You are currently viewing Lika-liku Pelestarian Cagar Budaya: Studi Kasus Pembangunan Gapura di Situs Pangguyangan, Kabupaten Sukabumi
Situs Pangguyangan

Lika-liku Pelestarian Cagar Budaya: Studi Kasus Pembangunan Gapura di Situs Pangguyangan, Kabupaten Sukabumi

Situs Pangguyangan merupakan situs peninggalan tradisi megalitik dengan komponen-komponen yang terdiri dari teras berundak, struktur berundak, dan punden berundak serta batu-batu tegak. Akan tetapi, batu tegak tersebut (yang berada di puncak punden berundak) banyak disalahartikan oleh masyarakat sebagai makam dari Ki Genter Bumi, seorang tokoh yang dipercaya sebagai keturunan Syarif Hidayatullah. Banyak kegiatan ritual menyangkut keberadaan terduga makam ini yang menyebabkan situs terkenal, akibatnya pembangunan fasilitas di sekitar situs sebagai sarana para peziarah. Pembangunan fasilitas yang menyalahi prosedur pelestarian cagar budaya seperti pembuatan cungkup di puncak punden berundak, pembangunan mushola yang hampir menempel dengan struktur punden berundak, loket penarikan karcis yang berada dalam teras utama, dan toilet umum yang juga masih berada dalam area teras utama. Hingga yang terjadi pada tahun lalu, pembangunan sebuah gapura (dengan tinggi kurang lebih 7 meter, desain gapura yang meyerupai sebuah candi) yang sempat membuat geger Situs Pangguyangan.

Sebelum menyentuh inti permasalahan, mari kita kenali objek cagar budaya Situs Pangguyangan yang merupakan tinggalan budaya tradisi megalitik terlebih dahulu, kemudian permasalahan apa saja yang terdapat di situs ini, dan bagaimana penanganan yang dilakukan dalam upaya perlindungan cagar budaya tersebut.

Tradisi Megalitik

Budaya Megalitik adalah sebuah peradaban yang memiliki ciri khas dan menyebar secara luas di Indonesia. Perkembangan budaya ini dicirikan dengan adanya bangunan atau benda yang umumnya difungsikan untuk hal-hal yang bersifat ritual upacara pemujaan, penguburan, dan tidak pula juga menutupi kemungkinan dimanfaatkan untuk aspek lainnya (Prasetyo, 2012).

Istilah megalitik secara etimologi yaitu batu besar (mega = besar, lithos = batu) jadi megalitik dapat diartikan sebagai suatu tradisi yang menghasilkan batu-batu besar (Soejono, 2010). Menurut FA Wagner, megalit tidak hanya diartikan batu besar, akan tetapi juga batu kecil dan bahkan monument dapat dikatakan berciri megalitik bila benda tersebut dimaksudkan untuk pemujaan arwah nenek moyang (Wagner, 1962).

Persebaran tradisi megalitik di Indonesia diduga terdiri dari dua gelombang yaitu tradisi megalitik tua dan tradisi megalitik muda. Tradisi megalitik tua menghasilkan dolmen, menhir, tahta batu, dan lain-lainnya yang sampai di Indonesia pada masa bercocok tanam sekitar 2500-1500 SM. Sedangkan tradisi megalitik muda muda antara lain menghasilkan sarkofagus, kubur batu, arca nenek moyang, dan lainnya diduga berkembang pada masa perundagian (Soejono, 1984).

Untuk memahami objek arkeologi di situs ini, kami mencoba untuk mengklasifikasikan struktur tinggalan tradisi megalitik yang memiliki fungsi sebagai media ritual atau upacara persembahan. Berdasarkan bentuknya, struktur berundak kami klasifikasikan sebagai berikut:

  • Punden Berundak

Punden berundak merupakan struktur berundak yang mempunyai bentuk persegi berkerucut ke atas atau bisa dikatakan seperti piramid. Jenis ini biasanya tersusun dari tumpukan tanah yang dicampur dengan batuan dan disusun dengan rapih. Biasanya punden berundak disusun dengan satuan luas dan tinggi yang besar.

Contoh dari punden berundak antara lain Punden Berundak Lebak Cibedug di Kab. Lebak, Punden Berundak Lebak Kosala di Kab. Lebak, Punden Berundak Pugung Raharjo di Kab. Lampung Timur, dan Punden Berundak Pangguyangan di Kab. Sukabumi.

