You are currently viewing Kritik Naskah  “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa”
Inskripsi di masjid kuna Gamel

Kritik Naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa”

Pertengahan bulan Februari 2017 penulis menerima titipan satu buku/naskah dari Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfatan (Kasi P3) Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten. Secara lisan Kasi P3 BPCB Banten meminta untuk melihat apakah isi naskah tersebut sesuai dengan apa yang pernah penulis bahas dalam satu tulisan (lihat Inskripsi Mesjid Kuno Gamel Jembatan Antara Legenda Dan Fakta Sejarah Bangunannya). Judul buku/naskah yang dititipkan itu adalah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa”, disusun oleh Arida, A.Md.I, S.Pkons. Penulis pun tertarik untuk mulai membaca isi naskah tersebut.

Bagian awal naskah dibuka dengan “Sekapur Sirih” dari sang penyusun. Pada bagian ini sekilas disebutkan tentang pendiri dan asal penamaan Masjid Gamel yang berasal dari sengkalan berupa kalimat Sir Budhi Rahsa yang diartikan sebagai 015 dan dibaca sebagai angka tahun 510 H. Pada bagian selanjutnya disebutkan tradisi yang ada di Desa Gamel.

Bagian kedua dari naskah diberi judul “Sejarah Singkat Masjid Sir Budhi Rahsa Desa Gamel”. Disebutkan di bagian ini bahwa Masjid Gamel berdasarkan sengkalan yang berbunyi Sir Budhi Rahsa  diyakini telah berdiri sejak awal abad ke-12 M . Perbandingan yang digunakan adalah Masjid Sang Cipta Rahsa, Cirebon. Sang Cipta Rahsa juga diartikan sebagai sengkalan dari Song = 9, Cipta =  1, dan Rahsa = 5. Sengkalan itu dibaca sebagai 915 H atau kurang lebih 1537 M. Di bagian ini juga disebutkan bahwa ada naskah kuno yang dahulu dipegang oleh almarhum Juru Kunci (Kuncen) Duku Majo yang berisikan tentang sengkalan yang berbunyi “Sir budhi rahsa”.

Dilanjutkan dengan filosofi dari bagian-bagian masjid. Disebutkan adanya keyakinan bahwa Masjid Gamel pertama kali mengalami pemugaran untuk perluasan adalah pada tahun 1300-an atau awal abad ke-14 M. Setelah itu selama beberapa generasi hanya dilakukan penggantian “welit” setiap tahunnya, hingga pada tahun 1625 dibuatkan atap oleh Sultan Kanoman. Bukti bantuan atap tertulis di saka asta Masjid Sirbudhirahsa (Arida: 9). Apa yang disebutkan menjadi sangat menarik bagi penulis, karena penulis memang belum membahas bagian inskripsi yang disebut penyusun naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sirbudhirahsa” tertulis dalam aksara yang disebut sebagai aksara rikasara.

Mengenai nama Masjid Sirbudhirahsa yang merupakan sengkalan dan membandingkannya dengan Masjid Sang Cipta Rahsa yang juga diartikan sebagai sengkalan, ada hal menarik yang menjadi perhatian penulis. Sirbudhirahsa diartikan sebagai sengkalan dengan membacanya secara terbalik, dari kanan ke kiri, namun penyusun naskah membandingkan kata sang cipta rahsa sebagai sengkalan yang dibaca tetap dari kiri ke kanan.

Menurut “Babad Cirebon”, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun secara bersamaan dengan pembangunan kraton pada tahun 1489 M (Adrisijanti, 2000: 116). Dibandingkan pembacaan Sang Cipta Rasa sebagai sengkalan yang diartikan oleh penulis naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa “ dengan melakukan konversi tahun 915 H sama dengan lebih-kurang tahun 1537 M. Adapun bila konversi dilakukan secara benar, maka tahun 915 H sama dengan atau lebih-kurang tahun 1510 M.  Pembacaan dari penyusun naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa”, 48 tahun lebih muda dari “Babad Cirebon” dan perhitungan konversinya tidak tepat. Jadi perbandingan menggunakan kata Sang Cipta Rasa sebagai sengkalan saat didirikannya masjid sepertinya masih lemah untuk dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan sendirinya apakah benar kata Sir Budhi Rahsa adalah sengkalan untuk pendirian Masjid Kuno Gamel mungkin dapat dikesampingkan dahulu, mengingat penulis tidak mengetahui keberadaan kata tersebut pada bagian Masjid Gamel dan tidak juga memiliki sumber yang dapat digunakan untuk menganalisanya, meskipun dalam naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa” disebutkan tertulis pada balok saka guru pangimaman. Pada akhirnya penulis hanya membatasi pada pembacaan inskripsi pada balok yang memiliki angka tahun 1625.

