Oleh Bambang Budi Utomo

Tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar masyarakat di Indonesia hanya mengetahui bahwa bangunan-bangunan candi dengan keindahan hiasannya hanya ditemukan di Jawa, khususnya Jawa Tengah. Kata siapa itu? Pada kenyataannya, tidak banyak orang yang tahu bahwa di Sumatera juga terdapat bangunan candi yang keindahannya tidak kalah dengan candi di Jawa. Di daerah tepian sungai Lematang, di suatu tempat yang termasuk wilayah Desa Bumi Ayu (Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Provinsi Sumatera Selatan) ditemukan runtuhan bangunan bata.

Keberadaan situs Bumiayu pertama kali telah dilaporkan oleh E.P. Tombrink (1870) pada tahun 1864 dalam Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang. Dalam kunjungannya ke Lematang Ulu telah dilaporkan adanya peninggalan-peninggalan Hindu berupa arca dari trasit berjumlah 26 buah, di antaranya berupa arca Nandi. Sedang di Lematang Ilir ditemukan runtuhan candi dekat Dusun Tanah Abang, dan sebuah relief burung kakaktua yang sekarang disimpan di Museum Nasional (Soejatmi 2001). Selanjutnya tinggalan arkeologi dari situs tersebut telah dila_porkan oleh seorang kontrolir Belanda bernama A.J. Knaap (1904). Dikatakan bahwa di wilayah Lematang ditemukan sebuah runtuhan bangunan bata setinggi 1,75 meter, dan dari informasi yang diperolehnya bahwa reruntuhan tersebut merupakan bekas keraton Gedebong-Undang.

D.K Bosch (1930: 133-157) dalam Oudheidkundig Verslag menyebutkan bahwa di Tanah Abang ditemukan sudut bangunan dengan hiasan mahluk gana dari terrakota, kemuncak bangunan, antefiks, arca Brāhma, lingga, dan sebuah arca tanpa kepala. Pada tahun 1936 F.M. Schnitger telah menemukan tiga buah reruntuhan bangunan bata yang sudah rusak, arca Śiwa, dua buah kepala kāla, pecahan arca singa dan sejumlah bata berhias burung. Artefak-artefak yang dibawa Schnitger (1937) kini sebagian disimpan di Museum Balaputradewa dan sebagian lagi di Museum Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Palembang.

Pada Tahun 1973 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan Museum Universitas Pennsylvania, Amerika mengadakan penelitian di situs Bumiayu (Bronson dkk 1973). Pada penelitian tersebut telah ditemukan tiga buah runtuhan bangunan yang dibuat dari batu bata. Tim penelitian dari Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (sekarang Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) pada tahun 1976 telah melakukan survei, dan dilaporkan bahwa di situs tersebut terdapat tiga buah runtuhan bangunan (Surjanto 1984: 31-63).

Situs Percandian Bumiayu yang luasnya sekitar 15 hektar (lokasi yang dibatasi oleh parit keliling) hingga penelitian tahun 2002 terdiri dari 11 buah gundukan tanah. Beberapa gundukan tanah di antaranya telah dibuka dan berhasil ditampakan (runtuhan) bangunan yang dibuat dari bahan bata. Bangunan-bangunan candi yang ditemukan di Desa Bumiayu hanya sebuah (Candi 1) terletak di tengah desa, sedangkan (runtuhan) bangunan lainnya ditemukan di tepi desa dan di tengah kebun karet penduduk. Tiga buah bangunan telah selesai dipugar dan diberi cungkup (Candi 1, Candi 2, Candi 3, dan Candi 8).

Selain runtuhan bangunan, ditemukan juga arca-arca batu dan logam. Sebagai indikator pemukiman, ditemukan juga pecahan-pecahan tembikar dan keramik dari masa dinasti Song dan Yuan (abad ke-11-13 Masehi). Temuan penting yang lain adalah selembar kertas emas yang bertulisan //om yam// (Soekarto 1993: C6 3-5). Sisa pemukiman tersebut sebagian besar ditemukan di tepian sungai Lematang. Pada dinding sungai tampak melekat artefak-artefak tersebut.

Karya Seni

Bangunan Candi 1 yang telah selesai dipugar denahnya berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,21 x 10,47 meter dan tangga naiknya terdapat di sisi timur. Hiasan yang terdapat di sisi kiri dan kanan tangga naik berupa hiasan kereta yang ditarik oleh singa. Di bagian depan tangga naik terdapat sisa bangunan yang disebut regol (pavilyun). Dari runtuhan bangunan Candi 1 ditemukan lima buah arca, yaitu arca Śiwa Mahādewa, Agastya, arca gajasimha, dua buah arca tokoh tanpa atribut kedewaan, dan arca nandi.

