Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara, merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas berbagai suku, bahasa, agama, serta berbagai macam budaya dan etnik yang merupakan jatidiri dari tiap-tiap daerah. Selain itu, masing-masing daerah di Indonesia juga mempunyai satu atau beberapa tipe bangunan tradisional yang unik dan khas, yang dibangun berdasarkan tradisi arsitektur tradisional dengan gaya bangunan tertentu, yang menunjukkan keanekaragaman yang sangat menarik.
Arsitektur tradisional masih sangat lekat dengan tradisi yang masih hidup, tatanan kehidupan masyarakat, wawasan masyarakat, serta tata laku yang dipatuhi pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya secara umum (Sahroni, 2012). Dapat disimpulkan bahwa arsitektur tradisional sangat khas, mengacu pada karakter tertentu dari bangunan yang terdapat di suatu daerah. Karakter tersebut antara lain terwujud dalam bentuk bangunan. Berdasarkan bentuknya tersebut, terkandung arti adanya kekhususan yang berlaku di suatu daerah. Dikarenakan bentuknya yang khusus itulah maka ia menjadi ciri penanda arsitektur suatu daerah.
Seiring dengan perjalanan waktu, tradisi dan gaya bangunan baru akan muncul di tiap-tiap daerah, arsitektur tradisional pun ikut berkembang. Bentuk perkembangan arsitektur tradisional dikenal dengan sebutan arsitektur vernakular, dimana masih tetap mempertahankan karakter inti yang diturunkan dari generasi ke generasi, yang menjadikannya sebagai karakter kuat akan suatu daerah tertentu, dan akan tercermin pada tampilan arsitektur lingkungan masyarakat daerah tersebut (Ade Sahroni, 2012). Dengan kata lain, hanya dengan sekilas pandang maka orang akan dengan mudah dan relatif cepat menyadari tengah berada di daerah tertentu. Misalnya, dengan sekilas menatap bangunan beratap joglo, maka dengan mudah dan relatif cepat kita menyadari tengah berada di daerah dengan latar belakang budaya Jawa. Bentuk atap yang khas bisa juga ditemui pada bangunan tradisional daerah Bali, Batak, Minangkabau, Toraja, Dayak, dan sebagainya. Dengan demikian, bentuk tertentu dari atap suatu bangunan bisa dijadikan sebagai penanda khusus arsitektur di suatu daerah. Selain atap, ciri penanda seperti itu dapat juga hadir pada komponen bangunan berupa gapura, pagar, pilar, memolo, dan sebagainya. Selain aspek bentuk, material bangunan, komposisi warna, ragam hias, maupun tata letak, dapat juga menjadi penanda bagi suatu daerah.
Arsitektur vernakular tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat, yang lahir dari masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal, serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada, dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi (Turan, 1990). Arsitektur vernakular yang khas dari suatu daerah, memiliki karakter atau ciri khusus yang membedakannya dengan arsitektur di daerah lain. Arsitektur khas daerah dapat diartikan sebagai refleksi fisik dari budaya manusia penghuni suatu ruang dengan segala aspeknya, seperti perilaku, aktivitas, ruang lingkup, kenyamanan, penampilan, lingkungan, dan pola kehidupan sosialnya. Selain menunjukkan fungsi idiologis, arsitektur khas daerah merupakan ekspresi diri, penanda (tetenger, sign) dan sekaligus monumen kehidupan dari manusia penghuninya, yang mencerminkan identitas dan jatidiri penghuninya. Oleh karena itu, sangatlah wajar bila arsitektur khas daerah dijadikan sebagai ikon suatu daerah.
