Oleh: Adita Nofiandi*
Pendahuluan
Kebesaran Banten menjelang abad XVII banyak dipresentasikan dengan kemajuan ekonomi perdagangan. Keletakan Banten di pesisir utara sebelah barat pulau Jawa dan berada di teluk yang bersebelahan dengan selat Sunda merupakan faktor utama kemajuan kerajaan ini. Namun demikian, apalah arti sebuah letak strategis tanpa komoditi yang diperdagangkan? Banten memiliki komoditi perdagangan berupa hasil agraria yang melimpah dan pada saat itu merupakan hasil bumi yang sangat berharga disamping emas dan lada.
Lada seolah-olah menjadi magnet bagi para pedagang di penjuru dunia untuk datang ke Banten dan melakukan transaksi perdagangan. Salah satu negara yang sukses melakukan perdagangan yaitu Belanda. Lebih dari sukses, Belanda bahkan memonopoli perdagangan lada dunia dengan mendirikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah Kongsi Dagang Hindia Timur tahun 1602. Tidak hanya lada, VOC memonopoli semua jenis hasil pangan dan rempah-rempah Asia.
Setelah kebangkrutan VOC tahun 1798 karena korupsi, pemerintah Belanda mengambil alih perdagangan dan membuat pemerintahan kolonial di Nusantara, yakni Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan Gubernur Jendral sebagai kepala pemerintahannya. Berdasarkan Regeering Reglements pasal 71 tahun 1854, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menyelenggarakan sistem pemerintahan secara sentralistis (Suriadiningrat, 1981). Wilayah Nusantara dibagi menjadi beberapa keresidenan, keresidenan dibagi lagi menjadi kabupaten-kabupaten, dan di bawah kabupaten dibagi menjadi distrik-distrik.
Pandeglang berada di bawah keresidenan Banten, sebagai ibukota dari wilayah Banten Tengah. Meskipun begitu, Pandeglang bukan merupakan sebuah kabupaten, tapi memiliki posisi sebagai daerah administratif yang menentukan dalam perpolitikan pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada saat itu (Dahlan dan Lasmiyati, 2007). Penetapan Pandeglang sebagai sebuah kabupaten terdapat dalam Staatblad Nomor 73 Tahun 1874, tentang pembagian daerah, dalam Ordonansi tanggal 1 April 1874. Dengan demikian, berdasarkan surat keputusan tersebut, Pandeglang merupakan kota yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hal tersebut diperkuat dengan bukti tinggalan bangunan kolonial yang ada di Kota Pandeglang, yang mengindikasikan bahwa kota ini memiliki tata kota kolonial bentukan pemerintah Hindia Belanda pada masa lalu.
Artikel ini mencoba untuk menjabarkan keadaan kota Pandeglang saat ini berdasarkan tinggalan bangunan kolonial yang tersisa di sekitar Kecamatan Pandeglang, khususnya di sekitar alun-alun kota. Lebih lanjut, berusaha untuk mengetahui bagaimana konsep tata kota yang digunakan pada saat kota ini telah disahkan menjadi ibukota Kabupaten Banten Tengah.
Sejarah Terbentuknya Kabupaten Pandeglang
Pada tahun 1618, terjadi perselisihan antara Kesultanan Banten dengan VOC, dikarenakan VOC menginginkan monopoli perdagangan namun Sultan menginginkan perdagangan bebas. Perselisihan tersebut berimbas dengan ditangkap dan dipenjarakannya Sultan Ageng Tirtayasa di Batavia pada tahun 1680. Selanjutnya, VOC melakukan campur tangan dalam pengangkatan Sultan, sehingga pemerintahan Kesultanan Banten mengalami kekacauan.