Perbandingan antara inskripsi pada balok masjid dengan aksara salinan dari naskah kuno memperlihatkan beberapa perbedaan bentuk dalam penulisan, misalnya aksara “ma”, tanda “paten”, aksara “a”, aksara “la”. Perbedaan bentuk aksara yang tidak terlalu berarti mungkin disebabkan oleh penulis yang berbeda, media dan alat yang berbeda. Setiap orang memiliki gaya tulisan yang berbeda, sedangkan media yang berbeda tentunya juga memiliki perbedaan karakter yang berhubungan dengan alat yang digunakan untuk menulis dan tingkat kesulitan yang berbeda dalam proses penulisannya. Penyusun naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa” memberi catatan yang menyebut bahwa aksara rikasara yang masih “murni” adalah aksara yang digunakan sebelum tahun 1650 M, seperti yang disalin dari naskah kuno milik kuncen. Setelah tahun 1650  aksara rikasara bercampur dengan aksara carakan karena hubungan dengan Kerajaan Mataram sangat deka(Arida: 10). Mengenai hal tersebut mungkin perlu dikaji lebih lanjut pada masa yang akan datang.

Ada pembacaan yang harus diperhatikan dalam alih aksara yang dilakukan oleh penyusun naskah “Sejarah Singkat Mesjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa”, yaitu dalam pembacaan baris kedua pada inskripsi di balok mesjid. Pembacaan yang dilakukan penyusun sejarah singkat berbunyi: “angmung ngewalen/” Bandingkan aksara “wa” pada baris kedua dengan aksara pada baris pertama inskripsi yang disebut penyusun sejarah singkat Mesjid Kuno Gamel berbunyi: “mar adhi ngawas/”. Terlihat adanya perbedaan. Bunyi “e pepet” pada aksara “la” tampaknya tanda bacanya diletakkan pada aksara “wa”. Hal tersebut terlihat dari pahatan yang ada.

Selanjutnya perhatikan kata yang dibaca “mar adhi ngawas/”. Pada bagian paling depan terdapat satu aksara yang tidak dibaca dan dialihaksarakan oleh penyusun naskah Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel. Aksara tersebut berbunyi “u” yang anehnya dibelakangnya diberi tanda “patĕn”. Pada bagian bawah aksara keempat, yaitu “dha”, di bagian bawahnya terlihat pahatan satu aksara lain yang menyambung. Aksara yang menyambung dengan aksara “dha” tersebut kemungkinan adalah aksara “ma” yang memang agak lain dari bentuk biasanya. Kemungkinan sang penulis/pemahat sengaja memberikan “gaya” pada penulisannya. Bila aksara tersebut dibaca “ma”, maka kata pada baris pertama kemungkinan secara lengkap dapat dibaca “umara(ng) adhi mangawas”/

Secara lengkap inskripsi pada balok rangka atap mesjid tersebut tertulis:

umara (ng)adhi mangawas/

aŋmuŋ ńewalen/.

Kata-kata tersebut bisa diartikan

“ditatah dengan jelas/nyata

hanya dibalik.”

5261”

Terjemahan ini memiliki arti yang sangat berbeda dengan yang dinyatakan dalam naskah Sejarah Singkat Mesjid Kuno Gamel. Naskah tersebut membaca inskripsi yang sama dengan alih aksara yang berbunyi:

Mar adhi ngawas

angmung ngewalen

5261

Adapun terjemahan dalam naskah tersebut:

“turun langsung raja untuk mengawasi

hanya mengawasi

5261”

Sedikit berbeda dalam alih aksara, namun menjadi sangat berbeda dalam terjemahannya. Alih aksara dan terjemahan yang dilakukan oleh penulis jelas memperlihatkan bahwa aksara yang tersusun dalam dua baris pertama inskripsi dimaksudkan untuk menerangkan angka yang tertulis pada baris ketiga. Menerangkan bahwa angka yang tertatah/terpahat itu sudah jelas, hanya saja pembacaannya harus secara terbalik, seperti halnya sengkalan pada umumnya.