Serang merupakan salah satu daerah yang cukup penting pada masa pemerintahan Belanda. Pasca keruntuhan Kesultanan Banten, yang ditandai dengan dihapusnya kesultanan oleh pemerintah kolonial pada abad ke-19, bersamaan dengan itu pula dilakukan pemusnahan lambang-lambang kesultanan, termasuk bangunannya. Bangunan-bangunan yang berkaitan dengan Kesultanan Banten di daerah Banten Lama, telah dirusak oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemudian Belanda membuat pusat administrasi pemerintahan baru yang terletak di selatan Banten Lama, yang disebut dengan nama Serang. Sejak awal didirikan, Serang sengaja dirancang sebagai sebuah ibukota, yakni ibukota prefektur. Hal tersebut terjadi pada saat Gubernur Daendels memerintah Hindia Belanda pada tahun 1808 – 1811. Pada saat itu, wilayah Banten dibagi menjadi tiga daerah setingkat kabupaten, yakni Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Ketiga daerah tersebut dikepalai oleh seorang prefek/landromsambt yang berkedudukan di Serang. Oleh karena itu, tidak heran jika di Banten, terutama di kota Serang, banyak terdapat bangunan dengan arsitektur Indis.
Kesultanan Banten dalam masa perkembangan awalnya merupakan kota yang berfungsi sebagai pusat kerajaan yang bercorak maritim. Sehingga tidaklah mengherankan jika Banten menitikberatkan kehidupan perekonomiannya pada perdagangan, dan kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada kekuatan angkatan laut. Keberadaan Banten Lama sebagai pusat pemerintahan kesultanan, serta kota bandar yang dilengkapi dengan berbagai sarana, diberitakan dengan jelas oleh Belanda ketika mengirimkan ekspedisi pertamanya menuju Banten di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Di situ digambarkan secara terperinci tentang keberadaan Banten Lama oleh Houtman, bahwa kota dilengkapi dengan keraton, masjid, alun-alun, pasar, pelabuhan, jalan, dan perkampungan penduduk dari berbagai daerah. Pada masa itu, terdapat kelompok masyarakat asing yang antara lain berasal dari Melayu, Benggala, Gujarat, Cina, Arab, Turki, Persia, Belanda, dan Portugis. Adapun para pedagang dari Nusantara yang menetap di Banten Lama antara lain berasal dari Maluku, Makassar, Banda, Sumbawa, dan Gresik (BP3 Serang, 2005).
Berdasarkan identifikasi toponim yang telah dilakukan, terdapat sejumlah pemukiman kuna di Banten. Pemukiman tersebut dibedakan berdasarkan suku bangsa dan jenis pekerjaan mereka. Pemukiman tersebut antara lain:
- Kefakihan: kampung para ulama
- Pamarican: kampung penyimpan merica dan barang-barang lain
- Pabean: kampung tempat pemungutan bea masuk dan bea keluar Banten
- Kaloran: kampung tempat tinggal Pangeran Lor
- Kawangsan: kampung tempat tinggal Pangeran Wangsa
- Kapurban: kampung tempat tinggal Pangeran Purba
- Penjaringan: kampung para nelayan
- Pakojan: kampung tempat tinggal orang-orang India
- Pratok: kampung perajin alat-alat yang terbuat dari tempurung kelapa
- Pasulaman: kampung perajin sulam
- Karangantu: kampung orang-orang asing
- Pamaranggen: kampung para pembuat keris
- Pawilahan: kampung para pembuat barang-barang dari bambu
- Pakawatan: kampung para pembuat alat-alat renda dari kuningan serta pembuat jala
- Kampung Karoya
- Kamendalikan: pemukiman Pangeran Mandalika
- Kampung Camara
- Kampung Tambak
- Kampung Kajoran
- Kebalen: pemukiman orang Bali
- Kampung Kasemen
- Kawiragunan: pemukiman Pangeran Wiraguna
- Pajantran: kampung perajin tenun
- Kepandean: kampung pande besi
- Kasantrian: kampung para santri
- Kampung Karangsepaten
- Kampung Keraton
- Kampung Pasar Anyar
- Kampung Pangembangan
- Kabupaten: tempat tinggal Pangeran Banten
- Kampung Langenmaita
- Kasunyatan: tempat tinggal orang-orang suci
- Kagongan: kampung para pembuat gong.
Dengan melihat banyaknya perkampungan dengan latar belakang penduduk yang beragam tersebut, logikanya mereka, para pendatang, akan membawa budaya dari daerah asalnya. Pada umumnya, budaya yang dibawa dari daerah asal tersebut akan berpadu dengan budaya daerah setempat. Sehingga tercipta budaya materi yang baru sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan baru.
