Multatuli: “Aku sudah banyak menderita”

Eduard Douwes Dekker, atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli, adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860). Beliau lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 dan meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, pada 19 Februari 1887 di umur 66 tahun. Max Havelaar, novel satiris Multatuli, berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda.

Residentie Assiten Recident van Lebak (Sumber: Majalah Historia diunduh 9 oktober 2012)
Residentie Assiten Recident van Lebak
(Sumber: Majalah Historia diunduh 9 oktober 2012)

Eduard diangkat menjadi asisten residen Lebak, tepat di sebelah selatan karesidenan Banten, yang bertempat di Rangkasbitung, pada 4 Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya. Pemuda Belanda berusia 35 tahun itu mulai bertugas di Lebak sejak 22 Januari 1856 dan berhenti dua setengah bulan kemudian.

Bupati Lebak saat itu yang menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris, telah memegang kekuasaan selama 30 tahun. Ternyata bupati tersebut terjebak dalam kesulitan keuangan yang cukup parah, lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, Bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.

Eduard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas. Bahkan ia menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Kalaupun membeli, itupun dengan harga yang terlalu murah.

Belum satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut, timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan Bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan Bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat.

Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard sehingga mengadakan pemeriksaan. Namun demikian, van Kempen menolak permintaan Eduard. Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana, Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya.

Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan saudaranya yang sukses berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa untuk bekerja di sana. Istri dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.

Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun tidak lama kemudian dia keluar. Usahanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru bahasa pada Konsulat Perancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Namun cita-cita Eduard yang lain, yaitu menjadi pengarang, berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia membawa berbagai manuskrip, di antaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar yang kemudian menjadi terkenal. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa sepengetahuannya, namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat khususnya di kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, buku tersebut kembali terbit dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang berarti lambat laun Eduard dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.

Rumah Multatuli
Rumah Multatuli

Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran ‘Multatuli’. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti “Aku sudah menderita cukup banyak” atau “Aku sudah banyak menderita”. Di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan.

Saat ini, tinggalan fisik yang dapat dikaitkan dengan Multatuli adalah rumah yang dahulu ia tempati saat menjabat sebagai asisten residen di Lebak, yang dikenal dengan “Rumah Multatuli”. Rumah ini berada di lingkungan Rumah Sakit Umum Doktor Adjidarmo, Jl. Iko Jatmiko 1 Rangkasbitung, dan secara administratif berada di Kelurahan Cibadak, Kab. Lebak, Provinsi Banten. Meski hanya tersisa dinding bangunan bagian depan, namun masih dapat dijadikan sebagai penanda bahwa dahulu Sang Multatuli telah turut andil dalam membangkitkan semangat putra putri Indonesia mewujudkan kemerdekaannya.