Salah satu inskripsi di masjid kuna Gamel

Sebenarnya, inskripsi pada Masjid Gamel memiliki keunikan. Keunikan tersebut adalah secara pertanggalan. Tahun 1112 H yang dikonversi ke tahun Masehi tidak memiliki kesesuaian sejarah (kronologi) dan tokoh pada masanya. Konversi 1112 H ke tahun Masehi adalah ± 1700 M. Kesesuaian kronologi dan tokoh yang berhubungan dengan sejarah dan legenda Masjid Gamel diperoleh dengan menjadikan angka 1625 sebagai tahun Saka yang kemudian dikonversi ke tahun Masehi menjadi ± 1703 M. Kesesuaian angka tahun tidak diikuti dengan bagian pertangganggalan lain, yaitu tanggal dan hari. Tanggal dan hari yang digunakan pada Masjid Kuno Gamel disesuaikan dengan pertanggalan Jawa, sehingga dapat disimpulkan bahwa penanggalan yang digunakan pada inskripsi Masjid Kuno Gamel adalah penanggalan Jawa (Aryanto, 2014: 45). Tentang penanggalan yang digunakan untuk angka tahun 1625, menggunakan pertanggalan Masehi, Saka, atau Jawa, dapat dilihat pada tulisan penulis yang berjudul “Inskripsi Mesjid Kuno Gamel Jembatan Antara Legenda Dan Fakta Sejarah Bangunannya”.

Terlepas dari pembacaan kata “sir budhi rahsa” sebagai sengkalan, penulis lebih melihatnya sebagai kata filosofi yang mengandung ajaran keagamaan. Kata “sir” yang sering diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan rasa suka, hasrat, di sini dapat diartikan sebagai niat. Kata “budhi” dapat diartikan sadar, tindakan yang didasarkan pada pengetahuan, sedangkan “rahsa” diartikan sebagai rasa. “Sir budhi rahsa” adalah dasar dari satu tindakan yang harus dilakukan dengan ketiga hal tersebut, niat, pengetahuan, dan rasa atau perasaan. Melihat pada letaknya yang disebutkan berada di tiang saka mihrab masjid, tiga kata tersebut mungkin dihubungkan dengan tujuan agar menjaga shalat, tetap sadar, menjaga pikiran, melakukan ibadah dengan ilmu, melakukan dengan rasa untuk tetap menjaga rasa atau perasaan. Rasa yang mungkin dapat diartikan dengan khusyuk, karena ibadah adalah hubungan yang rahasia dan personal antara sang hamba dan Allah.

Hal lain yang perlu dikritisi dari naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa” adalah penyebutan masyarakat Gamel percaya bahwa Masjid Kuno Gamel dibangun tahun 1111 M (Arida:5). Jelas pada bagian balok dengan inskripsi beraksara Arab, angka yang tertulis adalah 1112 dengan tahun penanggalan yang digunakan adalah Hijrah/Hijriyah. Kata “hijrah” sendiri tertulis dengan jelas pada aksara tersebut (Aryanto, 2014: 42).

Pada pembacaan inskripsi lain yang menggunakan aksara Jawa, penyusun naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa” juga melakukan kesalahan. Kesalahan itu pada pembacaan angka tanggal, yang dialihaksarakan sebagai 82 dan dibaca secara terbalik menjadi 28. Sangat jelas bahwa pada inskripsi tersebut tertulis angka 72 yang dibaca secara terbalik sebagai tanggal 27. Demikianlah beberapa hal yang perlu dikritisi dari isi naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa”.

“Sir Budhi Rahsa” Sebagai Sengkalan

Hal yang sangat menarik dari isi naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa” adalah penyebutan kata “sir budhi rahsa” sebagai sengkala yang dibaca 510 H yang sama dengan tahun 1132 M setelah dikonversikan dari tahun Hijriyah ke tahun Masehi. Mari kita amati tentang hal ini. Naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa” menerjemahkan kata “sir budhi rahsa” dengan bilangan sebagai berikut: “sir” (0), “budhi” (1), dan “rahsa” (5). Kemudian pembacaannya dibalik menjadi 510 tahun Hijriah.