  • Struktur Berundak Sederhana

Struktur berundak sederhana disusun dengan satuan luas dan tinggi yang kecil. Biasanya berbentuk persegi atau persegi panjang dengan satu atau dua susunan tanah atau batu atau campuran keduanya.

Contoh dari struktur berundak sederhana antara lain Struktur Berundak di Situs Astana Gede Ciamis dan Struktur Berundak di teras I Situs Gunung Padang Cianjur.

  • Teras Berundak

Teras berundak merupakan struktur berundak yang tersusun atas teras-teras dengan hirarki ketinggian, semakin ke belakang, semakin tinggi terasnya, semakin suci dianggapnya. Di struktur teras berundak ini biasanya terdapat struktur berundak yang lebih kecil, menhir, batu-batu lumping, dan yang teratas terdapat punden berundak atau bahkan hanya menhir saja.

Contoh dari teras berundak ini yaitu teras berundak di Situs Gunung Padang yang memiliki 5 teras, dan Situs Candi Sukuh dan Ceto di Karanganyar.

Struktur Berundak Situs Pangguyangan

Peninggalan Tradisi Megalitik di daerah Jawa Barat kebanyakan berupa tempat pemujaan dalam kultus nenek moyang. Peninggalan Tradisi Megalitik pada umumnya berbentuk menhir (batu tegak), struktur berundak, batu bergores, batu berlubang, batu datar/pipih, susunan batu berbentuk persegi panjang, dan sebagainya.

Peninggalan Tradisi Megalitik memiliki tipe khusus yang jarang ditemukan di daerah lain, dengan kata lain setiap tinggalan Tradisi Megalitik memiliki keunikan tersendiri yang mempengaruhi bentuk Tradisi Megalitik yang dibangun. Van der Hoop (1935) mengungkapkan bahwa arah hadap struktur megalitik yaitu menghadap gunung atau dataran tinggi, namun tidak semua tinggalan megalitik menghadap gunung atau dataran tinggi, di situlah keunikan tiap tinggalan Tradisi Megalitik. Terlepas dari perbedaan tersebut, ide dasar dari pembangunan tinggalan tradisi megalitik selalu sama, yaitu pemujaan terhadap nenek moyang yang mempengaruhi konsepsi-konsepsi sosial dan religius (Soejono, 1984).

Bentuk tinggalan Tradisi Megalitik yang menjadi sorotan kali ini yaitu berupa struktur berundak. Banyak dari struktur berundak ini ditemukan di berbagai daerah antara lain di Sumatera Selatan, Nias, Lumajang, Leles, Cianjur, Arca Domas, Lebak Cibeduk, dan Kosala (Soejono, 1984). Diantara bangunan-bangunan ini ada yang berfungsi sebagai tempat pemujaan, media melakukan upacara-upacara keagamaan dan lainnya.

Struktur berundak Situs Pangguyangan berada di lereng bukit berorientasi barat-timur dengan arah hadap tangga masuk situs dari arah barat. Di arah timur terdapat jejeran perbukitan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun. Tidak hanya struktur berundak, ternyata hasil observasi nampak situs ini terdiri dari teras berundak dengan struktur berundak di teras teratas.

Di teras teratas terdapat dua buah struktur susunan batu yang mengingatkan dengan struktur batu yang ada di Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Kedua struktur tersebut berbentuk persegi panjang berorientasi barat-timur, dipisahkan oleh jalan setapak menuju punden. Struktur di sisi selatan hanya memiliki satu undakan, sedangkan di sisi utara memiliki dua undakan.

Jalan setapak dari teras terbawah menuju teras teratas ditandai dengan susunan tangga batu dilengkapi batu-batu tegak sebagai penanda berbahan batu andesit. Batu-batu tegak tersebut berlanjut sebagai batas penanda tangga menuju puncak struktur berundak yang berbentuk persegi yang mengecil semakin ke atas. Struktur berundak yang biasa disebut punden berundak tersebut memiliki delapan tingkat yang masing-masing tingkatnya dibatasi batu bolder andesit. Tangga menuju puncak punden tersusun dari batu andesit berbentuk persegi panjang yang kini dilengkapi sebuah pegangan besi yang ditancapkan di dasar punden.

