Akhirnya tim arkeologi memperoleh konteks batu gajah dari lokasi yang ditunjukkan Basri. Batu gajah itu berasosiasi dengan empat batu bear yang mengelilinginya. Van der Hoop menyebut konfigurasi batu semacam itu dengan istilah tetralit (tetraliths). Selain di dataran tinggi Pasemah, peneliti itu menjumpai tetralit pada situs-situs megalitik di wilayah Jawa Barat
dan Jawa Timur.
Belum jelas benar fungsi tetralit itu bagi sebagian arkeolog. Ada yang menjelaskan batu-batu itu berfungsi sebagai umpak bangunan rumah bertiang kayu. Boleh jadi tetralit dan batu gajah di Situs Kota Raya secara kontekstual dapat ditafsirkan sebagai media pemujaan roh nenek moyang, seperti halnya arca menhir. Selain batu gajah di situs itu terdapat sejumlah tetralit lainnya, dolmen, batu datar, rumah batu, lesung batu dan menhir.

Van der Hoop menafsirkan pahatan arca batu gajah di Situs Kota Raya menggambarkan seorang prajurit menyandang nekara dan pedang akan pergi berperang dengan menunggang gajah (1932:158). Nekara ditafsirkan sebagai kettle-drum, lebih spesifik lagi : genderang perang!. Artinya, nenek moyang mereka dulu ada yang menjadi prajurit pasukan gajah.
Spekulasi tentang prajurit pasukan gajah di dataran tinggi sempat menjadi diskusi yang ramai di dalam tim arkeologi. Apakah pasukan gajah itu berasal dari masa ribuan tahun yang lalu? Selama ini mash berlaku teori tentang megalitik tua dan megalitik muda yang disampaikan oleh sarjana Jerman, Von Heine Geldern pada tahun 1945. Arca-arca batu gajah dan pahatan hewan lainnya seperti kerbau, harimau, ular, kera dan babi hutan yang terdapat di dataran tinggi Besemah dikelompokkan dalam megalitik muda (2500 tahun), sedangkan peninggalan menhir, dolmen, teras berundak masuk kelompok megalitik tua (4500 tahun) (Kusumawati dan Haris Sukendar,2003).


Apakah pasukan gajah itu berasal dari Dongson, Vietnam, ditilik dari bentuk nekara perunggu dan tipe pedang yang disandangnya? Tradisi megalitik Pasemah tampaknya terus berlanjut sampai masa sejarah dan tumpang tindih dengan masa Sriwijaya. Kronologi situs-situs megalitik Pasemah memang mash gelap, Sampai sat ini analisis pertanggalan mutlak (absolute
dating) belum memadai diterapkan pada situs-situs megalitik Pasemah, khususnya pada batu-batu gajah.
Tradisi megalitik Pasemah yang terus berlanjut itu menimbulkan spekulasi dalam menafsirkan bat gajah. Ide liar pun bergulir: Kerajaan Sriwijaya memiliki prajurit pasukan gajah mengingat domestikasi gajah telah berlangsung lama di dataran tinggi Pasemah sebelum munculnya Sriwijaya. Kerajaan maritim itu pernah berpusat di Palembang pada akhir abad VII Masehi dan mash berlangsung keberadaannya di wilayah Sumatera Selatan hingga abad XIlI Masehi. Jalur transportasi tradisional yang menghubungkan antara Palembang – dataran tinggi Besemah adalah Sungai Musi dan Sungai Lematang.
Mungkin karena banyak spekulasi penafsiran Batugajah Situs Kota Raya, yang membuat van der Hoop memboyong pahatan hewn mamalia darat terbesar itu ke Palembang. Sarjana Belanda itu memberi kesempatan kepada para ahli bangsa in untuk mengungkap peradaban masa lalu Pasemah melalui batu gajah itu. “
Bagi kami gajah melambangkan kebesaran Jagat Besemah pada masa lalu. Gajah juga hewan yang bisa menolong manusia”, kata Kasim memaknai batugajah hasil karya para leluhur. Sementara itu tim arkeologi tidak berhasil menjumpai gajah hidup seekorpun di dataran tinggi Pasemah.

(artikel ini ditulis oleh Nurhadi Rangkuti, disadur dari tulisan yang berjudul “Mancari Gajah-Gajah Pasemah”, yang telah dipublikasikan dalam buku “Megalitik Pasemah, Warisan Budaya Penanda Zaman”)