You are currently viewing UPAYA PELINDUNGAN DAN PEMANFAATAN CAGAR BUDAYA BAWAH AIR  DARI SISI HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL
Pengangkatan temuan bawah air

UPAYA PELINDUNGAN DAN PEMANFAATAN CAGAR BUDAYA BAWAH AIR DARI SISI HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Abstrak

Dalam UU Nomor 10 tahun 2011 tentang Cagar Budaya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda, Struktur, Situs, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan di air. Cagar Budaya yang terdapat di air dikenal sebagai Tinggalan Budaya Bawah Air, Barang Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT), namun ada juga yang menyebut sebagai harta karun. Cagar Budaya Bawah Air memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga rawan sekali terjadi pencurian untuk diperjual belikan. Kasus pencurian di perairan Indonesia mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1980-an, dan masih berlangsung hingga saat ini. Melihat potensi dan permasalahan Cagar Budaya Bawah Air yang semakin mengkhawatirkan, maka sangat diperlukan landasan hukum yang kuat untuk melindunginya. Tulisan ini akan menitikberatkan pembahasan pada tiga hal, pertama mengenai pelindungan Cagar Budaya Bawah Air dari sisi hukum nasional dan internasional, kedua upaya penanganan kasus pencurian di Indonesia, dan ketiga contoh upaya pemanfaatan dan pelindungan Cagar Budaya Bawah Air di berbagai negara.

Pendahuluan       

Secara geografis Indonesia membentang dari 6⁰ LU sampai 11⁰ LS dan 95⁰ sampai 141⁰ BT, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya  ±17.504 pulau. Tiga per-empat wilayahnya adalah laut, dengan panjang garis pantai 95.161 km, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Ridwan, 2013:93). Melalui Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia  menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Indonesia sebagai negara kepulauan, telah diakui dunia internasional melalui konvensi hukum laut PBB United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,9 juta km², terdiri atas 3,2 juta km²  perairan teritorial dan 2,7 km²  perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas perairan ini belum termasuk landas kontinen (continental shelf) .

Dari keseluruhan luas wilayah Indonesia yang terbentang antara Samudra Hindia dan Samudra Fasifik, 75% adaIah Iaut. WiIayah Iaut yang mendominasi, serta posisi strategis yang berada di antara jalur persilangan dua benua, menjadikan wilayah perairan Indonesia pada masa lalu ramai dilayari kapal-kapal asing. Kondisi ini tercatat di berbagai sumber sejarah, baik catatan para penjelajah Eropa maupun informasi dari utusan kekaisaran China seperti Ma Huan, I Tsing, maupun Laksamana Ceng Ho yang menyebutkan bahwa sejak abad ke-5 M perairan Nusantara merupakan jalur pelayaran dagang internasional. Kapal-kapal berlayar dari wilayah Mediterania, India, dan Afrika menuju bandar-bandar di perairan Nusantara untuk mencari rempah-rempah, kapur barus maupun emas di Pulau Sumatera.

Beberapa arsip di negara-negara Eropa dan China mencatat bahwa proses kurun niaga ini berlangsung selama ratusan tahun. Selain itu pada laporan-laporan  arsip  tersebut  juga  tercatat   bahwa banyak kapal dagang yang tenggelam di   sepanjang wilayah perairan Indonesia. Penyebab tenggelamnya kapal bisa diakibatkan oleh berbagai macam faktor, seperti misalnya badai, perang, maupun karena kelalaian awak kapal (Utomo & Bara, 2014: 49). Pernyataan ini semakin kuat dengan data Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan bahwa terdapat sekitar 493 titik kapal karam di sepanjang perairan Indonesia yang berisi Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT). Akan tetapi berdasarkan data yang dikumpulkan oleh UNESCO menyebutkan bahwa ada lebih dari 3.000 titik kapal tenggelam yang berisi BMKT di perairan Indonesia. Dari jumlah titik kapal karam yang diduga mengandung BMKT yang begitu melimpah, tentu akan mengundang berbagai macam persoalan, baik pencurian maupun perusakan, dikarenakan BMKT memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Definisi Cagar Budaya Bawah Air

Jika merujuk pada beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 Tentang Cagar Budaya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda, Struktur, Situs, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan di air. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Cagar Budaya Bawah Air adalah cagar budaya yang berada di lingkungan air. Dimana dalam pejelasan undang-undang tersebut, lingkungan air yang dimaksudkan bisa berupa laut, sungai, danau, waduk, sumur, dan rawa  Cagar Budaya Bawah Air lebih dikenal sebagai Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT), yaitu benda berharga yang memiliki nilai sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, dan ekonomi yang tenggelam di wilayah perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, dan landas kontinen Indonesia, paling singkat berumur 50 (lima puluh) tahun.

