BAGAIMANAKAH STRUKTUR PEMERINTAHAN DI KERAJAAN BANTEN GIRANG?

Oleh: Dewi Puspito Rini*

Siapa yang tidak mengenal Kesultanan Banten, yang terletak di ujung pesisir utara Pulau Jawa, yang selama abad ke-16 dan ke-17 memegang peran utama dalam perniagaan lada di Asia? Tetapi tahukah kita, bahwa sebelum Kesultanan Banten, ada kerajaan di daerah ini yang terlebih dahulu berdiri? Banten Girang, demikian nama kerajaan tersebut, yang berarti “Banten Hulu”. Banten Girang terletak di pinggiran kota Serang, sekitar tiga kilometer di selatan Kaujon, pusat kota lama Serang. Kota Serang berkembang mulai paro pertama abad ke-19, setelah orang Belanda menjadikannya sebagai pusat pemerintahan daerah tersebut, dengan maksud melenyapkan arti politik Kesultanan Banten (Guillot dkk., 1996).

Sajarah Banten menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya, Hasanudin, meninggalkan Demak menuju Pelabuhan Banten pergi ke kota Banten Girang, yang merupakan pusat pemerintahan daerah tersebut. Kemudian mereka mengunjungi Gunung Pulasari yang terletak di pedalaman. Hasanudin lama tinggal di daerah ini, berada di tengah-tengah kaum ajar yang bermukim di gunung tersebut. Setelah Hasanudin berhasil mengislamkan kaum ajar, dan menjadi pemimpin rohani mereka, kemudian ia menyerang Banten Girang dan berhasil merebut kotanya. Berkat kemenangannya, Kesultanan Demak menobatkan Hasanudin sebagai raja baru di daerah Banten. Mengacu pada sumber tersebut, terbukti bahwa Banten Girang tidak dapat hanya dipandang sebelah mata. Seberapa pentingkah Banten Girang, hingga membuat Sunan Gunung Jati dan putranya jauh-jauh datang dari Demak untuk menaklukkannya?

Saat ditaklukkan Demak, pada waktu itu Banten Girang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Jawa bagian barat di masa lalu dikuasai oleh dua kerajaan besar, yakni Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda. Kerajaan Tarumanegara dan Sunda Kuna merupakan kerajaan yang bercorak budaya India. Keduanya berkembang di wilayah Jawa bagian barat dalam kurun waktu yang berbeda. Berdasarkan tinggalan arkeologinya, dapat ditafsirkan bahwa wilayah perkembangan kedua kerajaan tersebut berbeda. Kerajaaan Tarumanegara berkembang di wilayah Jawa bagian barat sisi utara, meninggalkan prasastinya di wilayah Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Sementara itu, Kerajaan Sunda berkembang di wilayah pedalaman, terutama di pedalaman selatan-timur Jawa Barat (Munandar, 2013).

Kerajaan Sunda mempunyai wilayah yang relatif luas, meliputi seluruh Jawa bagian barat dan wilayah barat Jawa bagian tengah. Masa pemerintahan Kerajaan Sunda, atau yang disebut dengan Pajajaran oleh orang Jawa, dimulai dari abad ke-8 hingga abad ke-16 M. Banten Girang, yang mencapai masa keemasan pada abad ke-13 hingga abad ke-14, menjadi vassal Kerajaan Sunda pada abad ke-16.

Pertumbuhan dan perkembangan kerajaan masa klasik (pengaruh Hindu-Buddha) di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh India. Hal ini dapat diketahui dari beberapa aspek pranata kerajaan yang ada. Hampir seluruh pranata kerajaan yang berlaku di India, seperti kedudukan raja yang turun-temurun, kedudukan prameswari, kedudukan pejabat pusat dan daerah, masalah agama, peradilan dan segala urusan sipil lainnya, sedikit banyak ditiru oleh kerajaan-kerajaan masa klasik di Indonesia (Boechari, 1986).

Kekuasaan yang mutlak di tangan seorang raja dilegitimasi dengan dianutnya kepercayaan yang bersifat kosmologi. Dalam konsep kosmologi, terdapat suatu keyakinan bahwa keselarasan antara kerajaan dan jagat raya dapat dicapai dengan menyusun kerajaan sebagai gambaran jagat raya dalam bentuk kecil (Nurhadi, 1980). Hal ini membawa implikasi bahwa kekuasaan seorang raja didapatkan dari restu para dewa dan hyang.

