Pada bulan Mei 2017, Unit Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten melakukan satu kegitan yang boleh dikatakan sebagai “penanganan kasus”. Hal tersebut karena kegiatan dilakukan berdasarkan adanya surat pemberitahuan dari satu organisasi pekerja yang entah kenapa memiliki kepedulian terhadap tinggalan kepurbakalaan. Isi surat tersebut pada intinya menginformasikan tentang adanya satu tinggalan kepurbakalaan di daerah Cakung, Jakarta Timur yang kemungkinan berasal dari masa kolonial dan saat ini terancam oleh rencana pembongkaran oleh pemilik lahan. Kepurbakalaan yang dimaksud dikenal oleh masyarakat dengan sebutan “Benteng Sembilan”. Nama kepurbakalaan tersebut belum masuk dalam daftar inventaris tinggalan kepurbakalaan dalam wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten.
Informasi awal yang masuk melalui surat ditindaklanjuti dengan pencarian data awal berupa pencarian sumber pustaka yang dapat memberikan keterangan apa sebenarnya “Benteng Sembilan”. Sumber pustaka awal yang didapat adalah skripsi mahasiswa Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang memang menjadikan “Benteng Sembilan” sebagai topik bahasannya. Informasi menarik yang didapat dari skripsi tersebut adalah penyebutan bahwa “Benteng Sembilan” adalah bangunan militer yang dibangun pada masa perang mempertahankan kemerdekaan, tahun 1947. Hal itu didasarkan pada gambar denah bangunan yang dsebutkan sebagai “blue print” dari rencana pembangunannya. Sayangnya, gambar yang didapatkan tidaklah jelas, namun terlihat bahwa gambar itu adalah hasil gambar ulang, sedangkan angka tahun 1947 ternyata hanya didasarkan pada penulisan angka pada lembaran gambar yang terdiri dari empat angka. Dua angka di depan tidak terlihat jelas, kemudian dipisahkan oleh garis “strip” tertulis angka 47.
Meskipun belum masuk dalam daftar inventaris kepurbakalaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten, “Benteng Sembilan” telah lama diketahui keberadaannya. Hal tersebut berdasarkan keterangan Candrian Attahiyat yang juga seorang anggota Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta. Menurutnya, data untuk benteng tersebut memang sangat terbatas, sedangkan gambar yang disebut sebagai “blue print” dari benteng tersimpan di Pusat Konservasi Cagar Budaya Jakarta yang berlokasi di daerah Kota Tua Jakarta.
Sebagai langkah awal dari informasi yang masih terbatas, satu tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten yang terdiri dari seorang arkeolog dan dua orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ditugaskan ke lokasi dimana kepurbakalaan “Benteng Sembilan” berada untuk melakukan survei dan pengumpulan data, yaitu di Kampung Pertukangan RW 05, Kelurahan Rawa Teratai, Kecamatan Cakung, Kotamadya Jakarta Timur.
Hasil sementara dari survei dan pengumpulan data yang dilakukan langsung di lokasi memberikan gambaran bahwa secara keseluruhan keadaan benteng ini sudah tidak terawat dan mengalami kerusakan di beberapa bangunannya. Pengumpulan data tiap bangunan dilakukan dengan memulai dari bangunan bernomor besar ke kecil, yaitu dari bangunan 9 ke bangunan 1, disebabkan akses jalan yang sulit, sehingga bangunan yang mudah dijangkau dahululah yang di data. Penomoran ini dibuat berdasarkan informasi dari penghuni bangunan yang menyebut tempat tinggal mereka sebagai benteng nomor 9. Dari keseluruhan bangunan yang ada, hanya enam bangunan yang berhasil dikunjungi dan di data, sisanya yaitu tiga bangunan lainnya tidak dapat ditelusuri karena jalan untuk menuju bangunan 3, 2 dan 1 tertutup oleh ilalang dan rawa.
