Kongres IAAI dan PIA VII : Arkeologi Indonesia di Persimpangan Jalan

0
1858
BPCB Jambi

Kliping koran ini berjudul “Kongres IAAI dan PIA VII : Arkeologi Indonesia di Persimpangan Jalan“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Surat Kabar Kompas terbitan tanggal 15 Maret 1996. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Jambi.

BPCB jambi

Cipanas, Kompas

Paradigma dan tujuan arkeologi Indonesia yang dalam aplikasinya di­harapkan dapat memberi kontribusi pembangunan bangsa, kenyataan­nya masih seperti di balik menara gading. Kondisi inilah yang membuat arkeologi Indonesia berada di persimpangan jalan.

“Gugatan” terhadap keberadaan disiplin arkeologi oleh kalangan arkeolog sendiri masih terus bergulir di hari ketiga Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi (FIA) VII, Ka­mis (14/3), di Cipanas (Jawa Barat).

Pertemuan hari itu antara lain membahas masalah pengamanan dan konservasi, serta perlu tidaknya reorientasi strategi peneliti­an arkeologi Indonesia di masa datang. Se­dangkan dari arena kongres, malam harinya dilakukan pleno mengenai perumusan hasil pembahasan sidang-sidang komisi IAAI, di antaranya menyangkut masalah etika pro­fesi kearkeologian.

Arkeologi terapan

Nurhadi Rangkuti dari Balai Arkeologi Yogyakarta mengibaratkan arkeologi Indo­nesia seperti keping uang logam. Di satu sisi memuat kajian arkeologi sebagai disiplin il­mu murni, di sisi lainnya memuat kajian yang bermanfaat bagi masyarakat. Ini ber­arti arkeologi Indonesia dituntut mampu mewadahi kebutuhan masyarakat, teruta­ma berkaitan dengan data dan informasi kesejarahan, seiring dinamika masyarakat yang terus berkembang akibat pengaruh globalisasi.

Perkembangan ilmu arkeologi di belahan bumi yang mengalami revolusi ilmiah, de­mikian Nurhadi Rangkuti, telah mempe­ngaruhi pula perkembangan arkeologi In­donesia. Pengaruh itu tidak saja mewarnai paradigma, teori, dan metodologi kajian arkeologi, tetapi juga pada tataran aplikasi­nya. Dalam kaitan inilah arkeolog muda lu­lusan FS-UI ini melihat dunia arkeologi di Tanah Air berada di satu titik yang disebut­nya tengah di persimpangan jalan.

“Perkembangan teori dan metode arke­ologi tidak diikuti oleh perkembangan kaji­an arkeologi terapan. Padahal di sinilah se­sungguhnya titik pertemuan yang lebih langsung antara arkeologi dan masyara­kat,” ujarnya.

Untuk itu, pengembangan kajian-kajian arkeologi terapan dinilai perlu di masa de­pan, terutama untuk mengakomodasi dina­mika masyarakat yang berorientasi pada data dan informasi. Ini sejalan dengan para­digma dan tujuan arkeologi Indonesia, yang aplikasinya diharapkan memberi sumbang­an bagi kegiatan pembangunan bangsa

“Oleh karenanya, beberapa pertanyaan yang perlu dijawab sebagai pekerjaan ru­mah adalah apakah arkeologi Indonesia te­lah berlandaskan pada problem oriented dan development oriented sejalan dengan dinamika masyarakat? Apa yang (sesung­guhnya) menjadi kebutuhan masyarakat terhadap arkeologi Indonesia? Apakah pa­radigma arkeologi Indonesia? Serta apakah paradigma arkeologi telah dapat menjawab tuntutan masyarakat?”

Sementara itu, mantan Dirjen Kebudaya­an Haryati Subadio menyayangkan masih banyaknya penemuan-penemuan arkeologi yang belum ‘terlaporkan’, sehingga tidak diketahui dunia internasional. Padahal, in­formasi semacam itu penting, karena mela­lui pelaporan tersebut diharapkan juga akan terjadi kemajuan pemahaman masya­rakat. Kendati demikian, manfaat positif informasi yang diberikan itu akan sangat bergantung pada jelas tidaknya penemuan, serta pembuktian yang sanggup diberikan.

Pembahasan disertasi

Kongres IAAI dan PIA VII di Cipanas juga ditandai pembahasan menarik — dan untuk pertama kali— mengenai disertasi arkeologi terpilih. Sejumlah disertasi arkeolog Indone­sia yang dibahas, di antaranya kaiya Prof Dr Soekmono (Candi, Fungsi dan Pengertian­nya: 1974) dan Prof Dr Hasan Muarif Am- baiy (L’art Funeraire Musulman en Irldon- esie des Origines au XIX Siecle Etude Epigra- phigue et Typolngique: 1984). Disertasi per­tama dibahas oleh Edi Sedyawati, sedangkan disertasi kedua dibahas Henri Chambert- Loir dari EFEO (Lembaga Penelitian Peran- cis untuk Timur Jauh). (ken)