Akulturasi budaya terjadi ketika pendatang masuk dengan membawa nilai dan unsur budayanya yang kemudian bercampur dengan kebudayaan lokal. Akulturasi budaya mempengaruhi arsitektur lokal melalui ragam, pola ruang, dan tatanannya, sehingga hasil percampuran budaya akan membentuk citra baru masyarakat lokal (Fauzy, 2012). Pemaknaan sebuah bangunan dilihat dari kacamata budaya, akan dipersandingkan dari dua aspek sudut pandang, yaitu adat istiadat atau budaya dan bentuknya (Koentjaraningrat, 1981). Adat istiadat mencakup ide, gagasan, norma, nasehat, dan pitutur yang bersifat abstrak serta merupakan sistem sosial masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan bentuk adalah wujud fisik dari kebudayaan, yang bersifat konkret.
Selama ini, ikon yang dikenal oleh masyarakat, yang identik dengan daerah Banten adalah menara Masjid Agung Banten. Menara setinggi 23 meter ini memang sangat fenomenal dan khas. Bagian dasar menara berdenah segi delapan, demikian juga dengan bentuk tubuhnya. Pintu masuk menara terletak di sisi utara. Pada ambang atas pintu terdapat ornamen berupa bentuk kala yang distilir. Pintu masuk menara dianalogikan dengan pintu masuk candi-candi Hindu dan Budha, dimana di bagian atas pintu masuknya terdapat hiasan kala. Kepala menara terdiri atas dua tingkat, dimana tingkat pertama berbentuk kubah terpenggal adapun tingkat kedua yakni bagian puncak berbentuk kubah dengan mustoko di atasnya, yang menyerupai bunga yang sedang mekar.
Selain menara Masjid Agung Banten, bentuk arsitektur yang sudah umum dikenal masyarakat dan banyak digunakan di gerbang kantor-kantor pemerintah daerah di Banten adalah gapura candi bentar. Bentuk gapura candi bentar tersebut diambil dari bentuk gapura candi bentar yang ada di Keraton Kaibon.
Gapura candi bentar bersifat profan, yakni pintu gerbang tanpa daun pintu, atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini diduga muncul pada masa Majapahit. Gapura seperti ini banyak dijumpai di situs-situs di wilayah Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan di Bali. Gapura bentar yang fenomenal adalah gapura yang terdapat di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Gapura yang dikenal sebagai gapura Wringin Lawang ini diyakini oleh beberapa ahli merupakan pintu gerbang Kerajaan Majapahit. Perbedaan gapura bentar Keraton Kaibon dan gapura Wringin Lawang adalah gapura bentar Wringin Lawang berupa susunan bata ekspose tanpa lepa, adapun gapura bentar Kraton Kaibon berupa susunan bata yang dilepa.
Sebetulnya, masih dapat dijumpai beberapa bangunan rumah tinggal kuna di beberapa perkampungan lama di Serang dan Cilegon. Pada saat tim BPCB Banten melakukan kegiatan pendokumentasian cagar budaya tidak bergerak di kota Serang dan Cilegon beberapa tahun silam, terdapat beberapa bangunan dengan arsitektur yang khas. Pemukiman lama tersebut antara lain berada di daerah Kaujon, Pegantungan, Dalung, Ciwedus, dan Pakuncen. Rumah tinggal dengan arsitektur yang khas ini disebut dengan sebutan omah sengen oleh masyarakat setempat. Sekilas, omah sengen terlihat menyerupai bangunan Indis. Omah sengen pada umumnya berdenah persegi panjang, atap model pelana, dengan penutup atap berupa genteng tanah liat. Menurut informasi dari masyarakat di pemukiman lama tersebut di atas, semula penutup atap berupa welit (daun kelapa yang dikeringkan). Lantai bangunan berupa plesteran, bahkan ada beberapa yang masih berupa tanah.
