Oleh Bambang Budi Utomo.

Di negara yang disebut Indonesia tinggal bangsa heterogen yang terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok yang mendiami wilayah pesisir dan kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman. Kedua kelompok masyarakat ini, sadar atau tidak sadar bahwa mereka hidup dalam sebuah ketergantungan akan laut. Dalam perkembangan sejarahnya, kedua kelompok masyarakat itu timbul hasrat untuk saling mengendalikan. Kelompok yang tinggal di darat berusaha untuk mengendalikan pesisir dengan segala upaya untuk mendapatkan hasil dari laut, dan juga sebaliknya.Laut adalah ajang untuk mencari kehidupan bagi kedua kelompok masyarakat. Dari laut dapat dieksploitasi sumberdaya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan mempesona. Inilah yang mendorong kedua kelompok masyarakat itu menuju laut. Awalnya bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup. Pada akhirnya bertujuan membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Fenomena ini pada akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kadātuan Śrīwijaya, Kerajaan Mālayu, Kerajaan Siŋhasāri, Kerajaan Gowa-Makassar, dan beberapa kerajaan lain yang berorientasi pada laut.Laut dapat dikatakan media pemersatu karena melalui laut orang dari berbagai bangsa melakukan interaksi dengan berbagai macam aktivitas. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan aktivitas perekonomian melalui jasa pelayaran antar benua atau antar pulau. Sejak awal tarikh masehi, laut Nusāntara telah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Dengan sarana transportasi air itu, komoditi perdagangan dibawa dari satu tempat ke tempat lain untuk diperdagangkan. Sarana ini juga sekaligus alat pemersatu bangsa.

Nenek-moyangku

Jauh sebelum tarikh Masehi, kira-kira 7000 tahun yang lalu, beberapa pulau di Nusāntara sudah dihuni oleh manusia dari ras Australomelanesid. Mereka tinggal di gua-gua yang hidupnya dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Data arkeologis tentang manusia ini ditemukan di pesisir timur Sumatra pada bukit kerang kyokkenmödinger, gua-gua di Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Alat-alat batu yang ditemukan di gua-gua tersebut, antara lain alat batu paleolit berupa kapak, serpih-bilah, dan anak panah batu. Apakah mereka ini nenek-moyang bangsa bahari?

Siapa sebenarnya nenek moyang bangsa bahari? Sebagian orang beranggapan bahwa orang-orang yang bertutur bahasa Austronesia-lah nenek moyangnya. Austronesia adalah istilah yang dipakai oleh pakar linguistik untuk keluarga bahasa yang berkembang di Taiwan antara 5000-7000 tahun yang lampau.

Di Taiwan orang-orang ini mengembangkan teknik-teknik pertanian dari Tiongkok Selatan, beradaptasi dengan lingkungan pulau, dan “belajar” menyeberangi selat. Sejak sekitar millenium ke-3 Sebelum Masehi, mereka mengembara ke arah selatan menuju Filipina. Di tempat ini mereka membawa dan mengembangkan teknik perladangan berpindah, pembuatan perahu, dan pembuatan barang-barang tembikar. Pada akhirnya mereka membentuk sub-rumpun bahasa Melayu-Polynesia.

Menjelang millenium pertama Sebelum Masehi, para penutur rumpun bahasa Melayu-Polynesia Barat sudah mencapai pesisir Champa, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Sumatra. Pada periode berikutnya, secara bersinambungan mereka sudah berlayar jauh hingga ke Madagaskar di pantai timur Afrika. Akibat berhubungan secara bersinambungan, kemudian tumbuh budaya Melayu-Polynesia Barat (Malagasy) dan berkembang secara mandiri.

Kelompok penutur yang menyebar ke arah timur membentuk rumpun bahasa Melayu-Polynesia Timur. Perkembangannya di daerah pantai-pantai kawasan timur Nusāntara, seperti Halmahera dan pantai utara Irian. Dari tempat ini kemudian diteruskan sampai ke seluruh penjuru Pasifik, Tonga, Samoa, Hawaii, dan yang terjauh Selandia Baru.