Unesco mendefinisikan tinggalan budaya bawah air sebagai: “all traces of human existence having a cultural, historical  or archaeological character which have been partially or totally under water, periodically or continuously, for at least 100 years such as: (i) sites, structures, buildings, artefacts and human remains, together with their archaeological and natural context; (ii)  vessels, aircraft, other vehicles or any part thereof, their cargo or other contents, together with their archaeological and natural context; and (iii)  objects of prehistoric character” (Unesco Convention 2001 pasal 1 ayat 1). Dalam pengertian tersebut jelas sekali bahwa dalam konvensi Unesco tahun 2001 tentang pelindungan tinggalan budaya bawah air disebutkan bahwa  semua jejak peninggalan manusia yang berada di bawah air selama kurang lebih 100 tahun dikategorikan sebagai tinggalan budaya. Tinggalan budaya ini bisa berupa struktur, situs, bangunan, termasuk pesawat, kapal beserta muatannya.

            Tinggalan kapal yang tenggelam beserta muatannya inilah yang sering dikenal masyarakat sebagai harta karun, padahal jelas secara hukum nasional dan hukum internasional bahwa kapal yang tenggelam berikut dengan barang muatannya dalam kurun waktu 50 – 100 tahun dikategorikan sebagai tinggalan budaya bawah air. Dengan begitu Cagar budaya bawah air bukan sebagai harta karun, hal ini dikuatkan dengan pernyataan Unesco dalam sebuah seminar di Jakarta tahun 2010 bahwa tinggalan budaya bawah air bukan harta karun tetapi merupakan warisan budaya untuk manusia.

Diterbitkannya Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya merupakan angin segar bagi pelestarian warisan bawah air di Indonesia. Jika pada Undang-Undang nomor 5 Tahun 1992 belum diberikan perhatian khusus terhadap warisan bawah air, maka pada Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010 warisan bawah air telah mulai diberi perhatian dalam  peraturan perundangan-undangan. Misalnya, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa yang termasuk Cagar Budaya termasuk juga warisan budaya yang berada di darat dan/atau air. Sementara pada ayat (5) pada pengertian Situs Cagar Budaya juga disebutkan bahwa situs termasuk juga lokasi yang berada di air. Lingkup Pelestarian yang terdapat pada pasal 4 juga mengharuskan Cagar Budaya bawah air untuk mendapat Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfatan.

Aspek pelestarian kembali disampaikan dalam pasal 26 ayat (4) bahwa setiap orang dilarang melakukan pencarian dengan cara penyelaman dan/atau pengangkatan  kecuali dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pada pasal 14 ayat (1) menegaskan bahwa warga negara asing dilarang memindahkan atau membawa benda cagar budaya termasuk tinggalan cagar budaya bawah air keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun pada pasal 17, dan 67 Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 ditambahkan kalimat “kecuali dengan izin menteri, gubernur, bupati/walikota”. Walaupun sudah bergerak ke arah pelestarian, Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010 belum banyak mengatur hal-hal teknis. Ditambah lagi belum terbitnya Peraturan Pemerintah, terutama yang khusus mengurus perihal warisan bawah air.

Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2007 dan Perubahannya Nomor 12 Tahun 2009

Sebelum Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010 telah ada peraturan lain yang secara khusus mengatur mengenai pengangkatan dan pemanfaatan muatan kapal karam. Dalam Keppres Nomor 19 tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (PANNAS BMKT) disebutkan beberapa pasal terkait penjelasan dan prosedur penanganan benda cagar budaya bawah air.

Keppres mengenai PANNAS BMKT ini sangat tidak sesuai dengan semangat pelestarian yang diusung Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 karena sangat berorientasi pada pengangkatan dan penjualan BMKT. Sehingga dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, seharusnya Keppres ini batal sesuai dengan azas lex superior. Namun kenyataannya izin-izin untuk melakukan pengangkatan tetap dapat keluar.

Peraturan Menteri Kelautan nomor 4 Tahun 2016 Tentang Moratorium

Belum optimalnya Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, akibat belum diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang mendukung, menyebabkan pengangkatan dan pencurian warisan bawah air masih kerap terjadi. Menanggapi hal ini Menteri Kelautan sigap dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan nomor 4 Tahun 2016 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Survei dan Pengangkatan Benda Berharga asal Muatan Kapal yang Tenggelam. Isinya antara lain menghentikan sementara izin survei dan pengangkatan BMKT, tidak menerbitkan izin yang baru, izin yang telah habis tidak akan diperbaharui dan bagi izin yang masih berlaku akan dilakukan evaluasi oleh PANNAS BMKT. Penghentian sementara ini hanya berlaku sampai tanggal 31 Desember 2016. Lalu bagaimana setelah moratorium tersebut habis masa berlakunya?

 

Penulis: Yanuar Mandiri, R. Ahmad Ginanjar Purnawibawa

Artikel selengkapnya dimuat dalam Buletin Kalatirta vol. 5 terbitan BPCB Banten