Realita Megalitik Pasemah

Sampai saat ini, misteri peninggalan Kebudayaan Pasemah belum juga terkuak secara akademis, masih diselimuti sejumlah pertanyaan terutama di dalam kerangka kronologi periodesasi penjamanan. Keraguan lain para peneliti apakah budaya Pasemah ini memang mengarah pada peninggalan prasejarah ataukah suatu tradisi prasejarah yang terus berlanjut hingga pada masa Sriwijaya. Tetapi kenyataannya kita juga tidak menjumpai adanya kelanjutan atau pewarisan tradisi memahat batu kepada generasi sekarang, tampaknya pendukung budaya pasemah raib ditelan bumi, kemana mereka, apakah mereka punah atau bermigrasi ke tempat lain yang diakibatkan oleh bencana alam atau wabah penyakit. Pertanyaan-pertanyaan ini belum disentuh oleh peneliti yang seharusnya sudah dimulai pada penelitian kerjasama dengan melibatkan ilmu geology, maupun ilmu-ilmu terkait lainnya. Kegiatan penelitian yang dilakukan selama ini masih bersifat eksploratif dan deskriptif, kita belum melakukan kajian fungsi untuk mempelajari kedudukan dan fungsi bangunan bilik batu misalnya.

Saat ini kita belum dapat menjelaskan tentang peranan bangunan bilik batu, apakan sebagai fungsi kubur atau fungsi sakral dan profan. Begitu pula mengenai arca-arca batu yang sangat kaya dengan karakternya yang dinamis, memiliki nuansa ikonografi yang unik dan sangat kompleks, walaupun sangat berbeda dan sulit disandingkan dengan ciri-ciri ikonografi arca pengaruh Hindu-Budha yang terdapat di Sumatera.

Walau telah berkali-kali diteliti, dibahas dan ditulis, tetap saja belum tuntas dan masih banyak yang belum terungkap dari peninggalan budaya batu Pasemah tersebut. Misteri dan keistimewaan peninggalan arkeologi Pasemah antara lain dapat ditelisik pada arca-arca batu yang memiliki beragam bentuk, gaya dan adegan yang menyimpan beragam pesan untuk dibaca. Lalu pada cara pengerjaan batu menjadi arca, yaitu terdapat teknik memahat batu yang berbeda dengan patung batu pada masa- masa kemudian. Bila diperhatikan arca yang terdapat di situs Tanjung Aro, selintas tampak hasilnya masih kasar dan tidak proporsional, tetapi pada sebagian arca yang lain justru ditemukan karya-karya yang sudah sangat sempurna, bahkan dapat disaksikan suatu komposisi dan adegan tertentu dengan menampilkan tokoh manusia dan hewan tertentu (gajah, ular, monyet dan jenis hewan lainnya). Lebih mengagumkan lagi teknik mengikuti struktur bentuk batuan itu sendiri.

Keragaman arca tidak saja pada tokoh manusia dan hewan, tetapi terdapat adegan-adegan yang memperlihatkan suatu cerita dan peristiwa yang hendak disampaikan oleh pemahatnya. Peristiwa- peristiwa yang hendak disampaikan antara lain; hubungan manusia dan beberapa jenis hewan (gajah, ular, kerbau, monyet, babi, dll), ada pula terkait dengan hubungan anak dan ibunya, dan secara tersirat juga menceritakan tentang peristiwa alam yang dialami oleh manusia, mungkin berupa bencana gempa maupun letusan gunung berapi.

Kehadiran arca-arca dengan sejumlah gaya dan atribut serta menunjukkan adegan tertentu, hal ini menimbulkan banyak persepsi dan pertanyaan dari para peneliti, bahkan beberapa kalangan kemudian meragukan bahwa peninggalan tersebut berasal dari periode prasejarah. Sebagian ahli justru menganggapnya dari periode kemudian atau setara dengan masa Sriwijaya. Anggapan itu terutama didasarkan pada gaya pengerjaan dan pahatan arca yang sudah cukup rumit dan halus. Alasan lainnya yaitu belum adanya data pertanggalan yang dapat digunakan untuk menempatkan peninggalan tersebut sebagai karya budaya megalitik masa prasejarah.

Bersambung…

(artikel ini ditulis oleh Nasruddin, disadur dari tulisan yang berjudul “Potensi Data Prasejarah Dari Lahat Hingga ke Empat Lawang”, yang telah dipublikasikan dalam buku “Megalitik Pasemah, Warisan Budaya Penanda Zaman”)