Van Bangka begin de victorie!

Ungkapan yang dinyatakan oleh Moh. Roem diatas seolah mengajak kita untuk bercermin kembali akan sejarah kedaulatan Bangsa Indonesia. Muntok, kota kecil di Kepulauan Bangka yang terkenal akan hasil lada dan timahnya ini menyimpan rekam jejak panjang kemenangan diplomatis Indonesia atas Belanda. Tepatnya pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi agresi militer II dan berhasil menduduki Yogyakarta, Ibu kota Indonesia pada waktu itu. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 22 Desember 1948,  Bung Karno, Haji Agus Salim, dan Sultan Syahrir dibawa dengan pesawat B-25 ke Berastagi dan akhirnya diamankan di Perapat. Sementara itu, pada tanggal 31 Desember 1948, para pemimpin lainnya: Dr. Moh. Hatta, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Muh. Roem, Assat, Suryadarma, dan A.G Pringgodigdo diamankan di Pesanggrahan Menumbing. Pesanggrahan Menumbing berada pada gugusan perbukitan Menumbing dengan ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Pesanggrahan ini dibangun pada tahun 1927-1930 oleh Bangka Tin Winning Bedrijft (BTW) sebagai berghotel atau tempat peristirahatan petinggi perusahaan timah kolonial.

Pada perkembangan berikutnya, tanggal 6 Februari 1949, Sukarno, H. Agus Salim, Muh. Roem, dan Ali Sastroamdijojo diterbangkan ke Muntok. Para tokoh kebangsaan ini tidak disatukan dalam satu tempat, melainkan ditempatkan pada bangunan yang dinamakan pesanggrahan Muntok. Pada bangunan yang dibangun kurun 1890 para tokoh tersebut menempati kamar yang berbeda-beda. Dengan rincian kamar 12 ditempati oleh Ir. Soekarno, kamar 11 adalah kamar H. Agus Salim, kamar 12-A ditempati oleh Mr. Moch. Roem, dan kamar 1 adalah tempat Mr. Ali Sastroamidjojo.

Masa-masa pengasingan 1948-1949 turut menentukan arah perjalanan bangsa ini. Selama masa pengasingan, para tokoh pemimpin bangsa sibuk mempersiapkan strategi dan rencana untuk mempertahankan kembali kedaulatan Republik Indonesia. Keyakinan ini tertuang dalam kata-kata yang dilontarkan Ir. Soekarno pada waktu itu “…from my Alcatraz on Bangka, I knew our 350-years sentenced was end…”.  Rupanya keyakinan tersebut membuahkan hasil, pada akhir bulan Januari 1949, Dewan keamanan PBB menuntut pembebasan kabinet serta penyerahan kedaulatan secara penuh. Akhirnya pada bulan April 1949, Belanda sepakat untuk menyerah, tetapi mendesak untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan pendahuluan dengan pemerintah Republik.

            Pesanggrahan Muntok dan Menumbing keduanya menjadi saksi bisu lahirnya perjanjian Roem-Royen. Bahkan Cindy Adams dalam wawancaranya dengan Presiden Soekarno mengutip hal tersebut: “kompromi terakhir dari perjanjian Roem-Royen berlangsung di meja dapurku dirumah perusahaan tambang dimana aku tinggal” (Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakjat Indonesia, hal: 317). Sesuai dengan isi perjanjian tersebut, akhirnya pada tanggal 6 Juli 1949 para tokoh nasional tersebut dipulangkan ke Yogyakarta.

            Begitu membekasnya kota Muntok di hati, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950, Muh. Hatta datang kembali untuk membuat sebuah tugu peringatan dan mengukir kalimat mendalam pada sebuah prasasti di Wisma Ranggam.

“Kenang-kenang Manumbing dibawah sinar Gemerlap,

terang tjuaja membawa kemenangan

Bangka, Djogjakarta, Djakarta

Hidup Pancasila, Bhineka Tunggal Ika”