Menerjemahkan sengkalan memang tidaklah mudah, perlu pemahaman akan arti kata, maksa simbolisnya, dan padanan katanya. Pada akhirnya penulis mencoba meterjemahkan kata “sir budhi rahsa” sebagai “sengkalan”. Adapun penulis meterjemahkannya sebagai berikut: “sir” (8), “budhi” (1), dan “rahsa” (6). Bagaimana pembacaannya? Pembacaannya dapat dibalik atau pun tidak. Jika dibalik, pembacaannya menjadi 618, sedangkan jika tidak pembacaannya tetap 816. Adapun tahun yang digunakan adalah Hijriah. Konversi untuk tahun Masehi dari 618 H adalah 1289 M, sedangkan 816 H adalah 1437 M.

Pertanyaannya adalah apakah pada abad 13 M telah tersebar agama Islam di daerah Pantai Utara Pulau Jawa hingga berdiri satu perguruan di wilayah Gamel? Atau jika menggunakan pembacaan konversi 1437 M, pertanyaan adalah, adakah sumber sejarah lain yang dapat memberi keterangan tentang penyebaran Islam di wilayah Pantai Utara Pulau Jawa, khususnya Gamel pada masa itu? Kajian untuk otentisitas data dan sumber sejarah lainnya diperlukan untuk menjawab hal tersebut, tulisan ini belum dapat menjawabnya.

Kesimpulan

Prasasti atau isnkripsi seperti yang terdapat pada balok tiang Masjid Kuno Gamel merupakan data sejarah yang otentik setelah dilakukan kajian. Keberadaannya sangat membantu dalam melihat latar belakang kesejarahan Masjid Gamel yang tentunya juga dilengkapi dengan sumber-sumber data sejarah lainnya, termasuk legenda atau cerita rakyat yang masih melekat pada masyarakat secara turun-temurun.

Perlu kehati-hatian dalam melakukan kajian terhadap sumber tertulis karena banyak faktor yang dapat menjadikan satu data menjadi tidak jelas, salah dalam interpretasi, bahkan salah dalam menentukan otentisitas satu sumber. Naskah “Sejarah Singkat Masjid Kuno Gamel Sir Budhi Rahsa” yang disusun oleh Dewan Adat Waringin Rungkad Desa Gamel tentunya bertujuan baik, melestarikan sejarah dan bagian dari budaya masyarakat Gamel. Satu tujuan dari tindakan yang memang diharapkan tumbuh dan berkembang di masyarakat untuk sadar akan identitas budayanya dan memiliki rasa memiliki untuk melestarikannya.

Mengambil dari pengertian kata “sir budhi rahsa”, pelestarian kepurbakalaan dengan nilai-nilai budayanya juga harus tetap sesuai dengan niat dan tujuannya. Tindakan yang dilakukan dilandasi dengan pengetahuan dan kesadaran akan nilai-nilai budayanya, tentunya disertai juga dengan rasa, sehingga setiap tindakan yang diambil merupakan tindakan yang bijaksana. Apa yang tertulis dalam tulisan ini hanyalah sebagai kritik dan masukan agar sejarah yang tersampaikan pada anak-keturunan Desa Gamel serta masyarakat umum secara luas dapat berkesesuaian dengan data sejarah yang ada dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

in omnibus charitas

©Zielverkooper

 

Sumber Bacaan

Adrisijanti, Inajati. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Aryanto, Bayu. 2014. “Inskripsi Pada Masjid Kuna Gamel, Jembatan Antara Legenda dan Fakta Sejarah Bangunannya”, dalam Buletin Kalatirta, Vol. 2, hal. 40-47. Serang: Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten.

Prawiroatmodjo, S. 1980. Kamus Jawa-Indonesia, edisi 3. Jakarta: Gunung Agung.

Wojowasito, S.1977.  Kamus Kawi-Indonesia. Cetakan ke-3, Malang: CV. Pengarang.

 

 

 

 

Penulis: Bayu Aryanto (dimuat dalam Buletin Kalatirta vol. 5)