Bagi masyarakat setempat yang tinggal di dataran tinggi pedalaman di Lahat, Sumatera Selatan, maupun di kota Pagar Alam,Provinsi Sumatera Selatan, panorama bongkahan-bongkahan batu berukir berbagai bentuk piguratif, susunan lempengan batu persegi yang dipendam dalam tanah, atau batu-batu besar yang disanggah dengan batu ukuran lebih kecil, merupakan pemandangan yang biasa saja. Setiap hari mereka melihat karya purba tersebut di pematang sawah, tergolek di tengah perkampungan, maupun di semak rimbunnya tanaman kopi. Berbeda halnya bagi para pendatang, lebih-lebih bagi para peneliti.

ririfahlen/bpcbjambiOnggokan batu-batu itu adalah sesuatu benda yang unik yang mengundang rasa ingin tahu, bahkan dari itu. Seperti misalnya saat mengunjungi Kampong Tanjung Aro. dengan Rumah-rumah panggung mereka dengan konstruksi kayu ulin yang saling berdempet memberi kesan yang hangat, tapi terasa lengang karena mereka penghuninya pada di tengah sibuk di ladang. Ketika mencoba mengintip rumah bilik batu yang terletak di sela-sela tiang rumah panggung tersebut, suasana makin mistis dan sendu dengan udara lembab. Bangunan batu yang disusun dari lempengan-lempengan batu putih itu membentuk ruang persegi empat.

Masuk ke dalamnya bagaikan menyusuri lorong waktu bertualang menjelajah ke masa ribuan tahun silam. Dengan menggunakan penerangan senter, samar-samar goresan dan gambar mulai tampak pada sisi-sisi lempengan dinding batu. Kamera mencoba merekam semua gambar yang semakin pudar dan usang digerogoti usia.

Apa sebenarnya yang melatari masyarakat prasejarah dahulu membangun rumahnya dalam tanah. Adakah untuk tempat persembunyian dari gunung berapi yang maha dahsyat, ataukah berarti kuburan yang dipersiapkan sebagai rumah keabadian di dunia arwah. Bangunan-bangunan batu besar ini patut dicatat sebagai saksi sejarah zaman keemasan megalitik yang terletak di Bumi Besemah Sumatera Selatan, yang dahulu lebih popular dengan nama “Pasemah”.

Pada era sebelum kemerdekaan wilayah Lahat dan Pagar Alam dikenal dengan nama Dataran Tinggi “Pasemah”. Nama ini dahulu diperkenalkan oleh para peneliti asing terutama orang-orang Belanda. Tapi di era otonomi ini, masyarakat ingin meninggalkan nama itu, karena menurutnya nama “Pasemah” adalah salah dalam pengucapan dan tulisan. Kata yang tepat menurut sastra lisan yaitu “Besemah”. Konon kata “Besemah” berasal dari kata “Semah” yang berarti nama seekor ikan yang hidup di sepanjang aliran
hulu Sungai Lematang dahulu. Dan kata “Be” merupakan penekanan untuk menunjukkan banyaknya ikan Semah.

Bagi masyarakat di luar lingkungan Pagar Alam dan Lahat, terjadinya perubahan nama “Pasemah” menjadi “Besemah” tidaklah penting, tetapi ada cerita apa di balik kepopuleran nama tersebut. Karena jauh sebelum adanya pemekaran menjadi Kabupaten Lahat sendiri, Kota Pagar Alam dan Empat Lawang, telah banyak peneliti asing berdatangan menelusuri misteri peninggalan batu-batu besar baik yang tersingkap dipermukaan tanah maupun yang terpendam dalam tanah.

(ditulis oleh: Nasruddin, artikel ini telah dipublikasikan dalam buku “Megalitik Pasemah, Warisan Budaya Penanda Zaman”)

bersambung…