Kliping koran ini berjudul “Kongres IAAI dan PIA VII : Arkeologi Indonesia di Persimpangan Jalan“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Surat Kabar Kompas terbitan tanggal 15 Maret 1996. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Jambi.
Cipanas, Kompas
Paradigma dan tujuan arkeologi Indonesia yang dalam aplikasinya diharapkan dapat memberi kontribusi pembangunan bangsa, kenyataannya masih seperti di balik menara gading. Kondisi inilah yang membuat arkeologi Indonesia berada di persimpangan jalan.
“Gugatan” terhadap keberadaan disiplin arkeologi oleh kalangan arkeolog sendiri masih terus bergulir di hari ketiga Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi (FIA) VII, Kamis (14/3), di Cipanas (Jawa Barat).
Pertemuan hari itu antara lain membahas masalah pengamanan dan konservasi, serta perlu tidaknya reorientasi strategi penelitian arkeologi Indonesia di masa datang. Sedangkan dari arena kongres, malam harinya dilakukan pleno mengenai perumusan hasil pembahasan sidang-sidang komisi IAAI, di antaranya menyangkut masalah etika profesi kearkeologian.
Arkeologi terapan
Nurhadi Rangkuti dari Balai Arkeologi Yogyakarta mengibaratkan arkeologi Indonesia seperti keping uang logam. Di satu sisi memuat kajian arkeologi sebagai disiplin ilmu murni, di sisi lainnya memuat kajian yang bermanfaat bagi masyarakat. Ini berarti arkeologi Indonesia dituntut mampu mewadahi kebutuhan masyarakat, terutama berkaitan dengan data dan informasi kesejarahan, seiring dinamika masyarakat yang terus berkembang akibat pengaruh globalisasi.
Perkembangan ilmu arkeologi di belahan bumi yang mengalami revolusi ilmiah, demikian Nurhadi Rangkuti, telah mempengaruhi pula perkembangan arkeologi Indonesia. Pengaruh itu tidak saja mewarnai paradigma, teori, dan metodologi kajian arkeologi, tetapi juga pada tataran aplikasinya. Dalam kaitan inilah arkeolog muda lulusan FS-UI ini melihat dunia arkeologi di Tanah Air berada di satu titik yang disebutnya tengah di persimpangan jalan.
“Perkembangan teori dan metode arkeologi tidak diikuti oleh perkembangan kajian arkeologi terapan. Padahal di sinilah sesungguhnya titik pertemuan yang lebih langsung antara arkeologi dan masyarakat,” ujarnya.
Untuk itu, pengembangan kajian-kajian arkeologi terapan dinilai perlu di masa depan, terutama untuk mengakomodasi dinamika masyarakat yang berorientasi pada data dan informasi. Ini sejalan dengan paradigma dan tujuan arkeologi Indonesia, yang aplikasinya diharapkan memberi sumbangan bagi kegiatan pembangunan bangsa
“Oleh karenanya, beberapa pertanyaan yang perlu dijawab sebagai pekerjaan rumah adalah apakah arkeologi Indonesia telah berlandaskan pada problem oriented dan development oriented sejalan dengan dinamika masyarakat? Apa yang (sesungguhnya) menjadi kebutuhan masyarakat terhadap arkeologi Indonesia? Apakah paradigma arkeologi Indonesia? Serta apakah paradigma arkeologi telah dapat menjawab tuntutan masyarakat?”
Sementara itu, mantan Dirjen Kebudayaan Haryati Subadio menyayangkan masih banyaknya penemuan-penemuan arkeologi yang belum ‘terlaporkan’, sehingga tidak diketahui dunia internasional. Padahal, informasi semacam itu penting, karena melalui pelaporan tersebut diharapkan juga akan terjadi kemajuan pemahaman masyarakat. Kendati demikian, manfaat positif informasi yang diberikan itu akan sangat bergantung pada jelas tidaknya penemuan, serta pembuktian yang sanggup diberikan.
Pembahasan disertasi
Kongres IAAI dan PIA VII di Cipanas juga ditandai pembahasan menarik — dan untuk pertama kali— mengenai disertasi arkeologi terpilih. Sejumlah disertasi arkeolog Indonesia yang dibahas, di antaranya kaiya Prof Dr Soekmono (Candi, Fungsi dan Pengertiannya: 1974) dan Prof Dr Hasan Muarif Am- baiy (L’art Funeraire Musulman en Irldon- esie des Origines au XIX Siecle Etude Epigra- phigue et Typolngique: 1984). Disertasi pertama dibahas oleh Edi Sedyawati, sedangkan disertasi kedua dibahas Henri Chambert- Loir dari EFEO (Lembaga Penelitian Peran- cis untuk Timur Jauh). (ken)