Sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1932 oleh Van der Hoop dengan judul “Megalithic Remains in Sumatra”. Buku itu memberikan suatu perspektif baru dan menolak berbagai hipotesa dan teori sebelumnya yang menganggap bahwa peninggalan arkeologi yang terdiri atas pahatan-pahatan terhadap batu-batu besar, arca batu, dan gambar-gambar yang tertera dalam bilik-biliki batu di tanah Pasemah, Sumatera bukan merupakan tinggalan dari masa Hindu. Perspektif yang dilontarkan Van der Hoop (1930-1931) merupakan hasil penelitian yang sistematis dan cermat dan kemudian ia sampai pada kesimpulan bahwa peninggalan arca batu di dataran tinggi Pasemah adalah merupakan peninggalan tradisi megalitik. Akhirnya perdebatan dan sepekulasi yang berkembang sejak tahun 1850 dianggap selesai. Tapi bukan berarti karya-karya penelitian Ullman, Tombrink dan Westenenk tidak memberikan sumbangan apa-apa terhadap penelitian selanjutnya. Justru menjadi pendorong dan inspirasi bagi para peneliti kemudian untuk mempelajari lebih lanjut megalitik Pasemah.
Di tahun 1936 atau 4 tahun setelah buku Van der Hoop terbit, dilaporkan oleh C.W Schuler mengenai penemuannya di salah satu kubur bilik batu di kampung Jarai, yaitu adanya gambar-gambar dan lukisan yang terpangpang di balik dinding-dinding kamar bilik batu tersebut. Dari laporan itu, kemudian banyak peneliti tertarik mengunjungi Sumatra Selatan untuk meneliti tentang karya seni purba itu. Salah satunya adalah Frederic Martin Scnitger dengan sejumlah tulisannya diantaranya “Prehistoric Monuments in Sumatra”, lalu terbit pula bukunya (1938) dengan judul “Een Olifantsbeeld uit Zuid-Sumatra”, yang membahas mengenai arca gajah yang memiliki hubungan dengan upacara megalitik dan pemenggalan kepala (mengayau) di pulau Nias.
Ternyata megalitik Pasemah memiliki daya tarik yang begitu kuat dikalangan peneliti prasejarah. Di penghujung tahun 1945 muncul Von Heine Geldern yang menyebutkan peninggalan megalitik Pasemah dengan istilah “strongly dynamic agitated”, terutama ditujukan pada peninggalan yang berbentuk arca dan pahatan. Hal yang penting dalam tulisan itu, tidak hanya pada aspek bentuk dan gaya maupun tipe peninggalan megalitik Pasemah, tetapi memaparkan hipotesa baru dengan memberikan dasar kuat tentang migrasi awal bangsa Austronesia yang tiba di daratan tinggi Pasemah Sumatra. Pendapat ini kemudian menjadi pemikiran peneliti lainnya, karena belum pernah disinggung sebelumnya. Walau telah diteliti oleh berbagai ahli, peradaban megalitik Pasemah masih juga menyisakan sejumlah pertanyaan di benak para peneliti Indonesia, sehingga penelitian-penelitian arkeologi tetap dilakukan terutama untuk menambah data dan memperjelas kedudukan budaya Pasemah dalam konteks prasejarah Sumatra dan Nusantara pada umumnya. Para peneliti Indonesia yang pernah terlibat secara langsung dan mengkaji secara dalam tentang budaya megalitik Pasemah seperti R.P Soejono, Teguh Asmar, Haris Sukendar, Bagyo Prasetyo dan Kristantina Indriastuti dari Balai Arkeologi Palembang.
Ketertarikan terhadap misteri megalitik Pasemah, tampaknya belum juga surut, terbukti lahirnya sebuah Disertasi di akhir tahun 2015 yang ditulis oleh Rr. Triwurjani dengan judul “Arca-arca Megalitik Pasemah, Sumatera Selatan berdasarkan Kajian Semiotik”. Menurutnya, bahwa penggambaran arca Pasemah, tidak begitu natural tapi jelas menyiratkan individu manusia dengan komponen-komponen kepala, badan, tangan dan kaki yang digambarkan secara jelas dalam pengarcaan. Cara yang dipakainya dalam mendekati topik yang dipilihnya memakai metode arkeologi, tetapi ketika ia memasuki ranah makna maka diperlukan metode semiotik. Demikian penuturannya yang disampaikan secara lugas di hadapan para Profesor penguji di hadapan sidang akademik Universitas Indonesia.
