Makam Pangeran Jayakarta atau yang dikenal juga dengan julukan “Katengahan”, berada di area pemakaman umum, terletak di Kampung Katengahan, Desa Margasana, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang. Pada papan informasi yang dipasang di dekat cungkup tertulis Makam Pangeran Jayakarta (Buyut Ki Tengah).
Tokoh siapakah sebenarnya Katengahan ini? Menurut folklore yang berkembang di masyarakat sekitar secara turun-temurun, tokoh yang dimakamkan di pemakaman ini adalah Pangeran Jayakarta, yang dikenal dengan julukan Buyut Ki Tengah. Disebut demikian karena beliau tiba-tiba muncul di tengah-tengah dan menjadi penengah.
Pada Babad Banten, ditemukan nama Pangeran Jakarta (Jaketra) atau Jayawikarta. Pada bagian lain Babad Banten juga disebutkan tokoh Kawis Adimarta. Adapun pada Babad Cirebon terdapat nama Pangeran Jaketra. Nama-nama yang disebutkan dalam babad-babad tersebut kemungkinan besar merujuk pada Conick atau regen van Jacattra atau King of Jacatra, julukan yang diberikan oleh orang-orang Belanda atau Inggris.
Tokoh dengan julukan Pangeran Jakarta, Jayawikarta, atau Kawis Adimarta ialah putra Tubagus (Ratu Bagus) Angke. Dikisahkan bahwa Tubagus Angke mempunyai hubungan dengan Banten karena menikah dengan putri Maulana Hasanuddin yang bernama Ratu Pembayun. Pertalian dengan perkawinan ini agaknya memperkuat hubungan antara keduanya.
Bandar Sunda Kelapa hingga tahun sebelum 1527 M masih merupakan Bandar yang terpenting bagi kerajaan Sunda Pajajaran, selain Banten Pontang, Tanggerang, Krawang, Cimanuk (Indramayu), dan Cirebon. Sekitar tahun 1513, Cirebon dan Cimanuk sudah dimasuki pedagang-pedagang muslim, bahkan mungkin sudah mendapat pengaruh kekuasaan Islam. Sebagaimana yang diberitakan oleh Tome Pires yang pada tahun-tahun tersebut mengadakan pelayaran menyusuri pantai utara Jawa. Pada tahun 1513 – 1522 masih berada di bawah kekuasaan Pajajaran. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa ditaklukkan Faletehan yang kemudian mengubah nama Bandar tersebut menjadi Jayakarta.
Berita asing menyebutkan bahwa kedatangan Belanda pertama kali di Jakarta pada tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Pada saat itu, yang berkuasa adalah Tubagus Angke, yang oleh orang belanda dijuluki Raja Jaketra. Disebutkan bahwa Raja Jaketra sudah sangat tua.
Pada saat terjadi pemberontakan di Banten antara Pangeran Aria Mandalika terhadap bangsawan-bangsawan Banten, Raja Jakarta melakukan penenteraman dengan mengirim pasukan sebanyak 2.500 orang dari Jayakarta. Pasukan tersebut dipimpin oleh Pangeran Jakarta Wijayakrama, putra Tubagus Angke. Peristiwa penengahan tersebut terjadi sekitar tahun 1604.
Berita asing juga menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1608, Banten mengalami kekacauan akibat perang saudara antara Dipati Judanegara yang bersekutu dengan Pangeran Ranamanggala melawan Pangeran Aria Mandalika. Pangeran Jakarta datang ke Banten dan berhasil menenteramkan kekacauan yang terjadi. Sejumlah pemimpin pemberontak bahkan dibawa ke Jakarta, yakni Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, dan Tubagus Prabangsa, 4 tahun kemudian dikembalikan ke Banten. Merujuk pada peristiwa-peristiwa tersebut di atas, tidak mengherankan jika Pangeran Jakarta disebut sebagai Pangeran Katengahan, karena beliau selalu menjadi penengah di antara dua kubu yang saling berselisih.
Merujuk pada buku terbitan Dinas Museum dan Sejarah yang berjudul Pangeran Jakarta Wijayakrama, disebutkan dengan jelas bahwa makam di Kampung Katengahan tersebut memang makam Pangeran Jakarta, yakni Pangeran Jayawikarta, putra Tubagus Angke, yang dijuluki Pangeran Katengahan. Sesuai dengan berita Van den Broecke dan J.P. Coen yang menyatakan bahwa pada 15 Februari 1619, Pangeran Jakarta telah digulingkan dan dibawa ke Banten. Makam Pangeran Jayawikarta di Kampung Katengahan ini berjarak sekitar 500 m dengan makam Sultan Abdulmafakir Mahmud Abdulkadir yang berada di Kampung Kenari. Sultan Banten tersebut masa hidupnya semasa dengan Pangeran Jakarta Wijayakrama. Hal ini semakin memperkuat bahwa tokoh yang dimakamkan di Kampung Katengahan ini memang Pangeran Jakarta.
Makam Pangeran Jakarta berada di area pemakaman umum. Makam berukuran 280 cm x 73 cm dengan tinggi nisan 42 cm, berada di dalam cungkup. Terdapat beberapa makam lain di dalam cungkup yang tidak diketahui secara pasti siapa yang dimakamkan di situ. Melihat bentuk nisannya, makam Pangeran Jayawikarta berasal dari abad ke-17. Nisan dihias dengan ukiran berbentuk sulur gelung.