Populasi orang-orang penutur bahasa Austronesia menempati wilayah dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah (Easter Island) di timur, dan dari Taiwan-Micronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan. Benang merah yang menyatukan mereka adalah teknik bercocok-tanam, teknik pembuatan perahu, dan teknik pembuatan tembikar. Itulah nenek moyang bangsa bahari.

Sebagai bangsa bahari mereka mengembangkan teknik pembuatan alat transportasi air. Dimulai dari bentuk yang paling sederhana yang dibuat dari kayu atau bambu yang diikat. Setelah itu mereka mengembangkan bentuk perahu yang dibuat dengan cara melubangi/mengerok batang kayu (dogout) memakai alat kapak dan beliung. Pada akhirnya teknik yang mereka kembangkan lebih maju lagi, yaitu teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat.

Teknologi pembuatan alat transportasi air ini berkembang di kawasan perairan Asia Tenggara. Karena itu dikenal juga dengan istilah “Teknologi tradisi Asia Tenggara”. Ciri teknologi ini, pada salah satu permukaan papan diberi tonjolan yang dinamakan tambuko dan berfungsi sebagai tempat untuk mengikat satu papan dengan papan lain.

ririfahlen/bpcbjambi

Anak Bahari

Sukubangsa yang berbudaya bahari banyak terdapat di wilayah Nusāntara. Kita mengenal ada Suku Laut, Ameng Sewang, Bugis, Banjar, dan Bajau. Kehidupan mereka tidak dapat jauh dari laut, bahkan ada yang seumur-umur tinggal di perahu. Mereka “berkeyakinan” bahwa darat tempatnya orang mati. Karena itulah selama hidupnya mereka bertempat tinggal di perahu. Membentuk kelompok masyarakat perahu yang tinggal di perairan dangkal, muara sungai besar, dan teluk yang tenang.

Orang Bugis dikenal sebagai pelaut ulung. Hidup mengembara dari satu pulau ke pulau lain. Dahulu mereka membuka perkampungan di tepi sungai dekat hutan. Di tempat itu mereka membangun Pinisi yang kayunya diambil dari hutan terdekat. Setelah Pinisi selesai kampung tersebut mereka tinggalkan. Semangat dari orang Bugis ini terpampang pada suatu pepatah yang telah mendarah daging pada masyarakat, yaitu ”Kualleangi tallang na towella” yang berarti “lebih baik tenggelam daripada surut kembali sebelum tujuan tercapai (mencapai tujuan)”.

Sebagai anak bangsa bahari yang sudah mengenal peradaban, dan hampir seluruh kehidupannya di atas kapal, sudah barang tentu mempunyai aturan semacam undang-undang. Para pelaut dan saudagar Sulawesi Selatan hampir semua tahu dan mengenal semacam Hukum Laut (pelayaran dan perdagangan) Amanna Gappa. Di dalam kitab hukum ini terangkum segala macam peraturan yang berhubungan dengan syarat, kewajiban, hak dan wewenang nakhoda; hierarki dalam kapal; hak dan kewajiban anak buah kapal, urusan perdagangan; pembagian laba; tanggungan konsekuensi pada barang dagangan; tindakan yang harus diambil ketika menghadapi bencana di laut; dll. Pada prinsipnya di dalam sebuah kapal itu layaknya suatu komunitas dimana pejabat yang paling berkuasa adalah nakhoda. Seorang raja pun harus tunduk dengan sang nakhoda. Konsekuensi dari Perjanjian Bungaya antara Belanda dan Kesultanan Makassar Amanna Gappa dihapuskan. Meskipun demikian, masih berlaku hingga tahun 1930-an.

Usaha Penyatuan

Pada mulanya kelompok bangsa bahari ini bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup. Pada akhirnya bertujuan membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Fenomena ini pada akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kadātuan Śrīwijaya, Kerajaan Mālayu, Kerajaan Siŋhasāri, Kerajaan Gowa-Makassar, dan beberapa kerajaan lain yang berorientasi pada laut.

Kadātuan Śrīwijaya yang lahir pada 16 Juni 682 adalah kerajaan maritim pertama di Nusāntara. Pada masa kejayaannya (abad ke-8-10 Masehi) kerajaan ini menguasai sebagaian besar perairan kawasan barat Nusāntara. Bahkan menguasai juga bandar-bandar yang ada di sekitar Selat Melaka.