Di atas punden terdapat batu tegak yang kini disalahartikan sebagai sebuah makam tokoh Islam. Akibatnya, di puncak punden dibangun cungkup dan dipagari, dasar puncak punden ditutupi batu andesit yang disusun dan disatukan dengan semen. Batu tegak tersebut kini dibuat sedemikian rupa menyerupai makam dengan orientasi barat-timur, bahkan diberi tambahan susunan batu sehingga kesan sebuah makam yang ada di situ tidak terbantahkan.

Di belakang punden berundak dibangun sebuah mushola dengan jarak kurang dari 10 meter dari punden. Selain itu terdapat juga toilet dengan jarak yang terlalu dekat dari punden. Dan yang terakhir sedang dibangun adalah sebuah gapura berbentuk bentar/paduraksa yang menjadi kontroversi terkait perijinan dan ketidaksetujuan masyarakat sekitar.

Situs Pangguyangan memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan religi. Situs ini merupakan tinggalan tradisi megalitik yang tersusun atas teras berundak, struktur berundak sederhana, dan punden berundak, di samping itu, terdapat juga beberapa menhir yang kini disalahartikan sebagai sebuah makam.

Situs ini merupakan bukti dari kemampuan masyarakat pendukungnya untuk membangun sebuah monumen sakral dalam memuja nenek moyangnya. Ilmu pengetahuan masyarakat masa itu sudah dapat dikatakan maju dengan kemampuannya memilih tempat, membuat dan menata tempat tersebut menjadi teras-teras berundak. Kemudian teknologi membangun punden berundak yang simetris dan penataan batu-batu tegak telah dikuasai masyarakat pada kala itu dengan bergotong royong merupakan tinggalan budaya yang diturunkan dan masih tetap dipertahankan.

Permasalahan yang Dihadapi

Permasalahan di Situs Pangguyangan sendiri sebenarnya sudah ada sejak penataan situs oleh berbagai pihak, antara lain pembangunan cungkup dan pemagaran di puncak punden berundak, pembangunan gapura dan pos tiket, mushola, dan toilet umum di zona inti situs. Namun demikian karena sudah tertanamnya pemahaman masyarakat bahwa di situs ini terdapat makam dari Ki Genter Bumi maka fasilitas-fasilitas tersebut tetap lestari. Perlu dilakukan tindakan khusus dalam penanganan fasilitas-fasilitas ini, tapi dalam kesempatan ini pertama kami akan mencoba menguraikan kronologi permasalahan terkait pembangunan gapura di Situs Pangguyangan, kedua kami akan mencoba mengurai permasalahan yang terjadi berdasarkan peranan pihak-pihak yang terlibat dalam upaya pembangunan.

Kronologi

Pada bulan Februari tahun 2015, Juru Pelihara Situs Pangguyangan dan Koordinator Juru Pelihara Kabupaten Sukabumi melaporkan via telepon bahwa ada seorang pengusaha yang berniat untuk membangun pintu gerbang di depan Situs Pangguyangan. Sang Pengusaha yang mengaku bernama inisialTBM pada bulan Maret 2015 datang ke Kantor BPCB Banten di dampingi seorang lelaki mengaku bernama inisial US (yang ternyata suami dari Jupel Situs Pangguyangan) untuk meminta ijin membangun gapura namun permohonan tersebut ditolak.

Pada bulan Februari 2016 saudara TBM telah melakukan pembelian lahan di sebelah timur situs atau bagian belakang situs atas arahan saudara US dan melanjutkan realisasi pembangunan gapura (berdasarkan wangsit yang diterima oleh TBM) tanpa ada pemberitahuan maupun ijin dari pihak manapun. Sehingga ketika ada kegiatan Jelajah Cagar Budaya yang diadakan BPCB Banten di Kab. Sukabumi dan mengunjungi Situs Pangguyangan, gapura tengah dalam kegiatan konstruksi.

