Lukisan dalam Bilik Batu

Bilik batu dikenal juga sebagai kubur batu atau peti batu, akan tetapi bilik batu yang ditemukan di Pasemah sedikit berbeda. Dalam setiap penemuannya hingga kini baru di bilii batu Tanjungara saja yang ditemukan tulang di dalamnya. Bilik batu di Pasemah pun lebihmendekati definisi “bilik” daripada sebuah peti. Bilik batu ini dibangun dengan menyusun lempengan-lempengan batu membentuk atap; 4 sisi dinding dengan salah satunya memiliki pintu masuk, sebagian memiliki lantai dari susunan batu lempeng, sebagian memiliki lantai tanah. Di dalam peti kubur batu biasanya ditemukan alat perunggu, emas, keramik, kapak batu, besi dan manik-manik. Akan tetapi berbeda halnya dengan bilik batu Pasemah.

Penelitian dan penggalian peti kubur batu di daerah Pasemah pernah dilakukan oleh beberapa orang peneliti asing, di antaranya : C. J. Batenburg, F.D.K. Bosch, Van der Hoop, dan C.W.P de Bie. Dalam penelitian tersebut mereka berhasil menemukan beberapa buah peti kubur batu di situs Pegardin, Tegurwangi dan Tanjungara. C.W.P de Bie ketika mengadakan penelitian di daerah Pasemah, telah membuka peti kubur batu di Tanjungara dan peti batu di Ujanmas. Di Tanjungara de Bie menemukan peti kubur batu rangkap, yang terdiri dari dua ruang sejajar berdampingan, hanya dipisahkan oleh sebuah dinding yang mempunyai lukisan abstrak. Lukisan itu menggambarkan bentuk manusia dan binatang yang distilir (Bie 1932: 626- 635). Van der Hoop yang meneliti bilik batu Tanjung Arad an menganalisa temuan tulang di dalamnya, menyatakan bahwa bilik batu Pasemah berfungsi sebagai makam. Sedangkan Teguh Asmar berpendapat bahwa situs Tanjungara berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah leluhur berdasarkan temuan arca orang dibelit ular di situs yang sama.

Johannes Manachim melakukan penelitian mengenai lukisan di dalam 12 bilik batu Pasemah untuk skripsinya di 2002. Dia membandingkan penggunaan warna; ragam motif serta mencoba melihat korelasi dari ukuran bilik batu, arah hadap, motif dan penggunaan warna. Bilik Batu Pasemah yang dibandingkan oleh Manachim adalah 7 bilik batu di Kotaraya Lembak KRL); 2 bilik batu di Tegurwangi (TGW); 2 bilik batu Tanjung Ara (TA) dan 1 bilik batu di Lawangagung (LWG). Dari 12 bilik batu, terdapat 8 bilik batu yang memiliki lukisan, yaitu KRL I, II, III, VII; TGW I & II; serta TA I & II. Beberapa situs bilik batu berlukisan yang termasuk dalam penelitian Manachim adalah Gunung Megang (GM) dan Talang Pagar Agung (TPA). Lukisan di GM sudah sangat aus hingga hanya memperlihatkan bentuk kurva dan apa yang seperti empat kaki kecil menopang sesuatu yang besat dan membulat, mungkin bagian dari penggambaran hewan berkaki empat. Sedangkan lukisan di TPA cukup aus dan memperlihatkan bentuk tapak tangan berjari tiga; bulatan yang juga diukir; hewan bertanduk 2 serta goresan grid berjumlah 36 kotak (6 x 6) di atap bilik. Situs TPA ini memiliki 2 bilik, tetapi hanya satu yang bisa dimasuki karena bilik satu lagi dihuni oleh seekor ular.