Pada umumnya, omah sengen mempunyai selasar atau teras, atap teras ditopang oleh beberapa tiang kayu. Selasar atau teras depan ini berfungsi sebagai ruang transisi antara lingkungan luar dengan rumah tinggal. Bagian ini bersifat profan atau terbuka. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat dekat. Teras depan ini sering digunakan oleh penduduk untuk tempat bersosialisasi, sehingga di pemukiman lama dengan rumah tinggal yang masih asli jarang ditemukan rumah yang berpagar. Lebar gang atau jalan di pemukiman kuna rata-rata sekitar 2 hingga 3 meter. Pintu utama untuk memasuki omah sengen berupa pintu kayu dengan dua daun pintu yang mempunyai sistem bukaan ke dalam, serta pengunci berupa gerendel kayu. Dinding depan rumah dilengkapi dengan jendela yang berteralis kayu, dan daun jendela dengan sistem bukaan ke luar.
Ruangan terdepan setelah pintu utama terdapat ruangan yang berukuran cukup besar, yang bersifat semi profan. Melihat ukurannya yang relatif besar, kemungkinan ruang besar ini dahulu berfungsi sebagai tempat untuk berinteraksi antara pemilik rumah dengan tetangganya, misalnya untuk menerima tamu atau untuk acara-acara sosial seperti pengajian atau kegiatan yang berkaitan dengan tradisi masyarakat di masa lalu.
Adapun bagian yang bersifat privat dari omah sengen adalah kamar tidur. Tidak seperti bangunan berarsitektur Indis yang pada umumnya simetris dan sejajar, kamar-kamar di omah sengen ini tidak dibuat secara simetris dan sejajar. Salah satu keunikan dari omah sengen ini adalah adanya lembedang pada dinding kamar, yakni seperti ceruk berbentuk segitiga yang pada jaman dahulu berfungsi untuk meletakkan lampu minyak atau barang-barang lain yang berukuran kecil.
Keunikan lain dari omah sengen adalah adanya lorong yang terbentuk dari dinding kamar yang berhadapan. Di atas lorong tersebut terdapat susunan papan kayu yang diperkuat dengan bambu, yang pada masa lalu difungsikan untuk tempat menyimpan padi. Dinding luar omah sengen tidak dilepa (diplester), sehingga pasangan bata mentah dengan perekat berupa campuran tanah dan kapur, terlihat dari luar.
Omah sengen jelas merupakan salah satu tinggalan arsitektur yang menunjukkan cirikhas bangunan tradisional Serang dan sekitarnya. Observasi ini baru dilakukan di beberapa kawasan di Serang dan Cilegon. Belum diketahui secara pasti apakah di daerah lain di Banten juga ditemukan arsitektur tradisional omah sengen. Melihat kecenderungan banyaknya bangunan kuna yang dirubah menjadi bangunan baru, kiranya perlu segera dilakukan pendokumentasian kawasan pemukiman kuna yang ada di Banten. Lebih lanjut, segera dilakukan upaya perlindungan bagi kelestarian pemukiman kuna tersebut sebagai bukti bahwa Banten juga mempunyai bangunan tradisional yang khas.
Manusia tanpa sejarah akan kehilangan identitasnya, demikian juga dengan sebuah kota. Perjalanan sejarahnya terlukis lewat kekayaan warisan arsitektur yang menggambarkan perkembangan kebudayaan masyarakatnya. Tinggalan tersebut merupakan bagian dari cerita panjang sebuah kota yang memberi andil dalam membentuk jatidiri dan kehidupan kota tersebut. Jika warisan tersebut hilang, sama artinya dengan menghapus satu sisi kehidupan yang membentuk jatidiri suatu daerah.
Referensi:
Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang. 2003. Ragam Pusaka Budaya Banten.
Fauzy, 2012. Konsep Kearifan Lokal dalam Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Kota Pesisir Utara Jawa. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Koentjaraningrat, 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rinerka Cipta.
Sahroni, Ade. 2012. Arsitektur Vernakular Indonesia: Peran, Fungsi, dan Pelestarian di dalam Masyarakat. Dimuat dalam Arkeologi Untuk Publik. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Turan, Mete. 1990.Vernacular Architecture, Paradigms of Environmental Response.
Penulis: Dewi Puspito Rini (dimuat dalam Buletin Kalatirta volume 5)