Belanda lebih melihat Bengkulu sebagai tambang emas. Tam
bang emas di daerah Lebong pun dibuka Belanda dari 1901 –
1941, dan memaksa rakyat Bengkulu masuk dalam sistim kerja
paksa. Akibatnya, rakyat Bengkulu banyak yang pindah dari
Bengkulu ke wilayah lain.

Pemerintah Belanda juga melakukan perubahan sosial
dan hukum adat di neger Bengkulu, termasuk mencabut
hak-hak kepala adat negeri Bengkulu yang berujung
pemberontakan berdarah. Pemberontakan terjadi pada
tahun 1833, dan menewaskan Asisten Residen Bengkulu
bernama Knoerle (Menjabat 1831-1833).
Aksi teror pembunuhan berdarah terus berlanjutnya yang
menewaskan Asisten Residen Humme dan pembunuhan
Asisten Residen Bengkulu H.C Van Amstel di tanggal 2
September 1873. Pada 9 September tahun 1873 setelah
pembunuhan Asisten Residen H.C Van Amstel. Puncaknya
terjadi pada tanggal 9 September 1873, rakyat Bengkulu
melakukan penyerangan ke Fort Malborough. Penyeran-
gan rakyat Bengkulu dijawab dengan kedatangan ribuan
serdadu Jawa, Manado dan Maluku, dan akhirnya
menutup perang Bengkulu di tahun 1878.