Pada akhir abad XVIII, VOC dibubarkan yang kemudian diambil alih oleh Kerajaan Belanda melalui Pemerintah Hindia Belanda, yang dibentuk untuk mengurusi pemerintahan kolonial di Hindia Timur. Pada tahun 1809, Sultan Muhammad memindahkan ibukota Kesultanan Banten ke Pandeglang karena kekacauan yang terus-menerus mendera Banten. Meskipun demikian, pemindahan ibukota tersebut masih belum dapat meredakan ketegangan bahkan memuncak pada tahun 1888, pasca meletusnya Gunung Krakatau di tahun 1883.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dibentuk berdasarkan Grounwet pasal 232 tahun 1798, yang mengangkat Daendels menjadi Gubernur Jenderal pertama (1808-1811). Pada masa pemerintahan Daendels, terjadi beberapa perubahan yang cukup merugikan penguasa lokal. Beberapa di antaranya adalah berubahnya status kerajaan lokal yang telah ditaklukan VOC tidak lagi bersifat otonom, melainkan berada di bawah kendali pemerintah kolonial. Kerajaan-kerajaan yang dianggap masih berpengaruh terhadap rakyat, dibagi lagi menjadi beberapa daerah. Banten yang merupakan salah satu bekas kerajaan besar di Jawa bagian barat, rajanya dijadikan pegawai pemerintah dengan tunjangan jabatan sebesar 15.000 ringgit (Dahlan & Lasmiyati, 2007).
Pada awalnya, Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dijadikan bagian dari Gouvernemen atau Gubernemen, yaitu wilayah yang langsung diperintah oleh pejabat-pejabat gubernemen. Gubernemen adalah jabatan di bawah Gubernur Jenderal yang memiliki kekuasaan pada wilayah yang telah dianeksasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1809, terjadi perubahan dengan ditunjuknya Serang sebagai ibukota Banten. Sementara itu Caringin, yang terletak di pesisir barat Jawa (di Kecamatan Labuan saat ini), ditetapkan sebagai kabupaten, setelah Istana Surosowan dibumihanguskan. Banten dipecah menjadi tiga kabupaten, yakni Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Hingga pada akhirnya Kesultanan Banten sudah tidak diizinkan lagi keberadaannya di tahun 1813, dan Sultan terakhir diasingkan ke Surabaya.
Pada tahun 1819, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen, Banten diubah menjadi dua kabupaten, yakni Banten Utara dan Banten Selatan. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1828, Banten menjadi tiga kabupaten, yakni Banten Utara dengan ibukota Serang, Banten Barat beribukota di Caringin, dan Banten Selatan beribukota di Lebak. Tahun 1854, Banten dibagi menjadi empat kabupaten dengan menambah satu kabupaten baru, yakni Banten Tengah yang beribukota di Pandeglang. Ketetapan hukum Kabupaten Pandeglang sebagai kabupaten berdasarkan Ordonansi tanggal 1 Maret 1874, yang mulai diberlakukan tanggal 1 April 1874, yang membawahi sembilan distrik.
Tinggalan Bangunan Kuna di Pandeglang
Kota Pandeglang yang merupakan kota bentukan Pemerintah Hindia Belanda, sudah tentu dilengkapi dengan bangunan-bangunan untuk mendukung kegiatan pemerintahan pada masa itu. Hingga kini beberapa bangunan tersebut masih dapat kita temui. Untuk mempersempit area, penulis membatasi untuk mengumpulkan data bangunan-bangunan yang terdapat di sekitar Alun-alun Kota Pandeglang, tidak meluas hingga ke desa-desa maupun kecamatan-kecamatan yang masuk ke daerah administrasi Kabupaten Pandeglang.
Hingga tahun 2015 terdapat sekitar lima bangunan tinggalan masa kolonial di Kota Pandeglang. Bangunan tersebut antara lain:
Pendapa Kabupaten Pandeglang
Pendapa ini terletak di sebelah utara alun-alun, tepatnya di Jalan Asnawi No. 1 Pandeglang. Fungsinya masih sama seperti sejak pertama kali dibangun, yaitu sebagai rumah dinas Bupati Pandeglang. Menurut catatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pandeglang, bangunan ini didirikan sekitar tahun 1847-1848. Di sebelah timur pendapa, masih di dalam area rumah dinas bupati, terdapat bangunan yang dulu berfungsi sebagai kediaman para pembantu bupati.
Secara umum, rumah dinas bupati yang terdapat di belakang pendapa memiliki langgam arsitektur klasik Eropa dengan ciri tiang-tiang bergaya doria di bagian teras utama, jendela – pintu yang tinggi dan lebar, serta didukung ornamen lain dengan ciri khas eropa. Namun begitu, terlihat adanya arsitektural tradisional pada bangunan ini, yaitu adanya atap bertumpuk seperti pada bangunan Jawa.