Bangunan Candi 3 merupakan sekelompok bangunan yang terdiri dari sebuah candi induk dan tiga buah candi perwara yang masing-masing terletak di utara, timur, dan selatan. Berdasarkan keletakan tangga naiknya, bangunan candi induk menghadap ke arah timurlaut. Berbeda dengan candi lainnya, bangunan utama Candi 3 bagian badannya berdenah segi delapan yang berdiri di atas kaki bangunan yang berdenah bujursangkar. Dari runtuhan bangunan Candi 3 ditemukan fragmen kepala arca yang berwajah raksasa (ugra), arca wanita berbentuk torso yang memakai kalung berupa untaian tengkorak, arca perempuan yang memegang ular, serta beberapa arca binatang yang berupa singa, buaya, anjing, dan ular.

Kedua bangunan candi tersebut membuktikan kepada kita bahwa ada sekelompok masyarakat di Sumatera Selatan telah dapat menghasilkan sebuah karya seni yang tinggi. Arca-arca dewa dari bahan batu putih yang ditemukan pada Candi 1 menunjukkan suatu karya seni pahat yang tinggi. Penggambaran secara rinci perhiasan yang dikenakan pada arca tersebut membuktikan hal itu. Penggambaran rinci hiasan pada arca dapat dimungkinkan karena jenis batunya yang mudah dibentuk.

Pada Candi 3 sebuah karya seni yang tinggi tampak pada pembuatan relief dari terrakota yang cukup rinci. Relief tersebut menggambarkan hiasan kāla dan makara yang ukurannya cukup besar dengan hiasan yang kaya. Namun sayangnya, karya seni terrakota ini kurang dibarengi dengan teknologi pembakaran. Banyak relief yang hancur karena kurang matangnya dalam proses pengeringan dan pembakaran. Rupa-rupanya, ketika dalam proses pembakaran bagian dalam relief tersebut belum cukup kering untuk dibakar. Akibatnya, bagian dalamnya mudah hancur karena misih mentah.

Tidak Teratur

Bangunan Candi 8 bentuk denahnya sangat berbeda dengan bangunan candi lain yang ada di kompleks percandian Bumiayu. Pada candi lain mempunyai tangga naik yang umumnya ditemukan di sisi timur, namun pada bangunan Candi 8 indikator tangga naik tidak ditemukan. Bentuk denahnya empat persegi panjang tanpa penampil. Di bagian atas dua lapis bata yang terakhir, terdapat sebuah profil bingkai mistar dan pada lapisan yang keempat, hampir seluruhnya diisi dengan relief bunga-bungaan. Di atas relief tersebut terdapat tiga susun bata yang membentuk bingkai polos selanjutnya diteruskan dengan bingkai sisi genta. Di bagian atas bingkai sisi genta itu diteruskan dengan bingkai mistar masuk ke dalam selanjutnya berkembang menjadi lantai bagian atas. Dilihat dari bentuknya yang sangat sederhana tersebut, timbul suatu kesan bahwa bangunan Candi 8 bukanlah bangunan candi (sakral) melainkan bangunan mandapa atau mungkin juga bangunan profan.

ririfahlen/bpcbjambi

Secara keseluruhan hiasan bangunan Candi 8 hanya terdiri dari relief bunga dalam bentuk ceplok bunga dan sulur-suluran. Hiasan-hiasan tersebut ditemukan pada bingkai datar 4 lapis di atas fondasi. Secara sepintas memberi kesan bahwa hiasan tersebut merupakan satu kesatuan. Namun demikian apabila diperhatikan ternyata hiasan-hiasan itu merupakan penggabungan dari sejumlah panil yang dilakukan secara acak sehingga tidak simetris. Atas dasar bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa Candi 8 yang tampak sekarang merupakan bangunan yang telah mengalami perubahan secara total dan bahkan cenderung sangat jauh menyimpang dari desain awalnya. Beberapa panil hiasan bahkan dipasang dalam posisi terbalik dengan bidang hiasan di bagian belakang atau samping, sedangkan bidang polosnya justru diletakkan pada bagian depan. Banyak pula dari hiasan itu dipasang di bagian samping. Lebih dari itu, terdapat pula beberapa hiasan yang tampaknya disusun secara tergesa-gesa atau asal pasang sehingga antara bidang yang satu dengan bidang yang lain tidak sesuai. Gejala yang demikian memperlihatkan bahwa bata-bata yang digunakan untuk membangun bangunan ini diambil dari tempat lain atau dari bangunan lain yang telah jadi atau mungkin juga bangunan yang diambil batanya itu telah tidak lagi berfungsi. Apabila hal yang kedua yang terjadi, maka mungkin sekali bahwa perubahan bentuk atau denah bangunan tersebut berlangsungnya jauh dari masa yang kemudian.

Tantrisme

Ada bangunan suci, tentu ada ajaran yang dianut oleh kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi bangunan itu. Ajaran apa yang dianut oleh kelompok masyarakat di Desa Bumiayu pada masa lampau? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan melihat arca yang ditemukan di runtuhan bangunan suci tersebut. Pada Candi 1 ditemukan arca-arca dewa Hindu, seperti arca Śiwa dan Agastya. Para pakar telah sepakat bahwa berdasarkan gaya seninya, arca-arca tersebut berasal dari sekitar abad ke-9-10 Masehi. Dari petunjuk ini dapat diketahui bahwa pada sekitar abad tersebut, ada kelompok masyarakat penganut ajaran Hindu yang melakukan pemujaan di candi Bumiayu.

Pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu, khususnya Śiwa berlangsung hingga sekitar abad ke-10 Masehi. Setelah itu, kemudian mulai masuk ajaran lain yang mengarah kepada pemujaan Tantra. Gejala ini ditandai dengan bukti prasasti yang “bernuansa” tantra yang ditemukan di tepi sungai Lematang. Aliran ajaran ini kemudian berkembang di Bumiayu pada sekitar abad ke-12-13 Masehi, dan tera_khir pada abad ke-13 Masehi yang ditandai dengan adanya arca Camundi dan arca singa yang menarik kereta mulai masuk pemujaan Tantrisme dari Orissa (India) dan Singhasāri.

Pemanfaatan

Di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, di desa Tugumulyo dekat perbatasan Provinsi Lampung terdapat perkampungan transmigrasi asal Bali. Mereka berkumpul membentuk satu komunitas Bali dengan alasan untuk memudahkan dalam penyelenggaraan upacara religi. Upacara biasanya diselenggarakan di dalam lingkungan satu desa atau banjar dengan satu kompleks pura. Tetapi kadang-kadang komunitas Bali dari desa transmigran ini melakukan semacam wisata religi dengan mengunjungi tinggalan-tinggalan budaya sisa bangunan suci. Para transmigran Bali ini percaya bahwa sebuah tinggalan bangunan suci, baik itu bangunan suci Hindu atau Buddha, mempunyai nilai kesakralan yang tinggi. Di tempat itu mereka dapat melakukan upacara.

Di kompleks percandian Bumiayu, komunitas masyarakat Hindu-Bali pada waktu-waktu tertentu melakukan upacara. Lokasi yang dipilih untuk melakukan upacara mengambil halaman Candi 3, karena halamannya merupakan lapangan rumput yang luas. Di samping itu, menurut pemuka adat Bali yang ikut dalam rombongan, candi itu mempunyai “nilai magis” yang tinggi jika dibandingkan dengan candi lain di Bumiayu. Dalam upacara yang kebetulan saya saksikan sendiri, sang Pedanda memimpin upacara di dekat dinding bangunan, sedangkan umatnya duduk bersimpuh di lapangan rumput yang tidak bertenda. Demikian upacara berlangsung dengan khitmat hingga selesai.

Berdasarkan pengamatan saya, penerimaan masyarakat lokal Bumiayu terhadap kedatangan masyarakat Hindu-Bali untuk melakukan upacara sangat baik. Dengan adanya aktivitas kegiatan upacara ini, masyarakat lokal banyak diuntungkan. Masyarakat lokal dapat berjualan penganan dan minuman walaupun hanya berlangsung satu hari itu saja. Dengan demikian, dari segi akidah keagamaan tidak ada masalah. Semoga kondisi seperti ini dapat tetap terpelihara dengan baik, dan fihak pemerintah dapat memfasilitasinya (BBU, Kerani Rendahan).

Kepustakaan:

Bosch, F.D.K., 1930, “Verslag van een Reis door Sumatra”, dalam OV 1930 Bijlage C. hlm 133-157.

Bronson, Bennet, dkk., 1973, Laporan Penelitian Arkeologi di Sumatera. Jakarta: Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Bronson, Bennet dan Jan Wisseman, 1973, “An archaeological survei in Sumatera, 1973”, dalam Sumatera Research Bulletin 4 (1): 87-94.

Knaap, A.J. 1904. “ Rapport van den Controleur der onderafdeeling Lematang Ilir van de in de Lematang streek tuschen Benakat en Modong aan getroffen oudheden”, NBG 42 Bijlage V.

Schnitger, F.M., 1937, The Archaeology of Hindoo Sumatra. Leiden: E.J. Brill

Soekarto Karto Atmodjo, M.M., 1993, “Om yam”, dalam Kadatuan Sriwijaya dalam Perspektif Sejarah dan Arkeologi, hlm. C6-3—5. Palembang: Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Sumatra Selatan.

Soejatmi Satari, 2001, “Sebuah situs Hindu di Sumatra Selatan: Temuan kelompok candi dan arca di Bumiayu”. Makalah dalam Seminar 25 tahun Kerjasama Perancis di Bidang Penelitian Kebudayaan di Asia Tenggara Kepulauan, Palembang, 16-18 Juli 2001.

Surjanto, D. Dkk, 1984, “Hasil Survei Kepurbakalaan di Daerah Sumatera Selatan”, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 2 hlm. 31-63. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Tombrink, E.P., 1870, “Hindoe-monumenten in de Bovenlanden van Palembang als Bron van Geschiekundig Onderzoek” dalam TBG XIX.