You are currently viewing Pulau Sangiang : Jejak Pangkalan Militer Jepang

Pulau Sangiang : Jejak Pangkalan Militer Jepang

Secara geografis Banten memiliki posisi yang sangat strategis bagi pertahanan militer Jepang pada saat menduduki Indonesia. Jika pada masa Kesultanan Banten Selat Sunda menjadi pemicu kejayaan Banten, sebaliknya pada masa pendudukan Jepang, Selat Sunda adalah daerah rawan bagi masuknya kekuatan militer musuh bagi Jepang. Oleh karena itu Jepang lebih berkonsentrasi di Banten dengan menempatkan pangkalan-pangkalannya seperti halnya Anyer sebagai pangkalan angkatan laut dengan Pulau Sangiang sebagai pertahanan laut terdepan.

Pulau Sangiang yang mempunyai luas ± 700,35 Ha terletak di Selat Sunda dan berada diantara gugusan Pulau Jawa dan Pula Sumatera. Secara administratif masuk wilayah Desa Cikoneng, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Sedangkan secara astronomis berada pada titik koordinat 105° 50’ 58,4” Bujur Timur dan 05° 57’ 11,2” Lintang Selatan. Adapun batas-batas dari Pulau Sangiang adalah sebagai berikut. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa; sebelah barat berbatasan dengan Pulau Rakata; sebelah selatan berbatasan dengan Pulau Ular dan Pulau Jawa; dan sebelah timur berbatasan dengan Pulau Tempurung.

Secara topografis Pulau Sangiang memiliki kondisi bentang lahan yang meliputi pantai, laguna, bukit landai, dan bukit curam dengan tingkat kemiringan  8 – 40 % dan puncak tertinggi berada ± 155 metar di atas permukaan air laut. Secara umum, suhu di pulau ini  berkisar antara  22,8°C – 32,1°C dan memiliki tingkat curah hujan rata-rata ± 1.685 mm/tahun. Menurut Cerita Setempat, Pulau Sangiang sudah dihuni sekitar abad ke 19. saat itu Raja Lampung menghibahkan Pulau Sangiang kepada warga agar ditempati. Menjelang Perang Dunia kedua, ketika masa Pendudukan Jepang (1942-1945), Jepang membangun Pos Pengaman di Pulau Sangiang yang dilengkapi rel besi untuk dilewati kapal perang amfibi mereka.

Peninggalan masa pendudukan Jepang di pulau ini adalah berupa bunker, bangunan dan helipad. Sampai saat ini bunker-bunker masih dapat disaksikan beserta dengan meriam pertahanannya yang boleh dikatakan masih dalam kondisi baik. Pada umumnya bunker dibuat di bawah permukaan tanah dan sesuai dengan fungsinya sebagai perlindungan dan pertahanan, kebanyakan terletak mendekati pantai mengarah ke Selat Sunda. Terdapat delapan buah bunker jika dilihat dari timur laut – barat daya pada masing-masing bungker memiliki ukuran luas bangunan ± 12,24 m²; ± 41,75 m²; ± 26,85 m²; ± 63,45 m²; ± 126,68 m²; ± 29,07 m²; ± 39,99 m²; dan ± 74,64 m².

Jika dilihat dari fungsinya dari delapan buah bungker tersebut terdapat empat bungker yang berfungsi sebagai pertahanan, tiga bungker lebih mirip sebagai bunker perlindungan tentara, dan satu bungker merupakan tempat pengintaian. Selain itu juga terdapat struktur batuan kerakal dengan tangga di sisi timur laut dan memiliki luas ± 33,03 m².

