F.M. Schnitger melakukan serangkaian penelitian di kawasan ini, tahun 1935 sampai dengan 1936.  Schnitger mencatat tujuh bangunan kuna yang disebutnya sebagai Stano, Gumpung, Tinggi, Gedong I, Gedong II, Gudang Garem, dan Bukit Perak. Walaupun kurang jelas, melalui laporannya dapat diketahui bahwa Schnitger melakukan serangkaian penggalian pada bangunan-bangunan kuna itu kecuali Astano (Schnitger 1937: 5-6).

BPCB Jambi

 Berdasarkan laporanlaporan Belanda dan Inggris ini, tahun 1954 tim survei di bawah pimpinan Soekmono yang dibentuk pemerintah Indonesia  melakukan peninjauan terhadap peninggalan-peninggalan  purbakala Sumatera Selatan, menyempatkan diri datang ke Muarajambi yang kala itu masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Tempat-tempat yang dikunjungi antara lain adalah Candi Astano, Gumpung, dan Tinggi. Ketiga bangunan kuno ini masih berupa gundukan, tertutup rapat vegetasi hutan. Sayangnya, karena kedatangan tim sejak semula hanya dimaksudkan untuk melihat dan melakukan inventarisasi, maka penelitihan dalam bentuk ekskavasi tidak dilakukan pada kesempatan itu (Amerta 1955: 15-16).

Pembahasan-pembahasan intensif di bidang kesejarahan dan arkeologi setelah kunjungan tersebut akhirnya menghasilkan keputusan bahwa peninggalan-peninggalan purbakala Kawasan Cagar Budaya Muarajambi perlu segera diteliti dan diselamatkan dari bahaya kehancuran. Keputusan ini dilimpahkan kepada dua instansi negara di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang bergerak di bidang kepurbakalaan, yaitu Ditlinbinjarah (Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah) dan Puslitarkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional).

Sebagai langkah persiapan Ditlinbinjarah yang kala itu masih bernama Direktorat Sejarah dan Purbakala tahun 1976 mulai melakukan pembersihan terhadap tanaman-tanaman yang tumbuh di atas bangunan kuno secara bertahap. Penelitian arkeologi sendiri mulai aktif dilakukan sejak tahun 1981 hingga sekarang, seluruhnya diselenggarakan oleh Pusat Arkeologi Nasional.

 BPCB Jambi

Penelitian geologi untuk mengetahui formasi geologis daerah Kawasan Cagar Budaya Muarajambi dilakukan oleh tim Istitut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1983 bekerjasama dengan Pusat Arkeologi Nasional. Penelitian menitik beratkan perhatiannya pada masalah morfologi daratan Muarajambi yang diketahui terbentuk sebagai akibat kegiatan depositasi material Sungai Batanghari.  Penggunaan foto udara untuk pemetaan wilayah Situs Muarajambi mulai diterapkan pada tahun 1984 bersama dengan penelitian geografi tim gabungan antara Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada (UGM), Ditlinbinjarah, dan Puslit Arkenas. Interprestasi foto udara yang dikombinasikan dengan survei arkeologi permukaan tanah telah menghasilkan sebuah peta geomorfologi terpercaya Kawasan Cagar Budaya Muarajambi

Kegiatan survei ini juga menyertakan penerapan metode-metode pendugaan bawah tanah, seperti geolistrik dan geomagnetik di tempat-tempat yang diduga mengandung tinggalan purbakala; seperti lingkungan Candi Kedaton, Gedong I, Gedong II, Gumpung serta daerah sekitar jalan setapak dekat candi candi, Tinggi dan Astano. Untuk memastikan hasil interprestasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan penelitian pada setiap gundukan tanah dan permukaan lahan yang merupakan bagian dari peninggalan purbakala.

Hasil penelitian arkeologi yang dipadukan dengan bidang ilmu geografi dan geologi memberi informasi, bahwa Kawasan Cagar Budaya Muarajambi merupakan dataran tanggul alam kuno yang dikelilingi sungai-sungai kuno yang melingkari daratan tempat berdirinya bangunan-bangunan candi. Hasil penelitian ini juga menjadi dasar tentang perlunya pelestarian di Kawasan Cagar budaya Muarajambi. Dimulai dari pekerjaan clearing yang sudah dilakukan sejak tahun 1978, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI selanjutnya melakukan pemugaran Candi Tinggi pada tahun 1978/1979, Candi Gumpung pada tahun 1982 hingga 1988, Candi Astano tahun 1985 s.d. 1989, Candi Kembarbatu tahun 1991 s.d. 1995, Candi Gedong I tahun 1996 s.d. 2000, dan terakhir adalah Candi Gedong II dimulai tahun 2001 s.d. selesai, Candi Tinggi I tahun 2005 s.d. 2008, Candi Kedaton tahun 2009 hingga saat ini.