Posisi seorang raja merupakan representasi dari wakil dewa dan hyang di dunia, yang mendapat mandat untuk berkuasa di dunia. Hal tersebut termuat dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Naskah yang dibuat tahun 1440 Saka (1518 Masehi) ini menjelaskan tentang kedudukan raja yang berada di bawah para dewa dan hyang.

“… mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang…”
Kalimat tersebut berarti: mangkubumi berbakti kepada raja, raja berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang…” (Atja dan Saleh, 1981).

Hingga dewasa ini, kajian tentang sejarah Tatar Sunda secara umum memang telah dilakukan oleh para ahli. Namun jika dibandingkan dengan studi sejarah Jawa Kuna masih belum memadai. Artinya, kajian tentang sejarah Sunda Kuna jauh tertinggal dari telaah Jawa Kuna (Munandar, 2013).

Kerajaan Banten Girang yang bercorak Hindu, yang pada akhir masa pemerintahannya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, besar kemungkinan pranata pemerintahan di kerajaan ini juga merujuk pada pranata kerajaan di India. Namun demikian, hal tersebut baru sebatas praduga, belum diketahui kebenarannya, karena belum ada kajian yang membahas tentang struktur pemerintahan di Kerajaan Banten Girang. Pada awal abad XVI, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahan berlokasi di Banten Girang. Adapun Banten Ilir atau Banten Lama pada masa itu berfungsi sebagai pelabuhan.

Ciri pokok gugusan perkotaan Kerajaan Banten Girang terbagi atas dua bagian yang tak terpisahkan, yaitu kota Banten Girang dan pelabuhan Banten, meskipun keduanya berjarak 10 km. Hal ini sesuai dengan konsepsi tentang kerajaan yang berasal dari India, yakni sang raja yang diangkat menjadi dewa hidup atau bakal dewa, secara fisik memisahkan diri dari rakyatnya dan pedagang asing, yang dari segi hukum dan agama merupakan kelompok terasing dalam kerajaan (Guillot dkk, 1996). Pranata tersebut masih terus dipertahankan hingga masa Kesultanan Banten. Pada masa Kesultanan Banten masih ditemukan pemisahan-pemisahan tempat tinggal berdasarkan patokan bangsa maupun profesi yang mengingatkan pada struktur pemerintahan masa sebelumnya.

Tidak banyak yang tertinggal dari sisa-sisa kejayaan Banten Girang. Salah satu tinggalan Kerajaan Banten Girang dapat dilihat di situs Banten Girang. Situs ini terletak di Kampung Telaya, Desa Sempu, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Claude Guillot pada tahun 1988 – 1992, situs Banten Girang merupakan situs pemukiman/perkotaan. Penafsiran tersebut berdasarkan pada temuan struktur pertahanan yang berbentuk parit dan dinding tanah dengan pola yang tidak teratur. Diperkirakan situs ini berasal dari abad ke-10 dan mencapai puncaknya pada abad ke-13 hingga 14 Masehi. Periodisasi tersebut mengacu pada temuan keramik asing, keramik lokal, fragmen prasasti, benda-benda logam, mata uang, fosil hewan, batu-batuan, dan manik-manik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Guillot.

Struktur Pemerintahan Kerajaan Masa Jawa Kuna dan Sunda Kuna
Dikarenakan hingga kini belum ditemukan sumber tertulis yang memberikan informasi tentang struktur pemerintahan di Kerajaan Banten Girang, perlu kiranya melihat struktur pemerintahan pada masa Jawa Kuna dan Sunda Kuna. Sebagai gambaran dan perbandingan, struktur pemerintahan masa Jawa Kuna yang terdapat pada sumber prasasti patut dijadikan acuan. Beberapa prasasti yang menyebutkan tentang struktur pemerintahan pada masa Jawa Kuna antara lain adalah Prasasti Mulak I tahun 878 M, Prasasti Paňgumulan tahun 902 M, dan Prasasti Sugih Manek tahun 915 M. Kerajaan masa Jawa Kuna merujuk pada Kerajaan Mataram Hindu yang berpusat di Jawa Tengah hingga kepindahannya ke Jawa Timur. Dalam birokrasi pemerintahan kerajaan Jawa Kuna, raja didampingi oleh para pangeran, di antaranya putra mahkota. Para pendamping raja tersebut adalah rakarayan mapatih I hino, rakarayan I halu, rakarayan I sirikan, rakai wka, dan pamgat tiruan. Di bawah mereka terdapat sejumlah pejabat, di antaranya pejabat kehakiman, pejabat pajak, dan pejabat keagamaan. Golongan kedua ini mungkin merupakan para pelaksana pemerintahan (Poesponegoro dkk., 1992).

