Jika dirunut sejarahnya, Mesjid Agung dibangun Sultan Machmud Badaruddin (SMB) I untuk menggantikan mesjid-mesjid terdahulu. Sebelumnya, di Kesultanan Palembang telah berdiri rurnah ibadah yang letaknya di kawasan Palembang Lama (sekarang Boombaru).

Seorang penulis sejarah, JC Burril dalam artikel dalam dua bahasa Mesdjid Agung Palembang ( The Grand Mosque of Palembang) menyatakan bahwa pada masa Pangeran Madi Alit (1603-1604) dan Sultan Abdurrachman telah didirikan sebuah mesjid di Palembang Lama. Ka­wasan ini tidak jauh dari perkampungan Guguk Jero Pager, lokasi salah satu istana SMB I dengan istri keempatnya Nyimas Nairnah Narnun, mesjid untuk keluarga raja ilu. hancur saat penyerangan Belanda di bawah pimpinan Major Jan van der Laen pada tahun 1659

Data-data tentang keberadaan Mesjid Agung ini diterima dari Kms Andi Syarifuddin SAg. Dokumen-dokumen lama banyak disimpan peminat masalah budaya Palembang yang juga penulis ini, termasuk Catatan Sejarah Tahun 1935 yang ditulis Kms H Ismail Umari, putra Ki Kms H Umar salah seorang tokoh ularna di Guguk Kampung Pengulon (di kawasan Jalan Faqih Jalaluddin Kelurahan 19 llir Kecamatan IB I Palembang.

Setelah tahun 1663, Sultan Abdurrachman kembali mendirikan mesjid namun JC Burril ragu di mana mesjid tersebut akan didirikan. Sebuah artikel pendek yang ditulis atas nama Yayasan Mesjid Agung Selintas Sejarah Mesjid Agung SMB Palembang, tempat ibadah itu diperkirakan berdiri di kawasan Jalan Mesjid Lama (17 llir).

Menurut JC Burril, arsitek Mesjid Agung ada- lah mantan Menteri Kerajaan Tiongkok yang melarikan diri ke Palembang dan mengabdi kepada SMB I. Pendapat ini mungkin ada benarnya jika menelusuri peninggalan-peninggalan masa lalu yang kini masih terdapat di Pa­lembang.

Menurut salah seorang keturunan Saudagar Kocing alias Baba Yucin, Kgs ldris alias Cek Mad (67), arsitek Cina tersebut sempat tinggal di rumah limas Kampung Saudagar Kocing. Rumah limas ini, oleh warga di sekitar Jalan Jayalaksana 3 Ulu Kecamatan SU 1, disebut sebagai ‘rumah besar’.

Ini merupakan salah satu peninggalan kaum Tiongkok Muslim yang membentuk perkampungan Sungai Saudagar Kocing cli lokasi itu. Sedangkan gelar Baba hanya disandang hingga generasi ketujuh yaitu KH Muhammad Amin Azhari alias Baba Cek Ming yang merupakan salah se­orang ulama Palembang.

Karena itu pula, mungkin para peneliti Mes­jid Agung menyebut bangunan itu merupa­kan perpaduan arsitektur Melayu dan Cina Me­nurut JC Burril, mesjid yang terletak di Jalan Tengkuruk (sekarang Merdeka) ini menarik perhatian karena bentuk dan gaya bangunannya. Tipe mesjid itu sama dengan Mesjid Agung di Ampel Surabaya, Kudus dan Medan yang pembangunannya bertalian dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat daerahnya.

ririfahlen/bpcbjambi

Bentuk atap yang bersusun persegi empat memuncak tajam, menurut Burril, merupakan tanda pengaruh Hindu, seperti layaknya kuil-kuil di Bali.

Sementara budayawan Palembang Djohan Hanafiah dalam penelitiannya menyebutkan, bentuk mustaka (limas) yang terjurai dan melengkung ke atas pada keempat ujungnya memperlihatkan pengaruh Cina. Bagian atau berundak dengan mustaka atau kepala itu memiliki jurai kelompok simbar atau lebih dikenal sebagai tanduk kambing sebanyak 13 buah. Inti bangunan adalah ruang bujur sangkar yang mempunyai mus­taka, ditunjang empat tiang utama (saka guru)

Sesuatu yang menarik mengenai makna atap itu. adalah penafsiran Buya Hamka. Menurut sastrawan dari Angkatan 1930 ini, tingkat paling bawah serta lantai melambangkan Syariah serta amal perbuatan manusia. Tingkat kedua me­lambangkan Thariqab yaitu jalan mencapai rida Allah, ketiga melambangkan Hakikai, yaitu akikat amal perbuatan manusia Sedangkan musiaka melambangkan Ma’rifah, yaitu tingkat mengenai Tuhan yang Mahatinggi.

Berdasarkan tulisan Djohan, pada awalnya Mesjid Agung berbentuk bujur sangkar. Sebelah barat sebagai belakang mesjid, dan di sini tepat bagian tengah terdapat penampil yang berupa mihrab. Di sebelah kanannya terdapat mimbar dengan ukiran khas Palembang yang menonjolkan ukiran kayu dan perada mas. Ukirannya berbentuk bunga, daun dan sulur mulai dari leher mustaka hingga pintu-pintu masuk. Hingga kini, kekhasan tersebut masih dijumpai.

Gerbang serambi masuknya sebanyak tiga buah, di sebelah timur. selatan dan utara. Bentuk aslinya, dapat dibandingkan dengan mihrab yang ada sekarang. Dari bentuk yang ada setelah terjadi perubahan, awalnya mesjid ini berbentuk bujur sangkar dengan empat sayap yang sama. Satu penampil mihrab dan tiga merupakan gerbang serambi masuk. Namun saat ini, ketiga sayap tersebut telah terpotong.

Pada penampil mihrab, dinding bagian se­latan dan utara, terdapat jendela persegipanjang dengan empat daun jendela. Dua di bagian bawah dan papan tertutup dengan lis bersudut, sedangkan bagian atas memakai kaca Dinding bagian barat, ada tiga ruangan yang bagian kiri dan kanannya terdapat jendela persegipanjang. Tepat bagian tengah dinding barat seolah ada pintu yang tetutup dinding.

Tiang utama atau saka guru inesjid terbuat dan kayu besi persegi delapan. Tiang penopangnya juga persegi delapan namun lebih kecil dan pendek berjumlah 11 buah Jika dilihat dari sudut barat, menjadi empat baris, yang melingkari saka guru.

Menurut Johan, Mesjid Agung dapat mengimbanggi bentuk profan yang mengurangi kekudusan rumah ibadah dan suasana kekudusan yang mengurangi profan mesjid. Keseimbangan ini terjaga baik. (yudhy syarofie)

ririfahlen/bpcbjambi