Manachim memaparkan bahwa 12 bilik batu Pasemah yang ia teliti memiliki arah hadap timur-barat dengan ukuran volume mulai dari sekitar 3 meter kubik hingga sekitar 6 meter kubik. Kemudian pemakaian jenis warna terdiri dari kombinasi sebagai berikut:

  • Merah- kuning-putih-hitam (KRL I dan II; TGW I dan II)
  • Merah – putih – hitam (KRL III dan VII)
  • Merah-kuning – putih hitam -abu-abu (TA I dan II)

Penggunaan warna di GM dan TPA memperlihatkan sisa warna merah dan warna hitam di TPA yang masih perlu disimak lebih lanjut karena bercampur dengan kotoran. Penggunaan warna yang umum pada gambar cadas masa prasejarah adalah merah, putih dan hitam, walau ada juga yang mengunakan warna cokelat dan biru. Warna-warna tersebu dihasilkan dari lingkungan sekitar situs, seperti mineral hematit yang menghasilkan warna merah; arang yang menghasilkan warna hitam; kerang, karang, kapur atau abu kayu yang menghasilkan warna putih; lumpur yang menghasilkan warna coklat atau tumbuhan yang menghasilkan warna biru. Pada seni cadas, jika warna objeknya tumpang tindih, dapat berguna untuk menentukan kronologi relatif yang menghasilkan perkembangan gaya dari seni cadas (Arifin, 1997: 16). Aplikasi warna pada lukisan bilik batu ini sepertinya melalui proses yang menggunakan alat sehingga hasilnya rapih.

Manachim juga membandingkan motif-motif yang ditemui, yaitu terdiri dari: bentuk tubuh manusia; fauna; flora; gemoetris; tapak tangan serta bentuk abstrak. Bentuk manusia ditemukan di hampir semua bilik batu kecuali di TA II yang hanya ditemui bentuk tapak tangan berjari tiga (yang juga ditemukan di TA I dan TPA). Bentuk fauna ditemukan pada 5 bilik batu dan kemungkinan juga di GM dan TPA), sedangkan bentuk flora hanya ditemukan pada 1 bilik batu. 3 bentuk geometris ditemukan di 3 bilik batu (serta 1 grid di atap TPA) dan bentuk abstrak ditemukan di 4 bilik batu. Analisa lukisan bilik batu yang dilakukan oleh Manachim hanya berdasarkan sudut pandang arkeologis, sehingga tidak menyentuh aspek ekspresi estetika Pasemah di masa prasejarah yang ingin dieksplorasi oleh tulisan ini.

Ekspresi estetika masa prasejarah Indonesia lebih banyak fokus pada gambar cadas yang ditemukan pada dinding ceruk dan gua yang menjadi tempat tinggal manusia prasejarah. Penamaan gambar cadas yang artinya gambar pada batu merupakan nama yang cukup netralkarena penafsiran kata “seni” dalam istilah seni prasejarah rupanya masih menjadi pembahasanapakah yang ditemukan merupakan sebuah karya seni. Akan tetapi secara umum, para ahli sepakat bahwa kesenian telah ada sejak masa prasejarah, periode berburu dan mengumpulkan makanan. Bentuk ekspresi seni di masa prasejarah diperkirakan sebagai bentuk aktualisasi diri terhadap alam sekitar dan juga menggambarkan kehidupan sehari-hari di masa lalu (Mithen, 1996: 170). Begitu juga kiranya yang yang diperlihatkan oleh lukisan bilik batu di Pasemah. Bentuknya tidak selalu proporsional ataupun benar secara anatomi (misalnya tapak tangan ber jari tiga) karena adanya perubahan dari bentuk tiga dimensi ke dua dimensi yang wajar dialami oleh ekspresi estetik melalui bidang dua dimensi semacam lukisan bilik batu. Chippindale menyatakan bahwa perubahan bentuk dari tiga dimensi ke dua dimensi mengakibatkan hilangnya beberapa informasi seperti warna dan ukuran objek aslinya pada lukisan atau pahatan. Dengan demikian, si pembuat lukisan dan pahatan berkonsetrasi untuk membuat karyanya agar dapat menghadirkan dan berfokus pada penampilan informasi esensial yang akan mengidentifikasikan objek yang digambar. Ia mencontohkan pada penggambaran bentuk muka figure manusia digambarkan dengan posisi menghadap ke muka (front view) atau ke samping (profile view) yang memiliki perbedaan penggambarannya.