Salah Satu Struktur Sisa Barak Tentara Jepang di Pulau Sangiang

Bunker pertahanan yang dibuat dari beton bertulang dengan campuran kerakal dan semen ini pada umumnya terdiri dari lorong dan ruang tembak serta dibangun pada tebing yang cukup curam. Ruang tembak merupakan ruang berbentuk segi empat dengan dinding dan atap serta bidang terbuka yang berfungsi sebagai tempat meriam dan pengintaian. Di belakang ruang ini dihubungkan dengan lorong sepanjang sekitar 10 meter dan pada ujungnya terdapat pintu yang berfungsi sebagai jalan keluar dan masuk tentara. Saat ini terdapat tiga buah meriam dari empat bungker pertahanan dengan dua buah masih tampak utuh dan satu buah sudah terpotong yang masing-masing tergeletak di ruang tembak mengarah ke laut dengan rata-rata panjang sekitar ± 5 meter sedangkan meriam yang terpotong hanya tersisa sepanjang ± 2 meter, meskipun demikian semua meriam telah lepas dari tumpuannya.

Terdapat pula tiga buah bunker perlindungan tentara berupa bangunan berdinding dan beratap, mempunyai pintu dan lubang angin. sama halnya dengan bunker pertahanan, bunker perlindungan dibuat di bawah tanah, hanya bahan pembuatnya bukan dari beton melainkan batu bata dengan plesteran dari dinding hingga atapnya. Kemudian terdapat komponen penunjang dari bangunan bunker adalah parit yang difungsikan sebagai jalur/akses antar bunker. Komponen jalur-jalur parit juga masih dapat terlihat, namun kondisinya sebagian besar tertimbun tanah dan ditumbuhi rumput.

Tinggalan lain adalah bangunan yang diduga dipakai sebagai barak tentara. saat ini keseluruhan bangunan-bangunan tersebut dalam kondisi belum terawat dan tidak dimanfaatkan. Disebut barak tentara karena lokasinya berada di dekat bunker dan denah serta komponen bangunan mengarah ke fungsi tersebut. Secara keseluruhan material atap dan daun pintu/jendela pada bangunan ini telah tidak ada (hilang). Kompleks bangunan juga tertutup dan ditumbuhi pepohonan dan rumput liar. Melihat dari sisa-sisa bangunan tersebut terdapat bagian-bagian, seperti ruang terbuka, kamar mandi, bak penampungan kebutuhan air, ruang kerja, dan ruang istirahat. Sebagai penghubung antar bangunan juga dilengkapi dengan koridor atau selasar yang dapat dilihat dari sisa lantai dan lubang/umpak bekas tiang. Jika dilihat dari arsitektur bangunannya lebih mengarah kepada bangunan Belanda, hal ini diperkuat dengan adanya tulisan Steenbakkerij Tangeran dan adanya genting press. Keseluruhan bangunan berjumlah sembilan buah dengan tujuh buah bangunan terkonsentrasi di sisi selatan pulau dan dua buah bangunan di sisi utara pulau. tujuh buah bangunan yang terkonsentrasi di sisi selatan pulau masing-masing bangunan memiliki luas ± 244 m²; ± 125,5 m²; ± 533,03 m²; ± 270 m²; ± 105 m²; ± 46,24 m²; ± 56,7 m². Kemudian untuk bak penampungan air memiliki ukuran luas ± 37,9 m².

Tinggalan arkeologis berikutnya adalah bekas helipad. Kondisi saat ini tertutup oleh rumput dan pepohonan. Helipad yang ada berjumlah dua titik, yakni di daratan Pulau Sangiang sisi barat dan utara. Kedua helipad tersebut berukuran relatis sama, yakni ± 100 m².

Di pulau ini ditemukan pula sebuah prasasti dengan huruf kanji pada sebuah batu. Pembacaan huruf tersebut oleh seorang arkelog Jepang berbunyi genjumin romusha no hi yang artinya kurang lebih hari peringatan untuk pekerja kasar pribumi. jika dikaitkan dengan aktivitas Jepang pada masa itu dapat berarti peringatan untuk para pekerja paksa (romusha) yang didatangkan oleh Jepang ke Pulau Sangiang dalam rangka pembuatan bunker-bunker tersebut.