Benarkah bangunan “Benteng Sembilan” dibangun pada tahun 1947? Pengumpulan data yang dilakukan belum dapat menjawab pertanyan itu dengan pasti. Sedikit hal yang dapat dijadikan untuk mempertanyakan tahun 1947 sebagai pendirian bangunan tersebut adalah terlalu sedikitnya bangunan pertahanan berbentuk permanen dengan konstruksi yang baik dibangun pada masa perang, apalagi bila disebut bahwa wilayah Cakung adalah garis demarkasi antara wilayah yang dikuasai Belanda dengan wilayah yang dikuasai Repubilk Indonesia dalam perang antara tahun 1945 hingga 1947, jadi dapat dikatakan bahwa Cakung adalah garis depan pertempuran di sisi timur Jakarta pada masa itu. Dilihat dari kesempatan membangun, memang ada waktu, tetapi secara ekonomi pihak Belanda tentu mengalami kesulitan untuk membiayai pembangunan pos-pos pertahanan baru. Oleh Sebab itu juga, agresi militer Belanda pertama pada bulan Juli 1947 disebut dengan “Operation Product”, dimaksudkan untuk merebut daerah-daerah yang dapat menjadi basis ekonomi, paling utama adalah menguasai kembali sepenuhnya Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Kutipan skripsi yang diambil dari buku “Jakarta-Karawang-Bekasi dalam gejolak revolusi perjuangan Moeffreni Moe’min” tentang peristiwa pertempuran di perbatasan Bekasi dengan Jakarta dimana disebutkan bahwa pihak militer Belanda mendapatkan bantuan kekuatan berupa tank dan sejumlah pasukan dari daerah Cakung, memberikan gambaran bahwa di daerah Cakung yang mungkin dekat atau malah dimana “Benteng Sembilan” berada adalah pos militer yang terdekat dengan garis depan peperangan yang ditandai oleh garis demarkasi antara pihak militer Belanda dengan Tentara Republik Indonesia di sebelah timur Jakarta.
Bila berbicara tentang sejarah sekitar perang mempertahankan kemerdekaan di tahun-tahun antara 1945-1949, terutama penentuan garis demarkasi, tentunya akan sulit ditemukan sumber tertulisnya. Adapun dalam pelajaran sejarah yang ditulis pada masa orde baru, dinyatakan bahwa penentuan garis demarkasi seringkali disahkan melalui perundingan antara pihak Belanda dengan Indonesia, namun dasar dari kenapa demarkasi ditentukan pada satu lokasi atau wilayah tertentu tidak diketahui dengan pasti. Pastinya penentuan posisi garis demarkasi lebih dominan oleh pihak Belanda. Dengan demikian tentunya Belanda memiliki pertimbangan sendiri untuk menentukan garis demarkasi untuk tiap wilayah yang dikuasainya.
Cakung sejak abad 19 adalah tanah partikelir yang dikuasai oleh tuan tanah. Kerusuhan yang tercatat sebagai pemberontakan petani terhadap tuan tanah juga pernah terjadi di Cakung. Wilayahnya sejak lama memang merupakan daerah pesawahan dan rawa karena letaknya di daerah datar yang relatif tidak terlalu jauh dengan pantai, yaitu Pantai Cilincing. Pada saat Hindia Belanda di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte karena Kerajaan Belanda dikalahkan dan dikuasai oleh Perancis, Gubernur Jenderalnya, yaitu Daendles membangun sejumlah jalan dan pertahanan militer di Pulau Jawa. Jalan yang dimaksud adalah Jalan Raya Pos, sedangkan pertahanan dibangun di sejumlah tempat, namun kebanyakan di kota-kota pantai, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Di pedalaman, Daendles menjadikan Buitenzorg sebagai kota pertahanan juga.
Batavia dijadikan kota pertahanan di garis depan yang dipersiapkan untuk musuhnya, yaitu Inggris, yang diperkirakan akan datang dari arah utara. Di arah selatan Kota Batavia Lama terdapat garnisun di Weltevreeden, namun benteng modern Batavia berada di daerah yang disebut Meester Cornelis, di arah tenggara dari Weltevreeden. Menurut kesaksian pasukan Inggris yang ikut dalam perebutan Pulau Jawa tidak melihat adanya usaha pertahanan Kota Lama Batavia. Kota ditinggalkan oleh orang Eropa baik Perancis maupun Belanda yang mengungsi.