Gedung Kodim 0601
Gedung Kodim 0601 terletak di barat laut alun-alun, tepatnya di Jalan Letnan Mulkita, Pandeglang. Gedung ini didirikan pada tahun 1918 sebagai rumah Asisten Residen Banten untuk Distrik Pandeglang. Alih fungsi bangunan menjadi markas Kodim 0601 dilakukan pada tahun 1962.
Bangunan ini bergaya arsitektur Neo-Klasik dengan adanya pilar-pilar di bagian teras depan dan beratap limasan. Ciri khas bangunan kolonial juga tampak pada jendela-jendela yang tinggi dan besar, sebuah pintu masuk depan dan komposisi vertikal.
Rumah Tahanan
Rumah Tahanan Pandeglang didirikan pada tahun 1819, menurut data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pandeglang. Hingga saat ini bangunan masih berfungsi seperti sedia kala. Lokasinya terletak sekitar 300 m di sebelah barat alun-alun, tepatnya di Jalan Masjid Agung No. 3, Pandeglang. Sangat disayangkan, sudah banyak perubahan pada bangunan ini tanpa memperhatikan konsep pelestarian cagar budaya.
Eks Rumah Sakit Umum Daerah Pandeglang
Bangunan ini terletak di sisi barat alun-alun, tepatnya di Jalan Kesehatan No. 2, Pandeglang. Kini bekas rumah sakit ini dialihfungsikan sebagai kantor Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Pandeglang. Kondisi bangunan saat ini masih utuh dengan penambahan-penambahan bangunan di sisi timur dan barat, serta tambahan teras di pintu masuk.
Bangunan Eks Rumah Sakit ini memiliki gaya arsitektur Neo-Klasik, dengan ciri yang menonjol berupa elemen dekorasi geometris pada bagian atas pintu gerbang. Bangunan ini dipermanis oleh pilar-pilar kecil dekoratif di pintu depan. Bentuk façade bangunan simetris, memiliki lubang udara di atap bangunan, serta jendela-jendela yang besar dan tinggi.
Menara Air
Menara air terletak di sebelah barat daya eks rumah sakit, tepatnya di Jalan Masjid Agung. Menara air dengan tinggi sekitar 25 m ini dibangun pada tahun 1884, terdiri dari dua bagian. Bangunan bagian bawah terbuat dari batu kali yang disusun sedemikian rupa, terdapat pintu masuk yang memiliki lengkung sempurna. Bagian atas berbentuk silindrik terbuat dari semen, yang digunakan sebagai penampungan air.
Eks Mess Perwira
Bangunan ini terletak di selatan alun-alun, tepatnya di Jalan KH. M. Idrus, Pandeglang. Berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pandeglang, Mess Perwira ini pernah difungsikan sebagai rumah dinas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1999, bangunan ini beralih kepemilikan menjadi milik pribadi H. Kumasi dengan mengangsur selama 20 tahun.
Kondisi bangunan saat ini masih utuh, namun façade bangunan sudah tertutup bangunan café yang kini mulai marak bermunculan di area selatan alun-alun. Arsitektur bangunan eks mess perwira mengacu pada gaya Indis yang ditandai dengan adanya teras, jendela yang besar dan tinggi, serta atap limasan.
Eks Gedung Pendapa Kewedanan Pandeglang
Bangunan ini terletak di sisi timur alun-alun, tepatnya di Jalan KH. Abdul Halim, Pandeglang. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada tahun 1848, dan kini dialihfungsikan sebagai Gedung Bale Budaya Kabupaten Pandeglang. Ciri kolonial yang tampak pada bangunan ini yakni atap yang berbentuk limasan, memiliki selasar yang diberi atap tambahan, jendela dan pintu yang berukuran besar dan tinggi dengan engsel dorong.