Maka pada bulan Juli 2016, dibentuk tim untuk meninjau permasalahan pembangunan gapura di Situs Pangguyangan. Ternyata pembangunan gapura tersebut telah meresahkan masyarakat sekitar dan tim telah ditunggu-tunggu oleh Camat Cikakak. Pada hari itu pula setelah melakukan peninjauan, diadakan pertemuan bertempat di Balai Desa Sirnarasa antara saudara TBM, Tripika Kecamatan CIkakak dan Kepala BPCB Banten dengan perwakilan dari Disparbudpora Kabupaten Sukabumi, MUI Cikakak, Ketua Pemuda, FPI Cikakak, NU Cikakak dan Kepala Desa Sirnarasa serta perwakilan masyarakat setempat. Hasil pertemuan tersebut mengemukakan bahwa yang bersangkutan mengaku telah melakukan kesalahan dalam pembangunan gapura tersebut dan berjanji untuk membongkarnya.

Pertemuan tersebut bukan sekedar kemauan dan kesadaran dari saudara TBM selaku pihak yang membangun gapura, akan tetapi desakan masyarakat sekitar yang resah karena bentuk gapura yang menyerupai candi (notabenenya, candi merupakan tempat peribadatan umat Hindu ataupun Buddha) tidak sesuai dengan nafas budaya masyarakat Islam di lingkungan sekitar situs. Desakan tersebut juga datang dari Ormas-ormas sekelas NU dan FPI yang menganggap pembangunan gapura tersebut telah menyalahi tradisi masyarakat setempat dengan bentuknya.

Juga, dalam penjelasan saudara TBM dalam forum tersebut yang menerima berbagai wangsit dan pusaka dari Situs Pangguyangan serta bagaimana beliau (yang mengaku sebagai pengusaha yang sudah tidak memikirkan hal duniawi) telah menghabiskan ratusan juta dalam merealisasikan pandangan dalam mimpinya tersebut mampu membuat para audiensi “mengerenyitkan dahi”, lalu timbul percikan-percikan pertanyaan berbalut emosi yang dapat ditangani oleh Camat dan Kapolsek Cikakak.

Pihak-pihak yang terlibat

Dari uraian kronologi di atas, bisa dirunut pihak-pihak yang terlibat dalam upaya pembangunan gapura, antara lain saudara TBM selaku pembangun dan US selaku perantara. Saudara TBM memiliki keinginan membangun gapura megah dengan desain menyerupai candi berdasarkan mimpi dan wangsit yang beliau terima. Prosesnya panjang, dari upaya mencari lokasi yang dimaksud dalam mimpinya itu, setelah mendapatkan lokasinya yang ternyata di Situs Pangguyangan, beliau bertemu dengan saudara US yang merupakan suami dari Juru Pelihara Non PNS BPCB Banten di Situs Pangguyangan. Nampaknya saudara US memberikan masukan-masukan terkait rencana saudara TBM dengan mengantarnya ke Kantor BPCB Banten meskipun akhirnya permohonannya ditolak. Tidak patah arang, saudara TBM merasa harus merealisasikan mimpinya itu, maka beliau membeli lahan di sebelah timur situs untuk kemudian dijadikan lahan tempat pembangunan gapura yang dimaksud.

Menarik untuk diperhatikan yaitu peran saudara US sebagai perantara saudara TBM dalam mewujudkan mimpinya. US adalah suami dari Juru Pelihara Situs Pangguyangan, beliau ikut menemani saudara TBM ke Kantor BPCB Banten dan ikut memberikan arahan langkah-langkah yang perlu diambil oleh saudara TBM terkait pembangunan gapura di situs yang terdaftar dalam Inventaris Cagar Budaya Tidak Bergerak BPCB Banten dengan nomor 003.02.15.01.94. Secara psikologis, perasaan memiliki kewenangan di situs ini pasti dimiliki oleh saudara US karena istrinya merupakan Juru Pelihara situs, dalam budayanya peran seorang suami adalah pemimpin dari istrinya sehingga terkadang sang suami memiliki kuasa atas apapun yang dilakukan oleh sang istri. Maka kemungkinan atas arahan-arahan kepada saudara TBM dan intervensi atas pekerjaan sang istri tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Peran Juru Pelihara Situs Pangguyangan sendiri cenderung pasif dengan adanya permasalahan ini. Beliau tidak bisa berbuat banyak karena keterlibatan sang suami (suatu hal yang disayangkan). Namun demikian, peran sang Jupel dalam pemecahan permasalahan ini digantikan oleh Koordinator Juru Pelihara Kabupaten Sukabumi yang hilir mudik kesana kemari untuk membantu tim.

