Menyusuri selasar dan ruang-ruang di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau yang saat ini dikenal sebagai Museum Kebangkitan Nasional, pengunjung serasa dibawa ke ratusan tahun silam. Museum yang beralamat di Jalan Abdul Rahman Saleh No. 26 Jakarta ini, menampilkan informasi dan koleksi yang berkaitan dengan sejarah kebangkitan nasional Indonesia. Bangunan berarsitektur Eropa dengan deretan jendela dan pintu yang berukuran besar dan tinggi, seolah-olah mengajak pengunjung untuk merasakan bagaimana geliat dan denyut semangat pergerakan para pelajar STOVIA untuk bangkit lepas dari kolonialisme Belanda.
Tidak mengherankan jika bangunan ini diresmikan oleh Presiden Soeharto sebagai Gedung Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1974. Karena di sinilah, di sela-sela waktu menimba ilmu kedokteran, para pelajar cerdas dari berbagai suku di Nusantara, menyadari bahwa mereka sebagai satu bangsa. Puncak semangat nasionalisme para pelajar STOVIA, berujung dengan terbentuknya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, yang dipimpin oleh Soetomo. Lahirnya Boedi Oetomo, menandai perubahan bentuk perjuangan yang semula bersifat kedaerahan berubah menjadi nasional.
Salah satu informasi yang dipamerkan di Museum Kebangkitan Nasional adalah tentang sistem pendidikan pada saat Indonesia berada di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda. Sejak dicanangkannya Politik Etis atau Politik Balas Budi oleh Kerajaan Belanda, yang berintikan pada irigasi, transmigrasi, dan pendidikan, pribumi diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Jenjang pendidikan diberlakukan di Nusantara, sebagai jajahan pemerintah Belanda. Sekolah rendah setingkat sekolah dasar dimulai dari Inlandsche School, yakni sekolah untuk bumiputera dengan bahasa pengantar bahasa daerah, dan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. HIS diperuntukkan bagi anak-anak dari keturunan Eropa, pribumi golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, serta pegawai pemerintah.
Jenjang pendidikan selanjutnya yakni Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setingkat dengan sekolah menengah pertama. MULO menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Selepas MULO dilanjutkan dengan Algemeene Middlebare School (AMS) yang setingkat dengan sekolah menengah atas. Sekolah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda ini hanya ada beberapa di Hindia Belanda, yakni di Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Surakarta, Malang dan Makassar.
Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya hingga jenjang menengah atas dengan harapan dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seperti STOVIA, Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB saat ini), Rechtshoogeschool te Batavia (saat ini menjadi Fakultas Hukum UI), atau Landbouw Hooge School (sekarang IPB).
Pengaruh besar Politik Etis di bidang pendidikan telah membuka peluang bagi pribumi, baik kaum priyayi maupun rakyat biasa, untuk mengenyam pendidikan formal. Meskipun dalam kenyataannya bersifat diskriminatif. Rakyat biasa berusaha memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah formal yang didirikan oleh pemerintah Belanda dengan harapan dapat meningkatkan status sosialnya.
Kebijakan Politik Etis, terutama bidang pendidikan, telah memunculkan golongan baru di masyarakat, yakni kelompok terdidik yang selanjutnya diangkat oleh pemerintah Belanda sebagai pegawai pemerintah. Mereka dikenal dengan sebutan priyayi baru, karena sebelumnya hanya keturunan bangsawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintah. Para priyayi baru tersebut memegang peranan penting pada masa pergerakan nasional hingga masa mencapai kemerdekaan. Tidak mengherankan jika hingga saat ini sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa profesi pegawai pemerintah sebagai profesi yang prestisius.