Pasukan Inggris pada tahun 1811 tersebut mendarat di Pantai Cilincing dengan kekuatan 12.000 orang pasukan. Tujuan serangan mereka adalah Kota Lama, yang dilakukan oleh sejumlah pasukan yang menyusuri pantai hingga ke Pantai Ancol dan kemudian masuk ke dalam Kota Lama Batavia. Rencana awal pasukan Inggris adalah merebut Batavia Lama untuk kemudian menarik sebagian pasukannya kembali ke Cilincing untuk kemudian melakukan perjalanan penyerangan ke Meester Cornelis. Hal yang harus menjadi perhatian dari apa yang diuraikan di atas adalah bahwa serangan pasukan Inggris dari Cilincing ke Kota Lama Batavia menyusuri pantai dilakukan dengan melalui jalan yang memang telah ada. Hal tersebut dapat kita lihat melalui uraian kesaksian bahwa ada pembakaran dan penghancuran jembatan pada jalur yang akan dilewati pasukan Inggris. Maka dapatlah diduga bahwa rencana serangan dari Cilincing ke Meester Cornelis juga dilakukan melalui jalur jalan yang telah ada. Meskipun akhirnya perjalanan Cilincing-Meester Cornelis tidak jadi dilaksanakan karena pasukan Belanda yang diperkirakan akan mengadakan perlawanan di Kota Lma Batavia sebelum mundur ke Weltevreeden dan ke Meester Cornelis ternyata tidak melakukan perlawanan di Weltevreeden, namun langsung ke benteng Meester Cornelis.
Dalam pengumpulan data dan informasi di lokasi, ada hal yang menarik berkenaan dengan keterangan satu penghuni bangunan yang menyatakan bahwa pernah ada orang asing yang datang dan mengatakan bahwa bangunan “Benteng Sembilan” dibangun pada tahun 1810. Kemungkinan orang asing itu memiliki interpretasi melalui peristiwa pertempuran perebutan Kota Batavia dan Benteng Meester Cornelis oleh pasukan Inggris dari pasukan Perancis pada tahun 1811. Interpretasi tersebut tentunya dengan melihat “Benteng Sembilan” sebagai pos terdepan di sisi timur Kota Batavia. Pos tersebut terhubung secara langsung dengan benteng Meester Cornelis melalui jalan Batavia, Cakung, Bekasi.
Hanya ada satu hal yang menjadikan tahun 1810 tidak mungkin sebagai tahun dibangunnya “Benteng Sembilan”, yaitu bahan yang digunakan sebagai struktur bangunannya. Benteng Meester Cornelis yang dikatakan sebagai benteng modern pada masanya menurut kesaksian dibuat menggunakan bahan batu. Berbeda dengan “Benteng Sembilan” yang struktur bangunannya menggunakan konstruksi beton bertulang. Sejumlah perbandingan dan mengacu pada perkembangan penggunaan konstruksi beton di Hindia Belanda, konstruksi beton bertulang di Hindia mulai umum digunakan setelah memasuki dasawarsa kedua abad 20.
Keletakan “Benteng Sembilan memang strategis, tidak jauh dari simpul jalan Batavia-Bekasi dengan jalan yang menuju ke Cilincing dan satu jalan lain menuju Pekayon, Pondok Gede. Terpisah oleh Kali Cakung di sisi timurnya terdapat kompleks tentara yang keberadaannya kemungkinan telah ada sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Seperti umumnya di banyak tempat, kompleks tentara Belanda diambil-alih penggunaannya oleh tentara Indonesia pada masa setelah kemerdekaan.
Secara singkat, dilihat dari bahan dan konstruksi bangunan, keletakan “Benteng Sembilan” yang berada jauh di luar kota Batavia, keletakan strategisnya di simpul jalan yang penting, terutama berhubungan dengan Pantai Cilincing dan Meester Cornelis. Perbandingan bahan yang digunakan dapat dilihat dengan bangunan bunker di Pantai Ancol yang dibangun pada dasawarsa kedua abad 20 setelah melihat Perang Dunia I, semakin berkembangnya Jepang sebagai ancaman di Asia, dan kekhawatiran akan perkembangannya menuju satu Perang Dunia yang lain, yaitu Perang Dunia II. Bahan yang digunakan “Benteng Sembilan” dengan “Bunker Ancol” adalah sama. Tata letak dan formasi memang mungkin berbeda, namun itu disesuaikan dengan fungsi.
