Hubungan Kerajaan di Bengkulu dengan Kerajaan Banten

Pangeran Muda atau Depati Bangsa Raja dari Kerajaan Silebar menyambut kedatangan Inggris dengan upacara kehormatan. Inggris menghadiahkan kepada Pangeran Muda 8 pucuk meriam yang terdiri dari 4 macam pucuk meriam kecil dan 4 pucuk meriam besar. Pangeran Raja Muda mengadakan suatu naskah perjanjian dengan Kompeni Inggris yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dalam arsip sejarah disebutkan pada Juli 1685
Inggris menandatangani perjanjian dengan pangeran Sungai Lemau dan Sungai Itam hingga mendapatkan pengiriman lada khusus dengan harga tetap sebesar 12 dolar per bahar (berat itu kemudian ditetapkan sebesar 560 pon). Dalam beberapa pertemuan selanjutnya pihak
Inggris memperoleh izin untuk mendirikan fasilitas penunjang di Bengkulu dan menjalin hubungan dagang dengan para penguasa Bengkulu. Perjanjian dengan Kerajaan Silebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan. Fasilitas pertama yang didirikan oleh Inggris di Bengkulu adalah benteng York di sekitar muara Sungai Serut, lalu pada 1713, dibangun benteng Marlborough (selesai 1719) yang hingga sekarang masih tegak berdiri. Sejak saat itu Ingris menamakan perusahaan dagangnya dengan nama Garnizun EIC (East India Company) di pantai barat Pulau Sumatera dikenal dengan nama The Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of
Sumatra (Dalip dkk, 1984:17).

ririfahlen/bpcbjambi

Dalam Laporan lisan Tsiely Godong, Menteri Banten dan Harkis Bali, mantan penerjemah
untuk orang Inggris mengenai keberadaan orang Inggris di Silebar dan Bengkulu, Sumatra Barat, 28 Januari 1696 yang telah diterjemahkan oleh tim Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), disebutkan bahwa di pertengahan abad ke-enam belas, bersama dengan seluruh kawasan pesisir barat Sumatra, Bengkulu menjadi pengekspor menarik perhatian negara tetangganya Banten, di seberang Selat Sunda. Menurut para sejarawan, Banten berhasil menguasai lada Sumatra demi meningkatkan sendiri ketika Sultan Hasanuddin (m. 1552-70) menikah dengan putri penguasa Inderapura dan dengan demikian menerima sebagai emas kawin seluruh kawasan pesisir di selatan. Kemudian, Tuan Pati Bangun Negara dan Bangsa Radin, masing-masing penguasa Redjang-Lebong dan Lemba Sungai Lemai dan Silebar, menerima gelar pangeran dari Sultan Banten. Hal ini terekam pada beberapa  cawan tembaga bertarikh 1668 (A.H.1079). Nampaknya, pengangkatan mereka dimaksudkan untuk mengukuhkan kerjasama mereka demi meningkatkan pasokan lada bagi Banten. Di Bengkulu, bibit cengkeh dan pala dibawa oleh Bangsa Spanyol pada 1698 dan mulai diperdagangkan hasil tanaman cengkeh dan pala pada 1703, Tetapi pada 1721 bangsa Spanyol meninggalkan Bengkulu karena merasa hasil tanaman cengkeh dan pala di Bengkulu sudah tidak menguntungkan (Setiyanto, 2001).

bersambung

(artikel ini ditulis oleh Yadi Mulyadi, disadur dari tulisan yang berjudul “Jalur Maritim dan Perdagangan Rempah di Bengkulu”, yang telah dipublikasikan dalam buku “Membaca Pesan Masa Lalu Bumi Bengkulu”)