Uniknya, perangkat desa mengaku tidak tahu menahu tentang adanya pembangunan gapura di situs. Hal ini berdasarkan pengakuan Kepala Desa dalam pertemuan yang telah diuraikan sebelumnya. Ketidaktahuan Perangkat Desa perlu dipertanyakan karena gapura yang dibangun memiliki tinggi kurang lebih 7 meter tidak mungkin tidak terlihat, dan tidak mungkin juga selama pembangunan itu yang memakan waktu berminggu-minggu Perangkat Desa memilih tidak tahu.

Hingga akhirnya desakan datang dari masyarakat untuk menghentikan pekerjaan pembangunan gapura tersebut sampai ke Camat Cikakak dan pertemuan antara saudara TBM, pemerintah setempat, BPCB Banten, dan elemen masyarakat dilangsungkan. Hasil dari pertemuan tersebut BPCB Banten diminta untuk memberikan rekomendasi hasil tinjauan pembangunan gapura dan hasilnya berupa permintaan untuk pembongkaran dengan segala biaya yang dibutuhkan ditanggung oleh pihak yang membangun dalam hal ini saudara TBM. selain itu, dalam butir rekomendasi juga disebut untuk membongkar cungkup dan pagar di atas punden berundak dan memindahkan mushola dan toilet umum ke tempat lain (yang belum mendapatkan tanggapan dari Desa Sirnarasa maupun Disparbudpora Kabupaten Sukabumi hingga saat ini) karena penganggapan makam Ki Genter Bumi tidak selaras dengan karakter dan tipologi tinggalan tradisi megalitik serta keberadaan fasilitas mushola dan toilet umum yang hampir berimpit dengan struktur punden berundak yang telah mereduksi nilai dan karakter situs budaya megalitik.

Analisis yuridis

Dalam Undang-undang No. 11 tahun 2011 tentang Cagar Budaya Pasal 66 ayat (1) mengatakan:

Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.

Sedangkan Pasal 88 ayat (1) mengatakan:

Setiap orang dilarang mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya peringkatNasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/Kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota sesuai dengan tingkatannya.

Dari uraian Pasal 66 ayat (1) setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, dengan pembangunan gapura yang tanpa dilakukan kajian terlebih dahulu di area situs, maka saudara TBM telah merusak situs meskipun hanya sebagian dengan melakukan penambahan sesuatu di luar konteks cagar budaya. Kemudian dalam uraian Pasal 88 ayat (1) di atas pula dengan membangun gapura di sebelah timur situs atau di belakang situs saudara TBM telah mengubah fungsi ruang situs tanpa ijin dari pihak terkait.

Kemudian dalam hal pengamanan cagar budaya, Pasal 61 ayat (1) menyatakan:

Pengamanan dilakukan untuk menjaga dan mencegah Cagar Budaya agar tidak hilang, rusak, hancur, atau musnah.

Pasal 62 ayat (1):

Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dapat dilakukan oleh juru pelihara dan/atau polisi khusus.

Pencegahan awal rusaknya cagar budaya dilakukan oleh juru pelihara, dalam hal ini juru pelihara Situs Pangguyangan yang telah ditugaskan oleh BPCB Banten telah lalai dalam mencegah dibangunnya gapura yang diduga telah merusak area situs cagar budaya dengan upaya penambahan komponen yang tidak sesuai konteks situs tanpa kajian, tanpa ijin dari pihak terkait.

Dengan beberapa pelanggaran yang telah terjadi di Situs Pangguyangan, ditambah pelanggaran Undang-undang No. 11 tahun 2010 memiliki ketentuan pidana (BAB XI, Pasal 101 – 115) maka sesungguhnya proses hukum harus berjalan. Seperti pepatah latin Fiat justisia ruat coelum, meskipun langit runtuh keadilan harus ditegakkan. Tapi apakah itu satu-satunya solusi untuk menghadirkan efek jera bagi sang pelaku?

Jecky Tangens, S.H. dalam artikelnya yang berjudul “Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia” memaparkan dalam proses hukum pidana telah mengatur prosedural formal yang harus dilalui dalam sebuah perkara pidana. Namun sayangnya, sistem formal tersebut pada prakteknya sering digunakan sebagai alat represif bagi mereka yang berbalutkan atribut penegak hukum. Apa itu Restorative Justice?

