“Batavia” yang heterogen

Batavia berkembang pesat pada abad ke-17 dan mendapat julukan “Ratu dari Timur”, antara lain karena letaknya yang strategis baik dari segi geografis maupun lalu lintas perdagangan internasional. Meskipun pada perkembangan selanjutnya Batavia mengalami kemunduran dalam lingkungan fisik perkotaannya, sehingga mendapat julukan lain yang berkebalikan dari julukan sebelumnya, yaitu “Kuburan Orang Belanda”.

Perubahan lingkungan perkotaan Batavia dari abad 16 – 18 M, menurut beberapa ahli dilatarbelakangi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain disebabkan oleh rekayasa lingkungan alam Batavia yang menggunakan teknologi Eropa (Belanda), terutama sistem kanal dan parit yang difungsikan untuk mengeringkan lahan rawa, mencegah banjir, mempertinggi permukaan lahan, serta sebagai sarana pertahanan dan transportasi. Faktor eksternal lebih banyak disebakan oleh akibat ikutan yang timbul dari faktor internal. Kota yang semula berfungsi sebagai pusat pemerintahan serta perdagangan lokal dan regional berkembang menjadi pusat perdagangan internasional, perbentengan dan pusat pemerintahan kolonial. Perubahan fungsi tersebut menyebabkan Batavia menjadi lebih terbuka terhadap imigran luar dan asing, sehingga menimbulkan pertambahan jumlah penduduk yang pada akhirnya juga mendorong perluasan areal kota. Penduduk kota menjadi lebih heterogen dan muncul kelompok-kelompok etnis yang berbeda sosio kulturalnya, yang pada akhirnya memunculkan nilai-nilai baru di Batavia (Haris, 2007).

Tidak ada data resmi dan akurat mengenai jumlah penduduk Kota Batavia pada abad 18 M. F. de Haan memperkirakan jumlah penduduk Kota Batavia pada tahun 1700 sampai 1730 adalah antara 30.000 – 35.000 jiwa dengan jumlah 10.000 – 15.000 jiwa di antaranya tingal di luar benteng. Sedangkan Valentijn melaporkan bahwa penduduk Kota Batavia pada  tahun 1722  sekitar 100.000 jiwa yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku bangsa (Haris, 2007).

Seperti lazimnya masyarakat perkotaan, kelompok-kelompok masyarakat di Kota Batavia menempati daerah-daerah kelompoknya sendiri dan terpisah dengan kelompok etnis lain. Jejak kehidupan sosial masa itu masih dapat dilihat melalui sejumlah nama daerah (toponim) di Jakarta yang menggunakan nama-nama suku bangsa atau kelompok etnis. Data kompeni tahun 1779 menyebut jumlah penduduk Batavia sebanyak 172.682 jiwa. Data pada tahun tersebut menggambarkan 89% penduduk tinggal di luar benteng, dan dari 89% tersebut, 59% di antaranya tinggal di bagian depan sebelah barat kota. Data itu juga menggambarkan bahwa pada abad 18, permukiman penduduk terutama berkembang ke arah barat kota. Adapun penduduk Batavia pada abad 18 M terbagi dalam enam kelompok besar yang terdiri dari orang Eropa, Mestizo atau Eurasia (indo), Timur Asing (Cina), Mardiker, dan orang pribumi.

Orang Belanda tidak menempati lokasi khusus untuk tempat tinggalnya. Mereka dapat tinggal dimana saja, di dalam atau pun di luar benteng, meskipun gambaran dari data abad 18 M memperlihatkan bahwa orang Belanda di luarkota lebih banyak bertempat tinggal di depan kota sebelah timur dan selatan. Orang Mestizo dan Eurasia banyak bertempat tinggal di dalam kota sisi timur dan di timur bagian depan kota. Setelah peristiwa kerusuhan tahun 1740, orang-orang Cina dilarang tinggal di dalam kota Batavia. Pada tahun 1766, untuk pertama kalinya diangkat Kapiten dari golongan Cina peranakan. Nama kapiten tersebut menggunakan nama pribumi. Meskipun begitu, orang Cina peranakan tetap tinggal terpisah, menyebar di sejumlah kampung dan beribadat menggunakan rumah ibadat atau masjid di kampung tempat mereka tinggal. Baru pada tahun 1786, orang Cina peranakan membangun masjid di atas tanah milik Kapiten mereka, di sebelah timur Molenvliet. Saat ini masjid Cina peranakan tersebut dikenal sebagai Masjid Kebun Jeruk (Haris, 2007).

Masuk dalam kelompok timur asing lainnya adalah orang Moor. Sebutan Moor pada awalnya digunakan untuk menyebut orang-orang Islam dari Kalingga, Koromandel, India. Tapi de Haan juga menggunakan sebutan ini untuk menyebut orang-orang Islam dari daerah lain seperti Gujarat, Benggala, Parsi, dan orang-orang Arab. Mereka umumnya adalah pedagang tekstil (Haris, 2007).

Dalam kelompok orang pribumi, etnis Jawa memiliki jumlah terbesar. Mereka bertempat tinggal di luar benteng, di sekitar Kali Krukut, dan di sebelah utara kota bagian barat. Orang Bali juga memiliki jumlah yang besar, mereka bertempat tinggal di sejumlah kampung di luar kota, yaitu Kampung Krukut, Kampung Angke, dan Kampung Pisangan Batu, yang menurut de Haan telah ada sejak tahun 1687. Satu kampung baru untuk orang Bali adalah Kampung Gusti yang dibangun pada tahun 1709 (Haris, 2007). Menurut data tahun 1779, Etnis Banda bertempat di luar benteng kota, terutama di depan kota bagian barat dan timur. Pada tahun 1715, diberitakan adanya satu masjid di luar pintu gerbang Roterdam (timur bagian depan kota) sebagai tempat ibadah orang Banda yang memeluk agama Islam (Haris, 2007).

Meskipun faktor ras, etnis, dan profesi dominan dalam pengelompokan penduduk dan masyarakat kota pada masa VOC, faktor agama pun ikut berperan, baik dalam pengelompokan penduduk maupun alokasi pekerjaan. Batas-batas wilayah yang didasarkan pada perbedaan agama, tidak hanya tampak pada kehidupan sosial-ekonomi. Hak-hak warga masyarakat yang beragama Kristen, termasuk budak, dilebihkan, demikian juga dalam permukiman. Pada umumnya, banyak penduduk yang beragama Islam bermukim di sisi depan kota bagian barat, sedangkan orang Kristen bermukim atau dimukimkan di sisi depan kota bagian timur yang tercermin pada sejumlah peninggalan sejarah dan purbakala berupa gereja dan masjid. Dengan melihat gambaran heterogennya Batavia di masa lalu, tidak mengherankan jika kondisi tersebut tetap bertahan pada saat ini.

Referensi:

Haris, Tawalinuddin. 2007. Kota dan Masyarakat Jakarta dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (Abad XVI – XVIII). Jakarta: Wedatama Widya Sastra.