Setelah berakhirnya Kadā¬tuan Śrīwijaya, pada abad ke-13 muncul Kerajaan Siŋhasāri. Di bawah pemerintahan Raja Kĕrtanāgara (1268-1292) Siŋhasāri mengalami masa kejayaan. Untuk membendung ekspansi Mongol, Kĕrtanāgara menjalankan politik wawasan dwipāntara (menyatukan pulau-pulau di Nusāntara). Ekspedisi damai yang dikenal sebagai ekspedisi Pamālayu, dilakukannya dengan Kerajaan Mālayu di Sumatra dengan mengirimkan arca Amoghapāśa.

Wawasan Dwipāntara

Pada sekitar tahun 1260 Kerajaan Mongol yang sudah menguasai Kekaisaran Tiongkok menunjukkan gelagat akan memperluas wilayah ke selatan hingga meyeberangi lautan. Pada tahun 1280 Khubilai Khan mendirikan Dinasty Yuan. Segera ia memulainya dengan meminta pengakuan kekuasaan dari negara-negara yang sebelumya mengakui kekuasaan kaisar-kaisar Tiongkok dari Dinasty Song.

Jawa tidak luput dari rencana besar Khubilai Khan. Utusan yang membawa pesan supaya raja Jawa mau tunduk kepada Kaisar mulai datang pada tahun 1280 dan 1281. Tuntutannya agar raja Jawa mengirimkan seorang pangeran ke Tiongkok sebagai tanda tunduk kepada kekaisaran dinasty Yuan.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa persatuan dapat terwujud apabila ada ancaman dari luar. Beberapa puluh tahun sebelum Mahāpatih Gajah Mada bersumpah, Mahārāja Kĕrtanāgara dari Kerajaan Siŋhasāri juga berniat menyatukan Nusāntara. Hal ini dianggap penting untuk menghadapai ancaman serangan Kerajaan Mongol. Prasasti yang dipahatkan pada bagian belakang arca Cāmundi yang dikeluarkan oleh Mahārāja Kĕrtanāgara terkandung gagasan perluasan cakrawala mandala ke luar pulau Jawa yang meliputi daerah seluruh dwipāntara. Gagasan ini mulai diwujudkan pada tahun 1270 Masehi. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa arca Bhattāari Cāmundi itu ditahbiskan pada waktu Śrī Mahārāja Kĕrtanāgara menang di seluruh wilayah dan menundukan semua pulau-pulau yang lain.

Dalam usahanya menyatukan Nusāntara, Śrī Mahārāja Kĕrtanāgara tidak selalu dengan kekuatan senjata seperti yang dilakukan dengan Kerajaan Mālayu. Ekspedisi Pamālayu menghadiahkan sebuah arca Amoghapāśa kepada Mālayu sebagai tanda persahabatan. Mungkin maksudnya mengajak beraliansi dalam menghadapi serangan tentara Mongol yang datang dari utara. Tetapi yang perlu diingat bahwa ketika itu gagasan menyatukan Nusāntara sudah mulai tumbuh, yaitu ketika mengantisipasi serangan dari luar.

Sumpah Palapa

Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Beliau Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusāntara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjuŋ Pura, Haru, Pahaŋ, Dompo, Bali, Sunda, Palembaŋ, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.

Demikian isi sumpah Mahāpatih Gajah Mada seperti yang ditulis dalam Kitab Pararaton. Dari kutipan Pararaton ini kemudian ditambah dengan kutipan Nāgarakěrtāgama yang menyebutkan nama-nama tempat di Nusāntara, berkembanglah suatu anggapan bahwa luas wilayah Kerajaan Majapahit sama seperti luas wilayah Republik Indonesia sekarang ini! Isu ini kemudian dijadikan alat politik masa pemerintahan Presiden Soeharto untuk menyatukan Nusāntara yang diwujudkan dalam alat komunikasi satelit dengan nama “Palapa”.