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemindanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal dengan adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang luas yang meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini didasarkan oleh kesepakatan yang didapatkan dari mediasi kedua belah pihak.

Penyelesaian kasus pembangunan gapura di Situs Pangguyangan telah dilakukan dengan konsep ini. Alih-alih menyangkakan pelanggaran Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya kepada pihak pembangun gapura, semua pihak duduk bersama mendengarkan penjelasan saudara TBM, elemen masyarakat yang juga menyalurkan aspirasinya, para pimpinan kecamatan sebagai penengah serta BPCB Banten yang menjelaskan bagaimana pengelolaan cagar budaya beserta rambu-rambunya sesuai dengan undang-undang. Pada akhirnya kesepakatan yang dicapai yaitu saudara TBM mengaku bersalah dan meminta maaf serta siap untuk menjalankan rekomendasi dan arahan dari BPCB Banten untuk menghentikan pembangunan dan melakukan pembongkaran gapura yang telah sebagian dibangun atas biaya sendiri.

Satu hal lainnya yang perlu dilakukan yaitu adanya evaluasi terhadap kinerja juru pelihara Situs Pangguyangan yang tidak mengambil tindakan cepat dan segera sehingga pembangunan gapura tersebut bisa dilangsungkan. Sedangkan hubungan keluarga terhadap juru pelihara dengan saudara US yang menjadi perantara saudara TBM dalam pembangunan gapura tersebut perlu diperhatikan dan dicari solusinya agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi.

Penutup

Dalam penanganan kasus cagar budaya, selalu ada hal yang memacu detak jantung kala berhadapan dengan masyarakat. Tidak sedikit kejadian dalam melakukan pekerjaan pelestarian cagar budaya terjadi gesekan-gesekan dengan masyarakat. Hal ini dapat dipahami karenatidak semua masyarakat memahami cagar budaya dengan payung hukumnya, bahkan tidak sedikit pula masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui apa itu cagar budaya. Memang masih banyak “pekerjaan rumah” yang diemban BPCB selaku garda terdepan pelestarian cagar budaya yang sepertinya tidak akan ada habisnya seiring perkembangan ilmu pengetahuan.

Tidak semua permasalahan yang menyangkut pelanggaran terhadap cagar budaya harus diselesaikan di meja hijau, meskipun sudah ada ketentuan pidana bagi yang melanggarnya. Seperti contoh permasalahan yang terjadi pada Bunker Jepang di Bukit Badeto Ratu Pangandaran, Jawa Barat. Sebuah bukit yang akan diubah menjadi hotel berbintang ternyata memiliki bunker-bunker bekas pertahanan masa penjajahan Jepang, maka sang pemilik modal bermediasi dengan BPCB Banten serta Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Museum dan telah dilahirkan kesepakatan-kesepakatan mengenai itu tanpa merusak cagar budaya (sepertinya pembangunan hotel belum dilaksanakan terkait redesign oleh pemilik).

Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. DR. H. Bagir Manan, S.H., MCL mengatakan tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil. Maka kiranya, dalam hal pelestarian cagar budaya seperti contoh kasus pembangunan gapura Situs Pangguyangan Sukabumi konsep penyelesaian perkara seperti yang telah dijabarkan di atas dapatlah diterapkan selama semua pihak mencapai kesepakatan. Namun demikian, pendekatan ini tidaklah berlaku dalam kasus korupsi dan tidaklah harus berlaku.

 

 

Daftar Pustaka

Prasetyo, Bagyo. 2012. Budaya Megalitik Indonesia: Hasil Penelitian dan Permasalahannya. Makalah disampaikan pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (EHPA). Solo, September: Pusat Arkeologi Nasional.

Soejono, RP. 1984. Jaman Prasejarah Indonesia: Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

Soejono, RP. 1977. Sistem-sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali, Dis. UI Jakarta.

Soejono, RP. 2010. Jaman Prasejarah Indonesia: Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

Wagner, FA. 1962. Indonesia: The Art of an Island Group. Art of the World Series.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh–jecky-tengens–sh-

https://www.restorativejustice.org.uk/what-restorative-justice

 

 

Penulis : Adita Nofiandi (dimuat dalam Buletin Kalatirta vol. 5)