Kliping koran ini berjudul “Istana Raja Purba “Rumah Bolon” Menakjubkan, Sayang Kurang Polesan “, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Surat Kabar Suara Pembaharuan terbitan tanggal 6 Januari 1996. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Jambi.

BPCB Jambi

BPCB Jambi

Materi berita:

SERAM! Itulah yang terasa saat melintasi terowongan se­panjang 10 meter memasuki ka­wasan Istana Raja Purba (Ru­mah Bolon) di Desa Pematang Purba, Kecamatan Purba. Ka­bupaten Simalungun, Sumatera Utara (181 km barat daya Me­dan). Tapi, perasaan itu sirna se­telah di depan mata terhampar bangunan-bangunan tradisio­nal yang amat menakjubkan.

Tiang bulat bergaris tengah sekira 40 cm dan papan setebal 15 cm menjadi unsur dominan da­lam bangunan-bangunan seperti panggung, dihiasi ornamen khas Simalungun warna merah, hi­tam, dan putih. Pad& leher simbol kerbau yang terpasang di ujung bubungan atap, diikatkan seutas tali menggantung dua tatabu (la­bu berisi ramuan magis) disebut tanjung banu fungsinya menang­kal petir dan api. Sayang, atap­nya yang terbuat dari ijuk, tam­pak ditumbuhi banyak pakis.

Melewati balei buttu (tempat pengawal raja) di pintu masuk, tak perlu khawatir bakal diperik­sa ketat. Tiada pengawal, selain penjual tiket masuk sebesar Rp l.000. Sejak tahun 1971 Pemda Sumut telah menetapkan Rumah Bolon salah satu objek wisata.

Seiring pengakuan kedaulatan RI. Kerajaan Purba pun berakhir tahun 1947. Tuan Mogang Purba (Raja XIV sejak tahun 1933) menjadi raja terakhir. Pewarisnya menyerahkan istana dan perangkatnya ke Pemda Simalungun tahun 1961 yang langsung merenovasinya dan memper­baiki jalan ke sana. Tahun 1968, setelah dilancarkan jurus pro­mosi oleh Bupati Simalungun Kol Rajamin Purba SH (kala itu), wisatawan mulai menyerbu lo­kasi seluas lima hektar ini.

Dari tujuh kerajaan di Sima­lungun, Kerajaan Purba dipim­pin marga Purba Pakpak yang menyisakan kebanggaan. Sebab yang lainnya tidak meninggal­kan bekas.

SAYANG, informasi jelas ten­tang sejarah dan fungsi istana tidak ditemukan di sini. Padahal, ada empat orang yang mengaku pemandu, tapi semuanya bertu­tur tidak pasti. Apakah Yayasan Museum Simalungun, pariwisata dan Pemda Simalungun sebagai pengelola Rumah Bolon ini, tidak membekali mereka?

Sekelompok mahasiswa USU (Universitas Sumaiaa Utara) Me­dan yang berkunjung ke sini, berebutan mencatat sedikit kisah pendirian istana yang diketik di kertas lusuh dan buram. Di dalam Rumah Bolon. yang jarang diber­sihkan. ada sepotong papan men­cantumkan nama 14 raja, lengkap dengan tahun berkuasanya. Pangultop-ultop 1624-1648 ; Ranjinman (1648 –  1669),  Nanggaraia (1670 – 1692), Butiran (1692 – 1717), Bakkararaja (1738-1738), Baringin (1738-1769), Bona Batu (1769-1780), Raja Ulan (1781-1769), Atian (1800-1825), Horma Bulan (1826-1856), Raondop (1856-1886), Rahalim (1886-1921), Karel Tanjung (1921-1931) dan Mogang (1933-1947).

Karena itu. Kepala Museum Negeri Sumut, Suruhen Purba bersama S Andareas Lingga me­nulis buku petunjuk Rumah Bo­lon (Marsiria menerjemahkan ke bahasa Inggris). “Menghindari kesimpangsiuran informasi ke­pada wisatawan, meskipun buku itu belum sempurna,” kata Su­ruhen kepada Kompas di Medan.

Berusia 250 tahun lebih, istana ini didirikan Tuan Rahalim, raja yang gagah perkasa dan memi­liki 24 istri. Tapi, yang tinggal di istana hanya puang bolon (per­maisuri) dan 11 orang nasi puang (selir) serta anaknya sebanyak 46 orang. Yang 12 orang lagi tinggal dikampung-kampung di wila­yah kerajaannya.

BERPEGANG pada sebuah rotan panjang yang menjuntai dari atas istana ketangga ratu­san wisatawan asing maupun domestik memasuki rumah itu, setelah kembali membeli tiket seharga Rp 1.000 per orang, per­sis di bawah tangga.

Memasuki istana, rasa seram kembali hadir. Lampu listrik da­ri genset menampakkan seisi ru­mah. Terlihat jelas tiadanya pemeliharaan Sapu dan potong­an bambu terletak sembarangan peralatan istana, seperti piring raja (sapa), tempat mengambil dan menyimpan air (poting) bu­ram berdebu.

Di pintu masuk istana bertiang kayu besar berukir 20 buah dan 10 halang, di atas sebuah meja keropos terletak buku tamu yang mesti diisi wisatawan.  Begitu pun, dalam lembarannya (seba­gian koyak dan warnanya pun tidak lagi putih), tercatat ribuan nama wisatawan asal Italia. Be­landa, Malaysia. Taiwan. Jepang, Jerman. Belgia. Thailand dan da­ri pelosok tanah air.

Bagian depan (lopou). menja­di tempat puang pardahan (isteri raja pemasak makanan ta­mu) dan puang poso (pemasak nasi raja). Di sisi kanannya, ter­dapat kamar tidur raja, layak­nya rumah kecil punya atap, dinding dan pintu. Di kolong­nya sebuah kamar ajudan raja yang dikebiri (ikasihkon).

Di dinding sebelah kanan ada dua gong (ogung) dan jika anak raja lahir putri, gong ini dipalu dalam bilangan genap. Sebalik­nya, lahir putra, bedil untuk upacara adat tersimpan agak ke dalam diletuskan dalam bilang­an ganjil.

Karena raja sering kawin, lo­pou pun menjadi sempit, sehing­ga diperluas ke belakang dan di­beri nama (Rumah Bolon). Inilah yang dihuni puang parorot (istri raja penjaga anak).

puang paninggiran (pimpinan upacara kesurupan), puang pamokkot (pimpinan upacara me­masuki rumah baru), puang siappar apei (pengatur ruangan dan memasang tikar), puang siombah bajut (pimpinan pembawa per­alatan makan sirih), puang bona, puang bolon (permaisuri), puang panakkut (bertugas di rumah bolon) dan puang juma bolang (istri raja memimpin perladangan).

Jika raja ingin berhubungan intim dengan salah seorang selir atau permaisuri, ajudannya di­suruh mengantar bajut (tempat sirih) kepada yang dikehendaki­nya dan berujar, “Raja sihol mardemban” (raja ingin makan sirih). Sirih pun diterima dan bersiap dengan merias diri, lalu mendatangi kamar raja.

Di sini juga, ada tiang pan ra­ja, tempat peletakan tanduk kerbau tanda penabalan raja. Ada 13 jumlah tanduk kerbau, menyatakan banyaknya raja