Nāgarakěrtāgama dan beberapa prasasti dari jaman Majapahit menginformasikan tentang struktur kewilayahan kerajaan dan hubungannya dengan tempat-tempat lain di Nusāntara dan Asia Tenggara. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk wilayah kekuasaan Majapahit hanya terdiri dari sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan Bali. Di wilayah kekuasaan ini terdapat 21 negara daerah yang dipimpin oleh Paduka Bhattara, seperti Mataram, Pajang, Jipang, Lasem, Janggala, Madura, Bali, dan Gurun.

Di luar negara daerah yang tergabung di bawah Majapahit merupakan desantara kacayya, yaitu daerah-daerah di Nusāntara dari Sumatra hingga Papua yang dilindungi oleh Raja Majapahit. Daerah-daerah ini tergabung dalam kerjasama regional, dan bukan merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Sebagai terimakasih karena telah dilindungi, daerah-daerah ini mengirimkan upeti (tributary). Daerah-daerah itu, misalnya Mālayu, Palembang, Tanjungpura, Pasir, Bantayan, Luwuk, Maloko, dan Seram.

Adapun kerajaan-kerajaan lain di luar Nusāntara, seperti Champa, Khmer, Dwarawati, Burma dan lain-lain disebut dengan istilah mitra satata (negara-negara sahabat yang kedudukannya sejajar). Kerajaan-kerajaan ini menjalin hubungan politik dan perdagangan dengan Majapahit.

Setelah Islam masuk dan berkembang di Nusāntara, kita mengenal Kerajaan Demak yang juga mempunyai kekuatan laut yang kuat. Ketika Portugis hendak menduduki Melaka (1511), Demak ikut “membantu” Melaka melawan Portugis. Namun dalam perang laut yang hebat, Demak mengalami kekalahan. Meskipun kalah, Portugis mengakui kekuatan tentara laut Demak dengan kapal-kapalnya yang tangguh.

Di Sulawesi Selatan dikenal kerajaan kembar Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar. Pada awalnya, kerajaan ini meru¬pakan gabungan dari kerajaan-kerajaan kecil, dimana yang men¬jadi raja berlaku sebagai hakim (penengah) dalam pertikaian. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669) Kerajaan Makassar mengalami masa kejayaan. Wilayah kekuasaannya hampir separuh wilayah Indonesia sekarang hingga ke pantai utara Australia. Untuk menguasai kerajaan ini Belanda bersekutu dengan ke¬rajaan-kerajaan di Maluku. Pada akhirnya Makassar berhasil ditaklukan dan dibuat perjanjian Bungaya pada 16 November 1667. Pelabuhan Makassar tertutup bagi kapal-kapal asing dan perdagangan dibatasi.

Menguasai Bangsa Bahari

Rempah-rempah, khususnya cengkeh, pala, dan fuli hanya dihasilkan Malu¬ku. Keharumannya hingga ke benua Eropa. Namun karena keharumannya ini datanglah bencana itu. Bermula dari usaha orang-orang Portugis, Spanyol, dan Belanda mencari sumber asalnya komoditi tersebut. Tentu saja dengan ditemukan sumbernya maka keuntungan yang diperoleh akan lebih besar.

Pada awal kedatangannya, para pelaut dan saudagar Eropa itu diterima dengan segala keramah-tamahan. Bahkan begitu senangnya dengan tamu Eropanya, para penguasa di Maluku sampai menahannya supaya jangan kembali ke negeri asalnya. Rupa-rupanya, tamu yang dijamu dengan segala keramah-tamahan itu, mempunyai maksud yang jahat. Mereka bermaksud menguasai daerah penghasil rempah. Bahkan di antara para tamu tersebut sudah ada persaingan sejak di negara asalnya. Dari persaingan dagang akhirnya menjadi perseteruan agama yang pada mulanya antara Katolik (Spanyol dan Portugis) dan Protestan (Belanda), dan akhirnya antara Kristen (Protestan dan Katolik) dengan Islam.

Sementara itu di Maluku juga terjadi perseteruan antara Ternate dan Tidore. Perseteruan ini kemudian dimanfaatkan oleh Portugis dan Spanyol. Salah satu di antara bangsa Eropa ini akan membantu salah satu kerjaan di Maluku. Akibat dari perseteruan tersebut, Maluku menjadi lemah dan kekuatan asing berhasil menguasai wilayah penghasil rempah.