Tata Kota Pandeglang
Pada bagian ini penulis akan menguraikan kawasan di sekitar Alun-alun kota Pandeglang. Alun-alun difungsikan sebagai bagian pusat kota maupun pusat dari pemerintahan. Kehadiran alun-alun tidak lepas dari perkembangan tata kota di Nusantara dari masa pra kolonial hingga masa kemerdekaan. Alun-alun merupakan lahan terbuka, tempat masyarakat berkumpul untuk mendengar titah raja atau kebijakan pemerintah setempat. Selain itu, alun-alun juga difungsikan sebagai tempat diadakannya acara hiburan rakyat. Di sekitar Alun-alun Pandeglang tersebar bangunan tinggalan masa kolonial, meskipun keberadaannya kini makin terancam dengan pembangunan modern.
Tata ruang kota adalah ekspresi sistem keagamaan, sosial dan budaya, serta interaksi manusia dengan lingkungannya (Sujana, 2012). Oleh karena itu, untuk menemukan gambaran fisik kota dan mengenal morfologinya, perlu dipelajari tata kota pada masanya guna merekam organisasi dan topografinya (Ellisschef, 1980). Tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal dan lingkungan kekotaan, yang dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal yang tercermin pada sistem jaringan jalan, blok-blok bangunan hunian maupun non-hunian, serta bangunan individual (Yunus, 1994). Berdasarkan hal tersebut, keberadaan bangunan-bangunan tinggalan masa kolonial seperti yang telah dijabarkan sebelumnya dapat menjelaskan pola perkembangan tata kota Pandeglang.
Alun-alun yang menjadi pusat dari kota Pandeglang, dikelilingi oleh sebaran bangunan kolonial, yang sebagian besar berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Pendapa Bupati sebagai bangunan pemerintahan utama berada di utara alun-alun, rumah sakit di sebelah barat, kantor wedana di sebelah timur, dan sebuah rumah bekas perwira di selatan alun-alun. Masjid Agung Pandeglang berada di barat alun-alun, namun bangunan ini bukan merupakan tinggalan era kolonial. Tata kota Pandeglang ini memiliki perbedaan dengan tata kota Islam pra kolonial di Jawa. Tata kota Islam pra kolonial di Jawa memusatkan area pemerintahan, yakni keraton, di selatan alun-alun, masjid di barat, dan pasar di utara alun-alun.
Alun-alun tidak hanya berperan sebagai pusat dari sebuah kota, namun lebih dari itu, alun-alun melambangkan konsep ketuhanan, atau dalam ruang yang kosong terdapat kehidupan. Selain itu, alun-alun pra kolonial berperan sebagai lambang berdirinya sistem kekuasaan raja kepada rakyatnya, serta tempat berlangsungnya semua acara keagamaan yang erat kaitannya dengan konsep keraton-masjid-alun-alun (Santoso, 1984).
Pada saat ini, pusat pemerintahan kota Pandeglang juga masih berada di utara alun-alun, yakni pendapa Bupati dan bangunan Kodim yang dahulu merupakan kantor asisten residen. Kantor pemerintahan daerah yang dahulu merupakan kewedanaan Pandeglang berada di timur alun-alun. Di sebelah barat terdapat bangunan eks rumah sakit, rumah tahanan, dan menara air. Sulit menemukan bangunan tinggalan kolonial di selatan alun-alun, karena sudah banyak yang berubah. Yang tersisa hanya satu bangunan eks rumah perwira. Pasar terdapat di utara pendapa Bupati, yang berjarak agak jauh dari alun-alun. Masjid Agung yang berada di barat eks rumah sakit dan selatan rumah tahanan, disinyalir merupakan bangunan yang didirikan tidak sejaman dengan pendirian Kabupaten Pandeglang ataupun era sebelumnya.
Meskipun kota Pandeglang merupakan kota bentukan pemerintah Hindia Belanda, namun tidak serta merta mengadopsi 100% tata kota kolonial bentukan pemerintahan Hindia Belanda. Keberadaan alun-alun merupakan hal penting dalam akulturasi kebudayaan, khususnya pembangunan dan perkembangan tata kota. Tidak hanya itu, posisi pasar dan Masjid Agung yang meskipun tidak sejaman, menjadi pertimbangan bahwa kota ini juga dibangun dengan memperhatikan aspek tata kota tradisional di Jawa.
