Batugajah yang kesepian di Palembang itu bukan satu- satunya karya para puyang (leluhur) masyarakat Besemah yang hidup di dataran tinggi sekitar lereng kaki Gunung Dempo, Bukit Barisan dan Pegunungan Gumai. Anak-anaknya yang lain dapat dijumpai di Situs Gunung Megang (Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat), Situs Pula Panggung (Kecamatan Pajar Bulan)
dan Situs Tegurwangi (Pagar Alam). Gajah dan manusia digambarkan dalam berbagai bentuk
dan posisi yang saling berhubungan.

Lihat saja arca batu gajah dari Gunung Megang yang teronggok di tengah ladang. Kali in sang gajah digambarkan tengah terlentang diduduki oleh seorang pria berwajah lebar dan berdagu keras. Pria perkasa ini menyandang pedang di belakang. Kedua tangannya menarik belalai gajah sekuat-kuatnya ke atas, mengesankan a berhasil menaklukan mamalia darat terbesar itu.

Sepotong batu gajah lagi kini teronggok di halaman Museum Juang, Pagaralam. Batu gajah setinggi 90 cm ini menggambarkan orang yang menunggang gajah. Mata gajah digambar besar. Penunggang gajah itu juga menyandang pedang di belakang. Tangan kiri memegang telinga gajah, sedangkan tangan kanan memegang bagian belalai gajah. Kepala orang sudah patah, seperti kondisi yang dilihat oleh van der Hoop tahun 1930-1931 dan menurutnya batu gajah ini berasal dari Gunung Megang.

ririfahlen/bpcbjambi

Arca batu gajah di Situs Pulau Panggung menggambarkan seorang wanita menunggang gajah sambil menggendong du anaknya di belakang dengan menggunakan kain. Tangan kanan memegang kepala gajah dan tangan kiri memegang pipi gajah. Hewan itu digambarkan dengan jelas pada bagian kepala, gading dan belalai, sedangkan bagian badan dan belakang tidak jelas karena tertutup oleh sook wanita yang menungganginya.

Empat arca wanita dengan membawa sebentuk wadah di punggungnya terdapat di Situs Tegurwangi, di Pagar Alam. Tampaknya keempat wanita itu menunggang gajah, salah satunya jelas terlihat gajah yang digambarkan sebatas pangkal belalainya, dengan mata yang besar. “Zaman dulu biasa dijumpai gajah berkeliaran di dataran tinggi Basemah”, jar Asmani Muis (61), mantan juru pelihara Situs Kota Raya, yang menjadi informan tim arkeologi saat itu. Asmani coba berteori tentang hubungan antara sejumlah pahatan gajah pada arca-arca batu megalitik dengan gajah yang hidup di Sumatra. Lebih lanjut ia mengatakan saat ini sudah tidak dijumpai lagi gajah hidup. Dulu ada tempat sekolah gajah di sekitar Bukit Serelo, Kecamatan Merapi di Lahat. Kini gajah-gajah telah lulus dan dipindah ke Taman Nasional Way Kambas, Lampung.

“Sekitar 25 tahun yang lalu, seekor gajah liar masuk kampung Tanjung Payang, Kecamatan Pagar Alam Utara dari hutan. Penduduk menangkap dan membunuhnya”, ujar Kasim (62), seorang budayawan Besemah. Itulah memori terakhir masyarakat melihat gajah liar di lingkungannya.
Gajah Sumatra (Elephas maximus Sumatranus) merupakan sub-spesies gajah Asia (Elephas maximus) dan jenis gajah yang terkecil di Asia. Gajah Sumatra dapat hidup pada habitat yang berbeda-beda, seperti di hutan rawa, hutan rawa gambut, dan hutan dataran rendah. Gajah Sumatera juga dapat hidup pada hutan hujan pegunungan rendah pada ketinggian 750 – 1500 meter di atas permukaan air laut, seperti di dataran tinggi Pasemah. Di Sumatera Selatan gajah banyak ditemukan di hutan rawa dan gambut, seperti di Air Sugihan dan daerah pantai timur Sumatra.
Memang sulit melacak gajah hidup di dataran tinggi Pasemah sekarang. Namun sejumlah gajah batu yang digambarkan secara nyata dan tampak hidup jelas menunjukkan sang seniman megalitik telah akrab dengan wujud hewan tambun itu. Wujud yang sering dilihat sang seniman di lingkungannya, bahkan pada masa itu gajah telah didomestikasi, ditilik dari penggambaran manusia memanfaatkan gajah sebagai alat transportasi. “Batu-batu besar macam dolmen, batu tegak dan batu datar tentunya dapat dipindahkan ke tempat yang dipilih karena nenek moyang menggunakan gajah sebagai alat transportasi”, kata Kasim.

(Bersambung)…

(artikel ini ditulis oleh Nurhadi Rangkuti, disadur dari tulisan yang berjudul “Mancari Gajah-Gajah Pasemah”, yang telah dipublikasikan dalam buku “Megalitik Pasemah, Warisan Budaya Penanda Zaman”)