Pada struktur pemerintahan Kerajaan masa Jawa Kuna telah ada ketentuan mengenai hak waris atas tahta kerajaan, yakni yang berhak untuk menggantikan duduk di atas tahta kerajaan adalah anak-anak raja yang lahir dari parameswari. Sampai pada jaman raja kula Rajasa, putra mahkota bergelar rakarayan mapatih I hino. Perlu diketahui bahwa rakarayan mapatih i hino tidak harus putra raja yang sedang memerintah. Ia dapat juga adik, kemenakan, paman atau kerabat dekat lain asalkan masih seketurunan secara langsung. Dua orang lagi yang berhak menggantikan duduk di atas tahta kerajaan dan memperoleh tempat di dalam hirarki pemerintahan yaitu rakarayan i halu dan rakarayan i sirikan.

Berdasarkan berita Cina dari Dinasti Sung, dikatakan bahwa di kerajaan Mataram terdapat tiga orang putra raja bertindak sebagai raja muda, ada pejabat yang bergelar samgat dan empat rakarayan, yang bersama-sama menyelenggarakan Negara sebagaimana para menteri di Cina. Mereka tidak memperoleh gaji tetap, tetapi pada saat-saat tertentu memperoleh hasil bumi dan barang-barang lain. Kemudian menyusul 300 pegawai sipil, yang dipandang setingkat dengan siu-tsai di Cina, yakni pejabat yang lulus ujian jabatan tingkat terendah. Mereka bertugas mencatat dan mengelola pajak-pajak masuk. Di bawah mereka terdapat 1000 pejabat rendahan yang mengurusi tembok dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, lumbung-lumbung padi, dan para prajurit (Poesponegara dkk., 1992).

Biasanya gelar rakai dan pamgat diikuti oleh nama tempat, yaitu nama wilayah kekuasaannya atau “lungguh”nya, yang disebut watak. Pejabat-pejabat di bawah para pangeran, pejabat tinggi kerajaan dan para penguasa daerah yang harus menyelenggarakan pemerintahan di wilayah watak, tidak digaji tetap berupa mata uang melainkan memperoleh daerah lungguh.

Prasasti-prasasti dari masa Jawa Kuna tidak hanya memberikan informasi tentang struktur pemerintahan di tingkat pusat, beberapa prasasti bahkan memberikan keterangan yang terperinci tentang pejabat di tingkat wanua (desa). Keterangan mengenai struktur pemerintahan tingkat desa dijumpai dalam prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura. Terdapat 30 macam jabatan pada struktur pemerintahan desa, namun hanya sepuluh macam jabatan yang sering disebut di beberapa prasasti, yaitu gusti, kalang dan/atau tuha kalang, winĕkas, tuha wanua, parujar, hulair, wariga, tuhālas, tuhá wĕrĕh, dan hulu wras. Sayang sekali hingga kini belum ada sumber yang dapat menjelaskan apa fungsi masing-masing pejabat desa tersebut. Ada beberapa jabatan yang dapat diperkirakan arti katanya, seperti misalnya tuha wanua yang berarti kepala desa, hulair (hulu air) yakni orang yang mengurusi masalah pengairan di desa, tuhālas yakni pejabat desa yang mengurusi hutan yang ada di wilayah desa, wariga adalah pejabat yang dapat menghitung kapan hari baik bulan baik bagi suatu pekerjaan, tuhá wĕrĕh yakni pemimpin muda-mudi desa, parujar adalah juru bicara, winĕkas adalah pejabat desa yang bertugas menyampaikan berita kepada penduduk atau desa tetangga, hulu wras adalah pejabat yang mengurusi persediaan beras di desa (mengurusi lumbung padi), mapkan adalah pejabat yang mengurusi pasar, matamān adalah pejabat yang mengurusi taman, tuha buru adalah pejabat yang mengurusi masalah perburuan binatang di hutan, hulu wuatan adalah pejabat yang mengurusi jembatan, serta hulu turus adalah pejabat yang mengurusi perbatasan antara desa satu dengan desa lain (Poesponegoro dkk., 1992).