Di tempat yang dikuasainya itu, para pendatang banyak membangun benteng pertahanan. Melihat keletakan benteng yang ada di daerah pantai, jelas benteng tersebut dimaksudkan sebagai benteng pertahanan laut. Di Ternate saja sekurang-kurangnya terdapat lima benteng, Tidore satu benteng, di Bacan, Ambon, dan Banda.

Pendatang yang terakhir, dan pada akhirnya menjadi pemenang di antara yang bertikai tersebut adalah Belanda dengan kongsi dagangnya Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC. Selain membangun benteng di Ambon, bangsa ini juga berhasil menguasai benteng-benteng yang dibangun oleh Portugis dan Spanyol.

Negara Kepulauan

“Niatan” bangsa bahari ini untuk membangun sebuah negara kepulauan sudah tampak sejak masa Kerajaan Siŋhasāri di bawah pimpinan Raja Kĕrtanāgara. Dalam Prasasti Cāmundi, raja ini menuliskan niatnya hendak menyatukan seluruh dwipāntara. Tindakan ini dilakukan untuk menahan ekspansi tentara Mongol yang hendak meluaskan wilayah hingga ke Nusāntara.

Setelah Kerajaan Siŋhasāri, rupa-rupanya niatan membentuk sebuah negara kepulauan memakan waktu yang panjang. Kerajaan-kerajaan maritim yang pernah hadir di Nusāntara ini belum mampu untuk mewujudkannya. Kerajaan-kerajaan itu hanya sebatas menguasai, tetapi tidak dapat memeliharanya. Ketika penguasanya jatuh, maka kerajaannya menjadi hancur cerai berai.

Ratusan tahun sudah berlalu sejak Kĕrtanāgara dengan “wawasan” dwipāntara-nya dicetuskan. Bahkan sampai terbentuknya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, laut di antara pulau adalah laut bebas yang dapat dilalui seenaknya oleh kapal asing. Kemudian pada tanggal 13 Desember 1957, secara sepihak Perdana Menteri Ir. H. Djoeanda mendeklarasikan bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan dan laut di antara pulau termasuk dalam wilayah Republik Indonesia (bukan laut bebas). Deklarasi ini tentu saja membuat “marah” negara lain.

Deklarasi Djoeanda 1957 kemudian dikemukakan pada Konferensi Hukum Laut I tahun 1958 di Jenewa, Swiss. Perjuangan untuk menuju pengakuan internasional masih panjang. Dengan diprakarsai Perserikatan Bangsa-bangsa, pada tahun 1982 ditandatangani Hukum Laut Internasional oleh 119 negara perserta. Konvensi ini disebut United Nation Convention on Law of the Sea (Unclos 1982) yang mewadahi dan mengatur Negara Kepulauan (Archipelagic State). Konvensi ini berlaku efektif tanggal 16 November 1994 ketika lebih dari 60 negara meratifikasi. Indonesia meratifikasi Unclos 1982 melalui UU No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut).

Selanjutnya, atas perjuangan Menteri Luar Negeri Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dicetuskanlah konsep Wawasan Nusāntara. Wawasan Nusāntara mencakup perwujudan Nusāntara sebagai suatu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan budaya dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan. Semua laut dalam (laut di antara pulau di Nusāntara) yang dengan ketentuan 12 mil merupakan laut bebas, tidak lagi menjadi laut internasional tetapi sebagai laut pedalaman yang termasuk sebagai kawasan laut teritorial dari suatu negara kepulauan.

Limapuluh delapan tahun sudah Indonesia menjadi Negara Kepulauan (Archipelagic State), dan untuk menuju ke arah itu tidaklah mudah. Perlu waktu, tenaga, dan pikiran yang menguras tenaga. Perjalanan sejarah Indonesia yang panjang dengan kejadian-kejadian sejarah, merupakan pengalaman yang berharga. Bukan hanya sekedar untuk kebanggaan semata, karena kebanggaan itu membuat kita sombong dan akhirnya terlena dengan kisah sejarah. Tugas kita sekarang adalah bagaimana kita memelihara dan mempertahankan Negara Kepulauan ini. Untuk kesejahteraan masyarakat, bagaimana kita menolong kehidupan nelayan dari MENCARI ikan menjadi MENANGKAP ikan.