Perubahan bentuk dari tiga dimensi ke 2 dimensi juga terlihat pada penggambaran tokoh di bilik batu Tanjung Ara 1 (A) dan 2 (B). Bie yang meneliti kedua bilik batu ini saat lukisannya masih terlihat di jelas di tahun 1932 menjelaskan bahwa lukisan pada dinding kamar A (TA I) menggambarkan bentuk kepala kerbau, dengan tanduk yang menempel pada kepalanya. Sudut mata dari binatang ini kelihatan menyolok sekali karena mata dari binatang ini kelihatan menyolok sekali karena mata sebelah kiri sudutnya ke bawah seddangkan mata sebelah kanan sudutnya ke atas. Pada lukisan ini ditemukan juga sebuah gambar tangan dengan tiga jari, tokoh atau figur manusia yang ada di dekat kepala kerbau hanya bagian atasnya saja yang dapat dilihat, karena batu pada bagian tersebut melengkung ke belakang. Ukuran lukisan 150 x 150. Warna hitam adalah yang paling menonjol. Kemudian disusul merak. (Bie 1932: 626-635) Gambar ini hanya di ruang a, ruang B tinggal garis2 saja, salah satu dinding yang mempunyai gambar paling terang sekarang di Museum Nasional, dibawa oleh van der Hoop sejak 1933.

Bentuk gambar kepala kerbau juga ditemukan di bilik batu KRL VIII dan juga pada ; pada pahatan-pahatan berupa lumpang berhias, pada pahatan relief Air Puar dan beberapa patung tokoh menunggang, memegang , mengapit dan “menaklukan” kerbau. Lukisan kerbau merupakan lukisan yang paling menonjol pada masa tradisi megalitik, baik digambarkan secara keseluruhan maupun hanya bagian-bagian dari tubuhnya saja. Kerbau dianggap mempunyai hubungan yang erat dengan maksud-maksud magis-religius. Kerbau seringkali dikorbankan pada upacara-upacara tertentu, hingga sekarang pada awal pendirian sebuah bangunan masih sering ditanamkan kepala kerbau karena dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat membawa keselamatan pendirian bangunan tersebut.

Howell menyatakan bahwa para ahli arkeologi berpendapat bahwa lukisan-lukisn gua digunakan sebagai magi, atau lebih tepat lagi suatu bentuk yang dikenal sebagai magi pelancar perburuan. Dengan melukis binatang yang akan diburu, maka pemburu akan merasa menguasai binatang tersebut, dan menambah kemungkinan untuk membunuhnya pada waktu berburu. Bukti bahwa lukisan semacam ini merupakan magi perburuan yang pertama dan paling jelas adalah sejumlah besar binatang yang digambarkan terkena lembing atau terluka karena pukulan gada. Akan tetapi hal ini sepertinya berbeda untuk konteks lukisan-lukisan bilik batu di Pasemah. Tidak ada indikasi mengenai perburuan di dalam penggamabaran motif fauna dalam lukisan, begitu juga di dalam pahatan relief dan patung tiga dimensi. Bisa jadi ekspresi estetik yang ditampilkan dalam lukisan-lukisan bilik batu Pasemah merupakan sesuatu yang magi juga, tetapi bukan mengenai perburuan. Kemungkinan fungsi bilik menjadi kubur batu juga menyediakan kemungkinan adanya usaha untuk memperindah ruang peristirahan terakhir daripada individu yang meninggal. Satu catatan untuk mendalami interpretasi lukisan-lukisan ini adalah peninjauan kembali lukisan di Talang Pagar Agung yang memperlihatkan indikasi adanya suatu adegan yang menghubungkan antara :

  • sebuah tangan berjari tiga yang meraih objek gambar bulat berwarna merah jingga
  • makhluk bertanduk dua di dinding yang sama
  • goresan bulatan di dinding yang berada di sebrangnya, serta
  • goresan grid 6 x 6 yang berada di bagian atap bilik batu

Bersambung…

Ditulis Oleh : Annisa M Gultom