Berbeda dengan Kerajaan Jawa Kuna, tidak banyak sumber tertulis yang dapat memberikan keterangan tentang struktur pemerintahan Kerajaan Sunda Kuna. Di dalam catatan perjalanannya, Tomé Pires menyebutkan bahwa raja Sunda bertahta di ibukota Dayo, yang letaknya agak di pedalaman. Ibukota itu dapat dicapai dalam dua hari perjalanan dari (Sunda) Kalapa, kota pelabuhan Kerajaan Sunda yang terbesar dan terpenting. Mengenai sistem pemerintahan di Kerajaan Sunda, Tomé Pires menyebutkan bahwa Kerajaan Sunda diperintah oleh seorang raja. Selain raja pusat, di daerah-daerah tertentu terdapat raja-raja yang berkuasa di daerah masing-masing. Hak waris tahta diturunkan kepada anaknya, tetapi jika raja tidak mempunyai anak, maka yang akan menggantikannya dipilih dari raja-raja daerah yang terbesar. Kerajaan Sunda memiliki enam pelabuhan penting, yang masing-masing dikepalai oleh seorang syahbandar. Mereka bertanggung jawab kepada raja, dan bertindak sebagai wakil raja di bandar-bandar yang mereka kuasai. Keenam Bandar tersebut adalah Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Kalapa, dan Cimanuk (Poesponegoro dkk, 1992).

Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang ditulis pada tahun 1518 memberikan sedikit keterangan yang dapat dipergunakan untuk mengisi kekosongan tentang struktur pemerintahan Kerajaan Sunda Kuna. Di dalam naskah tersebut dituliskan:

“… nihan sinangguh dasa prĕbakti ngaranya: anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado, wado bakti di mantra, mantra bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang…”

Yang berarti:
“… inilah peringatan yang disebut sepuluh kebaktian: anak bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada majikan (pacandaan = tempat bersandar), murid bakti kepada guru, petani bakti kepada pejabat rendahan, pejabat rendahan bakti kepada pegawai, pegawai bakti kepada nu nangganan, nu nangganan bakti kepada mangkubumi, mangkubumi bakti kepada raja, raja bakti kepada dewata, dewata bakti kepada hyang…”

Dari kutipan di atas jelas bahwa pejabat yang paling dekat hubungannya di bawah raja adalah mangkubumi. Ia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi atau yang dilakukan oleh bawahannya. Dengan mengacu pada sumber-sumber di atas, kemungkinan struktur pemerintahan Kerajaan Sunda Kuna pada masa itu adalah sebagai berikut: di tingkat pemerintah pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, raja dibantu oleh mangkubumi yang membawahi beberapa nu nangganan. Selain itu, terdapat pula putra mahkota yang akan menggantikan kedudukan sang raja, jika raja meninggal atau mengundurkan diri. Untuk mengurus daerah kekuasaannya, raja dibantu oleh beberapa raja daerah. Apabila raja tidak meninggalkan pewaris tahta, maka salah seorang raja dari raja-raja daerah dapat dipilih untuk menggantikan kedudukan sang raja sebagai raja terbesar.

Toponimi Kerajaan Banten Girang
Toponimi adalah pengetahuan yang mengkaji riwayat atau asal usul nama suatu tempat. Telah terbukti bahwa toponimi banyak memberikan sumbangan dalam upaya menjelaskan berbagai data dan temuan arkeologi (Juliadi dkk., 2014). Untuk mengetahui bagaimana struktur pemerintahan di kerajaan Banten Girang, akan dicoba menelusuri toponimi tempat-tempat yang diduga berkaitan dengan kerajaan Banten Girang.