Pandeglang merupakan kabupaten yang dibentuk dengan berbagai peraturan dan birokrasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Untuk berinteraksi dengan rakyat, pemerintah dibantu oleh pejabat pribumi, yaitu seorang bupati yang membawahi sebuah kabupaten, serta wedana yang membawahi sebuah distrik atau kecamatan. Bupati merupakan penguasa lokal keturunan sultan, yang oleh pemerintah kolonial dijadikan sebagai pegawai negeri dan diberi gaji. Dapat dikatakan bahwa dalam mendirikan sebuah kota, khususnya Pandeglang, adaptasi dan akulturasi tata kota lokal dengan tata kota kolonial diberlakukan karena masyarakat pribumi kala itu masih memegang teguh tradisi pra kolonial. Peran alun-alun lebih dari sekedar bagian dari pusat kota, yaitu sebagai lambang dari konsep ketuhanan. Para bupati biasanya mengumpulkan rakyatnya di alun-alun, dengan demikian informasi dan kebijakan pemerintah dapat tersalurkan.
Kesimpulan
Kota Pandeglang merupakan ibukota dari Kabupaten Banten Tengah yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, berdasarkan Ordonansi tanggal 1 Maret 1874. Pusat kota Pandeglang adalah alun-alun dengan pendapa Bupati di utaranya. Di sekitar alun-alun terdapat bangunan-bangunan kolonial seperti Markas Kodim 0601, Rumah Tahanan, Gedung Eks Rumah Sakit, Menara Air, Rumah Eks Perwira, dan Gedung Eks Kawedanaan yang kini menjadi Gedung Bale Budaya.
Tata kota Pandeglang merupakan bentuk akulturasi dan adaptasi dari tata kota lokal di Jawa dengan tata kota kolonial. Tata kota lokal ditunjukkan dengan adanya alun-alun dan pendapa. Sementara itu, tata kota kolonial ditunjukkan dari langgam dan arsitektural bangunan yang bergaya Eropa, serta keletakan bangunan pemerintah di utara, timur dan barat alun-alun. Tata letak tersebut berbeda dengan tata kota lokal Jawa yang memusatkan pemerintah di selatan alun-alun.
Keberadaan bangunan tinggalan era kolonial di sekitar alun-alun kota Pandeglang sangat penting kedudukannya dalam sejarah perkembangan kota Pandeglang. Bangunan-bangunan tersebut merupakan bukti sejarah dan harus dilestarikan keberadaannya. Tata letak dengan alun-alun sebagai pusat, dapat dijadikan landmark kota Pandeglang yang erat kaitannya dengan sejarah Banten khususnya, serta sejarah Nusantara secara umum.
Daftar Pustaka
Dahlan, Halwi dan Lasmiyati. 2007. Sejarah Kabupaten Pandeglang. Jurnal Penelitian Edisi 38/September 2007. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.
Elisscheff, Nikita. 1980. Phsycal Lay-Out. Dalam Oleg Grabag, The Islamic City. Paris: UNESCO.
Mundardjito (ed.) dkk. 2005. Ragam Pusaka Budaya Banten. Serang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang.
Pemerintah Provinsi Banten. 2008. Dokumentasi Benda Cagar Budaya dan Kepurbakalaan Provinsi Banten. Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten.
Santoso, Jo. 1984. Konsep Struktur & Bentuk Kota Di Jawa s/d Abad XVIII. Disertasi, tidak dipublikasi.
Sujana, Ujon. 2012. Perkembangan Kota Serang tahun 1809-1942 Kajian Arkeologi Spasial Berdasarkan Peta Kuno. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Skripsi, tidak diterbitkan.
Suriadiningrat, Bayu. 1981. Sejarah Pemerintahan di Indonesia. Babak Hindia Belanda dan Jepang. Jakarta: Dewaruci Press.
Tim Kelompok Dokumentasi. 2004. Laporan Pendokumentasian Bangunan Kolonial di Kabupaten Pandeglang. Laporan Kegiatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, tidak dipublikasi.
Yunus, Hadi Sabari. 1994. Teori dan Model Struktur Keruangan Kota. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
http://serbasejarah.blogspot.com/2011/07/alun-alun-sebagai-identitas-dan-tata.html
sumber foto lama: http://www.tropenmuseum.nl foto lainnya dok. Pribadi kecuali alun-alun dan gedung kodim 0601 disadur dari website humas kab. Pandeglang dan dinas pariwisata provinsi banten
*Staf di BPCB Serang