Barangkali ada baiknya juga, kita tengok pendapat atau tinjauan peneliti lain yang dilakukan dengan pendekatan kebumian (geologi). Suatu artikel yang membicarakan peninggalan megalitik Pasemah yang ditulis di dalam buku “Ekspedisi Bukit Barisan” yang diterbitkan oleh Gramedia (2011). Walau artikel itu disampaikan dengan bahasa ilmiah popular, namun menarik dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk melakukan penelitian arkeologi dengan pendekatan geo-arkeologi melalui aspek kegunungapian (vulkanologi), karena lingkungan alam Dataran Tinggi Pasemah merupakan kawasan gunung api yang memiliki latar sejarah yang panjang tentang gunung api purba yang hingga kini masih perlu diwaspadai. Peristiwa-peristiwa letusan gunung api di masa lampau yang sezaman dengan periode arkeologi pasemah, belum pernah disentuh dan mungkin sulit dipungkiri adanya hubungan antara kehidupan manusia di masa lampau.
Tulisan itu, kami anggap sebagai data banding (komparasi), karena merupakan suatu bentuk kajian di luar ilmu arkeologi yang dilakukan oleh seorang geolog dan dapat kita sebut ilmu perbatasan (geologi dan arkeologi). Walau data-data yang dikemukakan adalah terbatas pada pengamatan terhadap tinggalan yang terdapat di permukaan tanah di sekitar wilayah Lahat dan Kota Pagar Alam, tetapi menurut hemat penulis data itu dapat dijadikan referensi untuk kajian arkeologi yang akan datang untuk rekonstruksi kehidupan manusia dan budaya di Daratan Tinggi Pasemah.
Dari hasil observasi geologi, diduga bahwa Gunung Dempo dijadikan kiblat bangunan suci masyarakat megalitik Besemah. Gunung, terutama gunung api aktif, di wilayah nusantara umumnya selalu menjadi tempat yang sakral atau disucikan. Gunung api yang berbentuk kerucut yang puncaknya menjulang tinggi menggapai langit, dipercaya sebagai tempat para dewa, atau bahkan perwujudan dari dewa itu sendiri. Sesembahan selalu diberikan pada kawah-kawah gunung api aktif. Misalnya pada masyarakat Hindu Bali. Hingga sekarang, orang-orang bali selalu menempatkan arah pura ke arah gunung besar utama. Misalnya di Pulau bali sendiri ke arah Gunung Agung. Bahkan, orientasi posisi gunung selalu merupakan arah utara (kaja) bagi masyarakat Hindu Bali. Begitu juga pada masyarakat Hindu Tengger, yaitu melemparkan sesajen dan hewan-hewan kurban pada Hari Kesodo ke kawah Gunung Bromo yang bergelok dan selalu berasap. Di Jawa Barat, di kabupaten Cianjur, sebuah bangunan megalitik yang tersusun dari kalom- kolom batu, juga diarahkan ke puncak Gunung Gede, gunung yang memang dianggap sakral bahkan hingga Kerajaan Sunda dan Pajajaran berkuasa di Jawa bagian barat.
Secara geologis, gunung api yang sedang tidak aktif memberi manfaat besar bagi masyarakat yang hidup di kaki-kakinya. Tanahnya umumnya subur karena limpahan dari letusan memberikan unsur-unsur kimia baru yang segar dari perut bumi. Hal ini menjadikan tanah yang terbentuk nantinya kaya akan unsur yang diperlukan bagi tumbuhan. Selain itu, karena puncaknya yang tinggi, gunung api juga seolah-olah menjadi seperti magnet untuk awan-awan sehingga mendekat dan mencurahkan hujan di atasnya. Akibatnya, sumber daya air melimpah ruah dari badan gunung api. Mata air akan keluar di kaki-kakinya. Sungai-sungai berair bersih mengalir dari lereng-lerengnya, selain panorama yang asri juga menghembuskan udara yang nyaman dan sejuk.
Tetapi ketika aktif, letusannya sangat mengerikan dan mengancam kehidupan. Ledakannya menggelegar luar biasa, menciutkan nyali para penghuni di bawahnya. Magma, berupa cairan batu pijar bersuhu sekitar 1000 °C, ketika diletuskan menciptakan suatu fenomena kembang api yang sesungguhnya indah tapi mengerikan. Aliran magma yang kemudian merayapi lembah-lembah ke arah hilir sebagai aliran lava, masih bisa menghanguskan apa yang dilewatinya dengan suhu masih 700 °C. Belum lagi aliran yang sangat cepat awan panas yang menerjang lereng masih bersuhu 500 °C. Tidak akan ada yang dapat selamat dari gunung api yang sedang murka ini. Personifikasi sebagai dewa yang di satu waktu begitu pemurah dan di waktu yang lain menunjukkan angkara murkanya, mungkin akhirnya membuat masyarakat megalitik menganggap gunung api sebagai representasi yang maha kuasa, yang selain memberi berkah, juga sekaligus musibah.
bersambung…
(artikel ini ditulis oleh Nasruddin, disadur dari tulisan yang berjudul “MENGURUS TAMAN MEGALITIK PASEMAH DALAM KONTEKS KEKINIAN”, yang telah dipublikasikan dalam buku “Megalitik Pasemah, Warisan Budaya Penanda Zaman”)