Jika disebutkan bahwa “Benteng Sembilan” bukanlah benteng karena tidak memperlihatkan adanya bagian-bagian yang memperlihatkan sebagai bangunan militer yang memiliki fungsi untuk benteng pertahanan mungkin kurang tepat. Jika memperhatikan dengan lebih baik pada gambar “blue print”, “Benteng Sembilan” dilengkapi dinding parapet dan pada bagian sisi-sisi luarnya diurug dengan tanah hingga setinggi atapnya. Selain berfungsi sebagai kamuflase, timbunan tanah dimaksudkan sama seperti dinding parapet, yaitu meredam efek ledakan atau pun tembakan dari musuh yang ditujukan pada bangunan “Benteng Sembilan”. Dinding parapet dari beton memang tidak dibuat dalam satu garis yang terhubung, oleh karenanya saat ini ketika tanah urugan di sisi luar bangunan hilang karena aktifitas manusia setelah bangunan tidak difungsikan, yang terlihat hanya dinding parapet dari bahan beton pada masing-masing bangunan.
Berdasarkan gambar yang disebut ‘blue print’ dari “Benteng Sembilan”, fungsi bangunan sesuai judul gambarnya adalah sebagai gudang amunisi (ammonitie opslagplaaps). Arah hadap kompleks bangunan gudang amunisi tersebut adalah selatan, menghadap jalan raya Jakarta-Bekasi. Tentunya itu berkaitan dengan akses jalan keperluan suplai logistik. Jika bangunan “Benteng Sembilan” benar sebagai gudang amunisi, keberadaannya di lokasi tersebut tentunya harus didukung oleh satuan pengaman atau bahkan satu tangsi militer, karena jumlah bangunan yang bila dihubungkan dengan daya tampung sebagai gudang tentunya cukup banyak. Kemungkinannya adalah “Benteng Sembilan” masih satu bagian dengan Kompleks TNI AD di sebelah timurnya yang dipisahkan oleh Kali Cakung. Informasi menyebut bahwa penelitian yang dilakukan pada tahun 1993-1994 oleh Unit Pelaksana Teknis Kota Tua Jakarta mendapati lahan dimana bangunan “Benteng Sembilan” berada dimiliki oleh TNI AD. Hal tersebut berbeda dengan keadaan sekarang yang menyebut bahwa lahan tersebut dimiliki oleh perusahaan swasta, yaitu PT. Mercu Antar Sumatera yang beralamat di Jl Tl Betung 31 Menteng Menteng Jakarta Pusat DKI Jakarta, RT.4/RW.1, Kb. Melati, Kota Jakarta Pusat, sejak dua tahun lalu. Survei Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten pada bulan Mei 2017 lalu mendapatkan keterangan yang menjelaskan bahwa pemilik lahan hingga saat ini belum berencana melakukan pembongkaran terhadap bangunan “Benteng Sembilan”.
Kembali ke fungsi bangunan “Benteng Sembilan”. Penyebutan benteng oleh masyarakat sekitar tentu bukan tanpa alasan. Seperti sudah disebutkan di atas bahwa berdasarkan pada gambar yng dinyatakan sebagai “blue print”, Benteng Sembilan memang dikelilingi oleh pagar dan dinding tanah. Jika tanpa pagar, hanya benteng tanah, “Benteng Sembilan” akan lebih menyerupai kompleks bunker. Bunker pertahanan yang memiliki arah hadap utara, cenderung timur laut. Hal tersebut berkaitan dengan rencana pertahanan terluar Kota Batavia, pengamanan jalur darat dari arah pantai di utara dan timur. Kali Cakung menjadi batas alam wilayah pertahanan Batavia di sisi timur. Sebagai bunker dan benteng pertahanan, “Benteng Sembilan” terkait dengan “Bunker Ancol” membentuk satu garis pertahanan luar Kota Batavia. Dengan demikian, “Benteng Sembilan” kemungkinan telah ada sebelum tahun 1947. Jika “Benteng Sembilan” dibangun semasa dengan Bunker Ancol, maka “Benteng Sembilan” adalah bunker dan benteng pertahanan yang difungsikan ulang pada masa usaha pendudukan kembali Republik Indonesia oleh Belanda antara tahun 1945-1949, namun dengan fungsi yang kemungkinan berbeda. Hal yang paling menarik adalah dapat dikatakan bahwa konsep pertahanan Kota Batavia sejak abad 19 M sampai dengan pertengahan abad 20 M ternyata tidak banyak berubah, hanya teknologi dan penggunaannya yang disesuaikan dengan strategi, situasi, dan kondisi. Apakah Benteng Sembilan merupakan tinggalan kepurbakalaan yang bernilai sebagai Cagar Budaya? Kita serahkan pada Tim Ahli Cagar Budaya dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk menilai dan menetapkannya sebagai cagar budaya ataukah bukan.
Ditulis oleh: Bayu Aryanto (staf BPCB Banten)