Eksistensi Banten Girang disebutkan dalam beberapa sumber seperti naskah kuna dan babad. Wahanten Girang pernah disebutkan dalam Carita Parahyangan yang menyatakan bahwa Wahanten Girang dikalahkan oleh Arya Bubrah, yakni tokoh yang ditafsirkan sebagai Fatahillah Khan, panglima kerajaan Demak yang mengalahkan Kalapa (Atja, 1981). Selain dari Carita Parahyangan, nama dan keberadaan Banten Girang juga ditafsirkan dari isi prasasti yang ditemukan di desa Kebantenan, Bekasi. Dari lima lempeng prasasti yang ditemukan, terdapat dua lempeng prasasti yang menyebutkan kata “banten”. Diduga kuat kata “banten” tersebut adalah Banten Girang. Kata banten berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti selamatan atau sesaji. Dengan demikian, kampung Banten berarti kampung tempat mengadakan persembahan. Pengertian tersebut mungkin merujuk pada suatu lokasi pusat mandala yang sering didatangi oleh masyarakat untuk mempersembahkan sesuatu kepada raja yang sekaligus sebagai wakil dewa yang ditugaskan untuk mengatur kehidupan manusia di muka bumi (Juliadi dkk, 2014).

Saat ini yang tersisa dari Banten Girang hanyalah satu bukit kecil di sisi barat Sungai Cibanten di Kampung Sempu. Tinggalan arkeologi yang terdapat di bukit ini antara lain berupa makam kuna, gua buatan, serta watu gilang, yakni tahta Pucuk Umun, raja terakhir di Banten Girang. Sebagian besar area di kawasan Banten Girang kini telah menjadi permukiman. Beberapa nama tempat di kawasan ini cukup menarik dan perlu dikaji lebih lanjut, seperti Pandaringan, Dalung, Banusri, dan Jagarahayu. Pandaringan atau padaringan berarti tempat menyimpan makanan. Menurut cerita turun-temurun, dahulu Pandaringan merupakan kolam ikan di kerajaan Banten Girang. Banusri, menurut penduduk setempat dahulu merupakan pasar Banten Girang. Sementara itu, Dalung, merupakan permukiman tua yang diperkirakan dihuni sejak masa kerajaan Banten Girang. Dalung berasal dari kata daluang, yakni kertas yang terbuat dari kulit kayu yang banyak dipakai sebagai media untuk menulis di masa lalu. Kampung Dalung diperkirakan sebagai tempat untuk menyusun peraturan pemerintah atau penguasa, yang dituliskan di atas daluang (Juliadi dkk, 2014). Adapun Jagarahayu berarti penjaga keamanan. Kemungkinan dahulu petugas penjaga keamanan wilayah kerajaan bermukim di kampung Jagarahayu.

Dikarenakan hingga saat ini belum ditemukannya prasasti atau naskah kuna yang berkaitan dengan struktur pemerintahan di kerajaan Banten Girang, mungkin dapat dilakukan kajian toponimi untuk mengetahui tentang struktur pemerintahan di Banten Girang. Nama-nama tempat di kawasan Banten Girang sebagian besar belum banyak berubah. Nama-nama tempat tersebut besar kemungkinan berhubungan dengan tempat tinggal pejabat kerajaan, tempat tinggal pegawai pemerintah, ataupun profesi tertentu. Wacana yang berkembang saat ini, Pemerintah Provinsi Banten ingin menggali kearifan lokal budaya Banten sebagai jatidiri warga Banten. Momentum ini perlu dimanfaatkan untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk memperkaya khazanah budaya Banten.

 

 

Daftar Pustaka

Atja. 1981. Carita Parahyangan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Atja dan Saleh Danasasmita. 1981. Sanghyang Siksakanda Ng Karesian. Bandung: Pusat Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Boechari. 1986. “Local Genius dalam Pranata Sosial di Indonesia pada Zaman Klasik” dalam Ayat Rohaedi (ed.) Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Guillot, Claude dkk. 1996/1997. Banten Sebelum Zaman Islam Kajian Arkeologi di Banten Girang (932? – 1526). Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Juliadi dan Neli Wachyudin. 2014. Toponimi/Sejarah Nama-nama Tempat Berdasarkan Cerita Rakyat. Banten: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten.

Magetsari, Nurhadi. 1980. “Masalah Agama dan Kebudayaan dalam Arkeologi Klasik di Indonesia” dalam PIA III. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

*Staf di BPCB Serang